Reklamasi PT Seipem Karimun Disinyalir tak Berizin

Reklamasi PT Seipem Karimun Disinyalir tak Berizin

Dengan tertangkapnya Gubernur Kepri, Nurdin Basirun,  menunjukkan kalau pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil (P3K) memang sarat akan praktik penyalahgunaan otoritas kebijakan atau korupsi politik.

Kemudian, dengan tertangkapnya Gubernur Kepri oleh KPK, maka praktik korupsi di balik pemanfaatan P3K semakin jelas terlihat.

Jika kita melihat apa yang terjadi di Kepri, maka tak bisa dipungkiri kalau telah terjadi praktik percepatan  penerbitan izin pulau, meskipun minus payung hukum karena peraturan daerah (Perda) RZWP3K masih belum selesai.

Percepatan tersebut membuat kepentingan umum milik masyarakat pesisir dan nelayan yang ada di kawasan sekitar proyek reklamasi menjadi sengaja diabaikan.

Menurut catatan penulis, perusahaan yang terlibat dalam aktivitas reklamasi di Kepulauan Riau, yaitu PT Guna Karya Nusantara, PT Mitra Tama Daya Alam Bintan, PT Bukit Lintang Karimun, PT Kim Jaya Utama, PT Indospora Bumi Persada, PT Yuliana Jaya, PT Combol Bahari Perkasa, PT Merak Karimun Lestari, dan PT Sarana Trans Sejahtera. Semua perusahaan tersebut, wajib untuk diperiksa oleh KPK.

Kalau kita cerita soal reklamasi di Kepri yang akhirnya menjerat Gubernur Kepri Nurdin Basirun, sesungguhnya reklamasi bukanlah yang pertama dalam masa kepemimpinan Nurdin Basirun.

Saat menjabat Bupati Karimun, Nurdin Basirun juga memberi izin reklamasi. Hasilnya, kini menjadi daratan dengan sebutan Coastal Area dan Tanjung Penagak Tebing.Salah satu pengusaha asal Batam yang ikut andil dalam pembangunan kawasan moderan itu adalah Johanes Kenedy.

Pengusaha ini telah menginvestasikan uangnya Rp 1,5 triliun di Karimun.Karimuan di Era Nurdin Basirun, juga pernah melakukan pembenahan untuk menciptakan kabupaten yang maju dan terpandang. Apalagi letak geografisnya yang sangat strategis karena berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia.

Menurut pengamatan penulis, jejak pembangunan industri maritim di kabupaten Karimun sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1990 ketika pemerintah pusat telah menetapkan tiga pulau di daerah ini sebagai pusat pembangunan baru, yaitu Batam, Bintan, dan Karimun (BBK).

Saat itu peran pemerintah Singapura bekerjasama dengan Indonesia mengembangkan kawasan industri Batamindo di Mukakuning, Batam, Kawasan Industri Lobam dan Kawasan Pariwisata Lagoi di Bintan, dan kawasan industri maritim di Karimun. Sampai hari ini, keempat daerah itu masih terus berkembang menjadi andalan daerah masing – masing. Puncaknya adalah ketika pemerintah menetapkan Batam Bintan Karimun (BBK) sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas melalui Peraturan Pemerintah nomor 46, 47, 48 tahun 2007.

Sekedar untuk mengingatkan kembali, dari tiga daerah FTZ tersebut, hanya Batam yang ditetapkan sebagai FTZ menyeluruh karena mempertimbangkan sejarah awal pulau tersebut ketika menjadi kawasan berikat dan berkembang menjadi pulau berikat seperti saat ini.

Sementara, Bintan dan Karimun ditetapkan terbatas di beberapa lokasi atau dikenal dengan istilah enclave. Setelah 4 tahun status FTZ diimplementasikan di Karimun, berbagai catatan kemajuan berhasil ditorehkan di antaranya dengan mulai masuknya investasi asing dengan nilai yang fantastis di daerah itu sehingga membuka banyak peluang kerja dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi setempat.

Salah satu perusahaan asing yang masuk ke Karimun dengan investasi lumayan besar adalah PT.Saipem. Perusahaan  asing ini kata Bupati Karimun Aunur Rafiq, berjanji akan menampung ribuaan pekerja, yang prioritasnya adalah putra-putri Karimun.

Rafiq pun mengakui, untuk meningkatkan proyeknya itu, PT Seipem Karimun pun sudah memperluas area usahanya, dengan menambah luas lahan. Penambahan lahan PT Seipem Karimun diantaranya adalah dengan melakukan reklamasi.

Izin lokasi dan Hak Pengelolaan Lahan PT Seipaem Karimun yang luasnya mencapai 179.956,5 M2 tersebut, ternyata memang masih kurang, sehingga untuk menunjang kegiatan usahanya PT Seipem butuh lahan lebih luas. Apalagi PMA ini berencana mengerjakan sekitar 7000 karyawan untuk mendukung semua proyek di PT Seipem.

Pekan lalu penulis sempat menyambangi Kabupaten Karimun, untuk menelisik perusahaan-perusahaan yang telah melakukan reklamasi di Kepuluan Riau. Dalam perjalanan ke Karimun, Penulis juga menemukan adanya indikasi pelanggaran terkait reklamasi yang dilakukan oleh PT Seipem Karimun, sehingga perusahaan tersebut disinyalir tak memiliki izin reklamasi.

Hasil pantauan penulis, sekarang ini ada lebih kurang sekitar 20 Ha lahan reklamasi PT Seipem Karimun, yang sudah dikerjakan sejak 2013 lalu.

Sayangnya, reklamasi yang dilakukan PT Seipem tersebut diduga menyalahi aturan. Sebab PT Seipem Karimun sampai tulisan ini dibuat belum mengantongi surat izin reklamasi, apalagi surat berupa HPL, HGB, HGU, HM, HP.

Penasaran terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan PT Seipem Karimun, penulis sempat juga menyambangi Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Karimun, Dr. Sularno. Niat kedatangan penulis adalah sekedar mempertanyakan perihal dugaan reklamasi yang tak berizin tersebut.

Sularno mengakui bahwa dumping area PT Seipem memang tek memiliki izin. Kata Sularno, reklamasi tersebut dilakukan di atas lahan hutan mangrove. Kalau Sularso menyebut reklamasi itu menimbun hutan mangrove, tapi fakta di  lapangan, sesungguhnya yang ditimbun adalah laut. Reklamasi yang dilakukan PT Seipem tersebut merupakan fasilitas pembuangan hasil keruk (dumping area).

Dumping are tersebut kini sudah menjadi daratan dengan luas hampir mencapai 20 Ha. Di dumping area inilah nantinya PT Seipam akan memperluas kegiatan usahanya.

Data yang diterima penulis, izin reklamasi pantai PT Seipem Karimun, no.552/Dishub/57/2009, hanya untuk yang luasnya 179.956,5 M2. Tapi bukan lokasi yang kini menjadi dumping area tersebut. Karena itu, dumping area tersebut sampai hari ini disinyalir tidak memiliki izin reklamasi.

Siapapun kita, termasuk para pembaca, tentu sepakat bahwa untuk membangun daerah, dengan harapan hadirnya investor, yang pada akhirnya dapat membuka lapangan kerja dan dapat mensejahterakan rakyat, tentu menjadi harapan  kita semua termasuk para pemangku daerah, seperti gubernur, walikota dan Bupati.

Tapi seyogianya, setiap kegiatan tidak harus melanggaran aturan. Apalagi aturan tersebut dibuat dengan dalih untuk memperkaya diri sendiri, kelompok ataupun golongan. Masih ingat kasus tahun 2013 di Karimun? Sejumlah oknum pernah dijadikan tersangka karena melakukan reklamasi di  Tanjung Penegak.  

Seingat penulis, kasus di Tanjung Penegak itu karena terjadi pelanggaran Undang-undang No17/2008 tentang pelayaran, PP No 61.2009 tentang Kepelabuhanan dan PP 05/2010 tentang Kenavigasian, UU No32/2009 tentang Lingkungan Hidup dan Permenhub No52/2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi, sebab dianggap tidak mengantongi izin dari Kementerian Perhubungan.

Memang seperti buah simalakama, itulah pepatah yang agaknya patut buat Karimun, yang memang terbatas soal lahan. Keterbatasan ini membuat Bupati Karimun pernah mengajukan usulan reklamasi pantai seluas 1.914,37 hektar untuk dijadikan kawasan industri di wilayah pesisir Pulau Karimun dan Pulau Karimun Anak dalam Renperda RTRW Provinsi Kepri 2016-2036. 

Dari 1.914,37 hektar itu, sekitar 742,79 hektar rencana reklamasi di Pulau Karimun Anak. Di timur Pulau Karimun sekitar 419,13 hektar. Sementara, di barat daya Pulau Karimun sekitar 296,11 hektar. Di wilayah lain Pulau Karimun  sekitar 244,59 hektar. Barat daya Pulau Karimun berdekatan dengan Selat Gelam sekitar 176,57 hektar dan sebelah barat Pulau Karimun luasnya sekitar 35,18 hektar.

Rencana reklamasi itu akan digunakan sebagai kawasan industri. Pasalnya, Karimun memiliki titik-titik wilayah strategis untuk pengembangan sektor kelautan. Beberapa perusahaan yang ingin masuk, memerlukan kawasan untuk industri seperti perkapalan, pariwisata dan fabrikasi yang berada di wilayah pesisir Pulau Karimun dan Karimun Anak.

Penulis juga pernah mencatat, bahwa di Perda no 07 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Karimun, ada klausul yang mengatur peruntukkan wilayah pesisir di Pulau Karimun sebagai kawasan industri perkapalan. 

Seingat penulis, Pemkab Karimun juga pernah mengusulkan perubahan pola tata ruang untuk zonasi lainnya yang juga include dengan reklamasi, total luasnya sekitar 6.710,93 hektar. Rincian, untuk kawasan industri sekitar 4.736,88. Kawasan pariwisata dengan luas sekitar 38,28 hektar dan perdagangan jasa luasnya sekitar 2,144 hektar yang tersebar di Pulau Karimun, Kundur dan Pulau Papan.

Kalau melihat apa yang terjadi di Karimun, terkait dengan masalah reklamasi, maka banyak persoalan dalam proyek, mulai dari penyuapan, pelanggaran hukum, perusakan lingkungan, penghilangan mata pencaharaian nelayan, pencemaran laut, dan lain sebagainya. Dengan kewenangannya, rasanya boleh-boleh saja KPK memeriksa seluruh proyek yang terkait dengan reklamasi.

Penulis hanya mengingatkan, apa yang terjadi di Kepri sekarang, bisa menjadi pesan yang sarat makna bagi seluruh  pemerintah daerah di Indonesia, yang saat ini sedang dan akan melaksanakan proyek reklamasi di kawasan pesisir. 

Kita harus tahu, pesisir pantai dan pesisir laut adalah daerah sempadan yang bukan obyek pengaturan UU Pokok Agraria. Artinya, tanah di pesisir pantai tidak dapat diberikan sertipikat hak atas tanah, apalagi wilayah laut non darat yang ada di pesisir laut juga tidak boleh diberikan sertipikat.

Sepengetahuan penulis, pesisir pantai merupakan batas antara darat dengan laut, sedangkan pesisir laut adalah batas antara laut dengan darat. Sepertinya tidak ada bedanya, sekilas pengertiannya sama, tetapi beda!.

Secara sederhana, kalau pesisir pantai wilayahnya berupa tanah darat, sedangkan kalau pesisir laut wilayahnya secara visual semuanya (masih) berupa laut, lautan, atau air. 

Semua sertipikat hak atas tanah, baik HPL, HGB, HGU, HM, HP diberikan diatas tanah darat. Jadi, tidak ada sertipikat hak atas tanah yang terbit diatas laut, di pesisir laut.

Jika sertipikat tanah diterbitkan di atas laut atau di atas pesisir laut dan ternyata itu melanggar Rencata Tata Ruang Wilayah Nasional atau RTRW Propinsi, atau RTRW Kabupaten Kota maka sertipikat itu telah bertentangan dengan UU Penataan Ruang.

Orang-perseorangan, Perusahaan (Korporasi Bisnis), dan/atau Pejabat Publik yang mendapat atau memberikan perizinan yang bertentangan dengan UU Penataan Ruang (Peta RTRW) dapat diberikan sanksi, baik sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana.

Yang juga patut menjadi catatan kita semua adalah, menurut UU Agraria, hanya sertipikat Hak Pakai yang dapat diberikan di atas tanah yang ada airnya, karena untuk digunakan tambak/perikanan. Sedangkan Hak atas Tanah selain untuk tambak, semua sertipikat hak atas tanah (HPL, HGB, HP, HGU) harus berupa dan berwujud tanah darat, tidak boleh diberikan diatas laut.

Penulis juga mengingatkan bahwa kegiatan reklamasi tanpa izin dan menyebabkan kerusakan lingkungan, setidaknya dapat diduga melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Sementara itu, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah menyebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang yang akan melaksanakan  reklamasi wajib memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi.(karno raditya)
 

Berita Lainnya

Index