Soal Ketahanan Pangan: Balajarlah dari Pak Harto

Soal Ketahanan Pangan: Balajarlah dari Pak Harto
Kelompencapir, yang merupakan singkatan dari Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa, adalah kegiatan pertemuan untuk petani dan nelayan di Indonesia yang dicetuskan pada masa pemerintahan Presiden Suharto.

Selama ini Indonesia digadang-gadang sebagai negara agraris. Ini artinya, Indonesia adalah negara dengen perekonomiannya tergantung pada sektor pertanian. Jika disebut sebagai negara agraris, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah serta dipercaya dapat mendorong perekonomian negeri.

Namun kenyataannya dalam kurun waktu hampir tiga dekade terakhir, sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto terus menurun. 

Jika melihat jumlah penduduk Indonesia yang sekarang ini berjumlah 270 juta jiwa dan 33,4 juta jiwanya adalah bermata pencaharian di sektor pertanian, harusnya Indonesia memang pantas disebut sebagai negara agraris. Celakanya, fakta yang ada dilapangan Indonesia tidak mencerminkan sebagai negara agraris.

Meski telah lama dikenal sebagai negeri agraris, namun nasib malang justru dirasakan Indonesia, yang kini justru berubah menjadi negeri yang gemar impor pangan. Lantas langkah apa yang harus dilakukan pemerintah selanjutnya agar Indonesia bisa berdikari soal pengadaan pangan utama?

Masih teringat dan terus terngiang pada julukan bumi ibu pertiwi sebagai negara agraris. Tak hanya di dalam negeri saja, seluruh belahan bumi pun mengetahui julukan tersebut. Tak ada yang salah dengan impor, karena ekspor dan impor adalah bagian dari perdagangan negara.

Akan tetapi, jumlah impor yang menunjukkan bahwa adanya ketergantungan komoditas yang notabene mampu diproduksi sendiri dan terkadang bisa membunuh petani sendiri, itu sangat disayangkan. Sungguh ironi memang, negara yang subur ini masih menggantungkan komoditas penting pada impor.

Tak bisa dipungkiri, suka tidak suka nyatanya jejak zaman Orde Baru era Soeharto menjadi inspirasi bagi banyak negara khususnya pada kebijakan pertanian. 

Jika kita tak ingin terus-menerus melakukan impor pagan dari luar negeri, maka belajarlah dari strategi yang dilakukan Pak Harto. Sebab, apa yang pernah dilakukan Pak Harto di negeri ini, nyatanya sudah dilakukan di India dan berhasil. India pun menjadi lumbung beras terbesar di dunia.

India sekarang ini, merupakan pengekspor beras terkemuka di dunia, menyumbang lebih dari 40% perdagangan beras global, serta produsen terbesar kedua setelah China.  Pertanian di India itu menggunakan koperasi bukan konglomerasi. Dari sisi pupuk, India memutuskan tidak pakai pupuk pabrik dan itu dibuat oleh koperasi-koperasi didukung dengan penelitian.

India dengan jumlah penduduk 1,4 miliar orang, nyatanya malah  bisa surplus. Apa rahasianya ? Ternyata semua pakai koperasi, bukan konglomerasi, seluruh pertanian koperasi.  

Kebijakan yang diterapkan India ini ternyata mengadopsi strategi Pak Harto. Memang  tak diragukan lagi, program ketahanan pangan era Soeharto kala itu, sangat dikenal dan terkenang hingga kini.

Soeharto mengawali masa pemerintahannya pada 1966, Ia memprioritaskan sektor agraria dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah ke revolusi pangan. Hal ini ditempuh karena kemiskinan dan kelangkaan pangan menjadi pemicu sekaligus pemantik munculnya krisis politik di Indonesia.

Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun. Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasemabda pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto.

Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.

Pada masa pemerintahannya, banyak dikembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian, mulai dari koperasi yang melayani kebutuhan pokok petani dalam usaha agribisnisnya, Bulog yang menampung hasil dari petani, institusi penelitian seperti BPTP yang berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian.

Salah satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW), hingga berbagai bentuk kerjasama antar lembaga yang terkait penyediaan sarana prasaran yang mendukung pertanian seperti irigasi dan pembangunan pabrik pupuk.

Penyediaan sarana penunjang, seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Para petani dimodali dengan kemudahan memperoleh kredit bank. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. 

Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras.

Saat itu budidaya padi di Indonesia merupakan yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk dibangun. Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.

Teknologi pertanian juga diperkenalkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. 

Selain program penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program pertanian Orde Baru yang khas, karena menyuguhkan temu wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan menteri atau Presiden Soeharto langsung.

Hampir tidak ada pembangunan waduk-waduk besar. Era Seharto juga membangun infrastruktur perbenihan, pengamatan, dan pengendalian hama. Banyak peninggalan Presiden Kedua Indonesia itu yang sangat bermanfaat bagi pembangunan pertanian selanjutnya.

Di era Soeharto, menempatkan upaya memenuhi kebutuhan pangan pokok tanpa harus impor, sebagai fokus pembangunan di masa pemerintahannya."Waktu itu, ada tekad yang kuat dari pemerintah untuk berswasembada beras.

Selain tekad, kebijakan, program, dan organisisasi pelaksana dari pusat hingga ke daerah, Soeharto menyediakan sumber daya manusia, yang relatif lebih pintar dengan menghasilkan sarjana-sarjana pertanian yang akan diterjunkan melaksanakan dan mendukung program tersebut, baik di lapangan maupun di lembaga-lembaga penelitian dan kampu. Era Soeharto juga menyediakan sumber dana yang besar untuk menyukseskan program menuju swasembada pangan.

Di era itu pula, Soeharto dinilai suskes memobilisasi masyarakat, terutama petani untuk bersama-sama meningkatkan produksi pertanian. Saat itu pula, kita bisa dikatakan beruntung mendapatkan benih unggul melalui program revolusi hijau saat itu.

Soeharto menangkap revolusi hijau dengan tekad, dirumuskan dan dituangkan dalam kebijakan dan program, dicetak melalui institusi, kemudian disediakan SDM dan dana serta mobilisasi masyarakat petani.

Program kerja pertanian Pak Harto berbuah prestasi. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraria pengimpor beras terbesar pada 1966, mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri melalui swasembada beras pada 1984. Pada 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras, sementara pada 1984, bisa mencapai 25,8 juta ton beras.

Kesuksesan ini mengantarkan Pak Harto diundang berpidato di depan Konferensi ke-23 FAO (Food and Agriculture Organization) alias Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), di Roma, Italia, 14 November 1985.

Mengutip dari pusat data Jenderal Besar HM Soeharto, Wakil Presiden M Jusuf Kalla (2004-2009) juga menilai Presiden Soeharto berjasa besar di bidang pembangunan ekonomi dan pertanian, karena mampu menurunkan tingkat inflasi dari 650% menjadi 12% dalam beberapa tahun pertama kepemimpinannya.

Selain itu, Pak Harto juga punya andil besar dalam pembangunan irigasi pertanian yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Bahkan sampai saat ini, kata Kalla, belum ada presiden yang mampu menandinginya.

Presiden Soeharto pernah mengatakan bahwa "Food is my last defence line". Kebijakan pangan pada masa ini sebenarnya sudah hampir mendekati kategori kemandirian pangan. 

Hanya saja, terdapat beberapa indikator yang belum terpenuhi secara keseluruhan. Dengan kata lain, kebijakan pangan era Soeharto belum mampu mencapai kedaulatan pangan.

Apabila dilihat dari definisi ketahanan pangan, kemandirian dan kedaulatan pangan, posisi kebijakan pangan pada masa Soeharto berada pada posisi ketahanan, sesuai dengan definisi ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau.

Mari kita lihat, dan jangan malu mengakui bahwa satu-satunya presiden sejak Indonesia merdeka, yang berhasil menyejahterakan petani adalah Soeharto. 

Petani Indonesia, pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, mampu memberikan bantuan pangan pada penduduk di negara-negara lain yang mengalami kelaparan. Rasanya presiden yang benar-benar senang dengan pertanian baru Pak Harto. Setelah itu nyaris tidak ada, cuma pidatonya saja.

Kenapa pemerintahan sekarang malu mengadopsi strategi Pak Harto dalam hal ketahanan pangan ? Seentara India yang sekarang swasembada bers juga meniru strategi Pak harto.

Coba lihat di awal pemerintahan Orde Baru  Soeharto mulai dilaksanakan pembangunan besar-besaran di sejumlah bidang. Hal tersebut tidak terlepas dari krisis yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Lama, mulai dari inflasi hingga kenaikan harga kebutuhan pokok. Salah satu fokus perhatian pemerintah Orde Baru kala itu adalah dibidang pertanian dengan fokus kepada peningkatan hasil produksi beras.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Sedangkan produksi beras nasional hanya 12 juta ton pada tahun 1969. 

Upaya peningkatan hasil produksi beras selanjutnya ditempuh melalui intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian. Selanjutnya pemerintah melalui program Bimbingan Masal (BIMAS) berupaya mendorong peningkatan hasil produksi beras.

Program BIMAS kemudian dikembangkan menjadi BIMAS Gotong Royong yang melibatkan peran swasta nasional serta swasta asing. 

Tujuan dari Bimbingan Masal Gotong Royong yakni untuk meningkatkan produksi beras nasional dengan memberi bantuan pupuk serta pestisida pada petani.

Program BIMAS Gotong Royong kemudian disempurnakan menjadi Bimas Nasional melalui Keputusan Presiden No 95 Tahun 1969. Melalui Bimas Nasional, petani memperoleh Intensifikasi Masal (INMAS) serta Intensifikasi Khusus (INSUS). 

Selain menggerakkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, pemerintah juga menerapakan diversifikasi pertanian dengan menggabungkan teknologi dan pertanian.

Program serta kebijakan yang diberlakukan pada masa pemerintahan Soeharto tersebut berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Indonesia selanjutnya mampu menjadi negara pengekspor pangan setelah sebelumnya hanya mengandalkan impor.

Atas keberhasilan Indonesia menjadi negara swasembada pangan dan pada tahun 1985 Presiden Soeharto diundang oleh Direktur Jenderal Food an Agriculture Organization (FAO), Edward Saouma untuk hadir dalam Forum Dunia pada tanggal 14 November 1985 di Roma, Italia untuk memaparkan keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada pangan. 

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Soeharto menyampaikan bahwa keberhasilan pembangunan pangan merupakan hasil dari kerja raksasa suatu bangsa.

Pada agenda yang sama di Roma, Italia, Presiden Soeharto atas nama rakyat Indonesia menyerahkan bantuan berupa 100.000 ton padi kepada korban kelaparan di sejumlah negara Afrika. Bantuan tersebut merupakan sumbangan dari kaum petani Indonesia sekaligus menegaskan bahwa negara-negara yang sedang membangun dapat meningkatkan kemampuannya sendiri.

Ketidakmampuan presiden yang sudah berganti lima kali, membuat Indonesia harus mengimpor beras dari luar negeri. Bahkan untuk mengatasi krisis pangan, Presiden Jokowi pun berencana mengimpor beras dari Kamboja.

Tak pelak, sekarang ini harga beras dalam negeri sudah melambung. Tampaknya, harga beras bakal terus melonjak beberapa waktu ke depan. Penyebabnya karena tambahan stok tidak sebanyak biasanya. Sedangkan permintaan diprediksi bakal tetap stabil bahkan meningkat jelang akhir tahun nanti.

Kini, tak ada lagi harga beras yang berkisar di Rp10.000-an. Kecuali beras yang dijual pemerintah lewat Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Perum Bulog. Dalam setahun, harga berasbulan September ini sudah naik 13,78% dibandingkan September 2022.

Dengan kondisi ini, tampaknya masyarakat perlu bersiap-siap dengan kenaikan harga beras yang bakal lebih tinggi lagi. Jika kita mengikuti siklus padi saat ini hingga akhir September nanti adalah musim panen gadu. 

Karena produksi lebih rendah dari panen rendeng atau panen raya, harga gabah atau beras akan lebih tinggi. Oktober nanti kita mulai musim paceklik. Biasanya Oktober adalah waktu awal tanam, yang akan dipanen akhir Januari atau awal Februari di musim panen raya.

Penyebab utama potensi mundurnya waktu tanam dan panen karena situasi El Nino. Akibatnya kekeringan sudah mulai terjadi di beberapa daerah. Musim kemarau kering bakal terjadi dari wilayah Sumatra bagian tengah hingga Selatan, lalu seluruh pulau Jawa, disusul Bali hingga Nusa Tenggara Timur dan Barat, juga sebagian Papua.

Saat ini cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog sebesar 1,6 juta ton. Mengharapkan pengadaan dari dalam negeri peluangnya kecil. Saat ini harga gabah dan beras medium sudah di atas Harga Eceran Tertinggi. 

Sulit buat Bulog dapat gabah atau beras. Sementara Bulog mesti menyalurkan bantuan pangan beras selama 3 bulan mulai September - November 2023. Tiga bulan itu butuh 640-an ribu ton.

Di luar itu Bulog masih perlu mengamankan harga beras lewat SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan), yang mungkin sampai akhir tahun bisa habis 150-200 ribu ton. Jadi, stok akhir tahun kemungkinan tinggal 750-800 ribu ton.

Saat ini, impor bak sudah menjadi 'senjata' pemerintah untuk menstabilkan kondisi pasar dan pangan dalam negeri. Perum Bulog masih memiliki kuota impor beras sebanyak 400 ribu ton dari total kuota 2 juta ton untuk tahun ini. lantas, sampai kapan kita harus ketergantungan dari luar negeri ?  (karno raditya)

 

 

 

Berita Lainnya

Index