Mari Berfikir Jernih: Mambangun Tanpa Menggusur

Mari Berfikir Jernih: Mambangun Tanpa Menggusur
amuk warga rempang

Masyarakat Melayu, yang ada Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kota Batam (Provinsi Kepri), secara turun-temurun ada sejak tahun 1720. Mereka  sempat terusik dengan rencana pemerintah membangun kawasan perkotaan, yang disebut sebagai Rempang Eco City.

Kata relokasi, yang menurut  KBBI, berarti rencana pemindahan tempat, inilah yang sebenarnya menjadi pemicu permasalahan, mengapa masyarakat suku Melayu di sekitar Rempang dan Galang menjadi marah

Masyarakat Melayu asli Rempang-Galang dan Bulang, sebenanya tidak menolak kedatangan investor. Apalagi kedatangan investor tersebut bernilai positif untuk masyarakat setempat.

Menurut penulis, pemilihan kosa kata yang digunakan para pemangku kebijakan, untuk menginformasikan kepada masyarakat setempat yang salah. Andai saja pendekatannya dilakukan secara budaya dan penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat Melayu, tentu konflik yang terus berkepanjagan itu, tidak akan terjadi.

Masyarakat Melayu di Rempang, Galang, mengasumsikan kata relokasi dengan makna menggusur. Wajar kalau mereka marah. Pasalnya masyarakat di sana sudah ada secara turun-temurun sejak tahun 1720, bahkan sebelum Indonesia Merdeka. Apalagi Batam, yang baru hadir sekitar tahun 70-an.

Menelusuri jejak sejarah masyarakat Melayu di Rempang, Galang dan sekitarnya itu, mereka adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I.

Anak-cucu merekalah  yang sekarang mendiami Rempang-Galang secara turun-temurun.  Dari sisi sejarah,  para keturunan prajurit Kesultanan Riau-Lingga itu, awalnya menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah saat Perang Riau I berkecamuk selama periode 1782-1784. Para prajurit itu juga terlibat dalam Perang Riau II (1784–1787).

Ketika Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah ke Daik-Lingga pada 1787, Rempang-Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga. Pemimpinnya, kata Abdul Malik, adalah Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman yang ditunjuk oleh Sultan Mahmud.

Manusiawi saja, jika mereka marah ketika tiba-tiba muncul ide proyek strategis nasional dengan nama Rempang Eco City, yang akan dibangun PT Megah Elok Graha (MEG), anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata sebagai kawasan industri, jasa dan pariwisata. 

Dampaknya adalah ribuan warga yang tinggal di 16 kampung yang ada di dua kelurahan, yakni Kelurahan Rempang Cate dan Sembulang terancam direlokasi.

Jika saja proyek nasional itu memang akan dibangun, seyogianya pemangku jabatan baik di daerah maupun di Pusat, jauh-jauh hari melakukan pendekatan secara humanis. Memberikan pemahaman secara baik kepada masyarakat setempat, tentang dampak positif ke depannya.

Apa yang terjadi sekarang ini, merupakan refleksi dari peristiwa penggusuran kawasan Lagoi di Bintan beberapa waktu silam. Penggusuran masyarakat Melayu di Bintan, yang wilayahnya kini menjadi kawasan wisata Lagoi, juga sempat menimbulkan aksi demo sampai ke Jakarta. Pengalaman masa lalu di Bintan itulah, yang menjadi pelajaran bagi masyarakat Melayu di Rempang, Galang dan Bulang.

Masyarakat Melayu di Kepri, selalu menyambut baik pembangunan daerah, juga menerima dengan baik investor. Hanya saja, masyarakat Melayu minta janganlah membangun dengan cara menggusur.  

Masyarakat Melayu yang dikenal paling kuat mempertahankan tradisi dan budaya, tak ingin apa yang mereka pertahankan selama ini sirna begitu saja. Apalagi harus memaksakan kehendak, menggusur 16 titik kampung tua yang berada di wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang.

Munculnya penolakan masyarakat Rempang dan Galang pindah dari kampung halamannya sesuatu yang wajar. Mereka sudah mendiami daerah tersebut ratusan tahun. 

Sementara, BP Batam yang dulunya bernama Otorita Batam baru lahir tahun 1970-an dan mulai membangun Batam. Dari sini lahirlah istilah kampung tua. Diartikan kampung yang sudah ada sebelum Otorita Batam (OB) atau BP Batam terbentuk tahun 1971.

Kesejarahan Rempang-Galang masa lampau, bisa dilihat dalam catatan arsip Belanda dan Kesultanan Riau Lingga. Setidaknya sejak Abad 19, sejumlah sumber Belanda dan arsip Kesultanan Riau Lingga menunjukkan daerah Rempang dan Galang sudah ramai penduduknya. 

Catatan Elisha Netscher dalam Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw (1854), ada 18 pabrik pengolahan gambir (bangsal) di Kepulauan Riau tahun 1848.

Diantaranya ada di Galang, Sembulang, Duriangkang, dan Mukakuning. Pemilik bangsal gambir ini adalah orang Tionghoa. Tidak hanya gambir, perkebunan lada juga ada di wilayah Galang dan Rempang, serta Batam.

Tahun 1861, Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau X, Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga dan disetujui Residen Belanda di Tanjungpinang mengeluarkan plakat, memberikan izin kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam. Dalam plakat itu ditegaskan, pihak Kerajaan Riau Lingga akan menghukum seberat-beratnya siapa saja yang mengganggu usaha gambir orang Tionghoa itu.

Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Rempang-Galang sejak abad ke-19 tersebut.  Plakat ini menjadi dasar legalitas lahan untuk perkebunan. Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Rempang-Galang sejak abad ke-19 tersebut. Pertama, masyarakat Melayu dan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi tauke gambir, lada dan ikan.

Sementara, masyarakat Melayu banyak bekerja sebagai nelayan, selain menjadi pekerja di perkebunan gambir dan lada. Kedua, masyarakat adat yang mendiami Pulau Rempang-Galang, yakni Orang Darat dan Orang Laut. Orang Darat mendiami daerah Kampung Sadap di Rempang Cate. Sementara, Orang Laut mendiami daerah pesisir Rempang-Galang dan pulau-pulau sekitarnya.

Secara administrasi, wilayah Rempang-Galang dulunya masuk dalam kekuasaan Belanda. Pasca bubarnya Kesultanan Riau Lingga tahun 1913, seluruh daerah Riau-Lingga termasuk Rempang- Galang diakui tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda.

Pasca Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau. Saat terbentuknya Kotamadya Batam tahun 1983, wilayah Rempang-Galang bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepri.

Adanya penolakan keras dari masyarakat menunjukkan pola pembangunan top down (atas ke bawah) dengan alasan proyek strategis nasional, tanpa melibatkan masyarakat lokal berpotensi pada tingkat konflik yang tinggi.

Paradigma pembangunan di negara-negara berkembang sejak era tahun 80-an bertumpu kepada pembangunan ekonomi dengan output berupa pertumbuhan ekonomi. Model pembangunan prokapital seperti ini menghasilkan suatu kondisi kemiskinan, deprivasi, dan eksklusi sosial.

Pilihan konsep pembangunan demikian oleh sebagian dikritik karena hanya menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi semata, seperti tingkat pertumbuhan gross domestic product (GDP), dan kurang memerhitungkan aspek-aspek nonekonomis.

Mengamati munculnya penolakan pembangunan di kawasan Rempang, Galang memberi bukti bahwa pembangunan selalu dilakukan dengan cara top down. 

Ini terlihat dari pernyataan sejumlah menteri yang datang ke Batam, seperti Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadia, yang selalu membahas Pulau Rempang dari nilai investasi dan calon investor yang akan berinvestasi.

Gubernur Kepri dan Walikota Batam/ Kepala BP Batam dalam berbagai pernyataannya mendukung pengembangan Pulau Rempang karena proyek strategis nasional dengan harapan menjadikan Batam makin maju.

Dari permasalahan Rempang ini, ada sejumlah poin mungkin bisa menjadi catatan kita. Pertama, apakah sudah ada kajian akademis tentang dampak sosial ekonomi dan budaya terhadap masyarakat akibat dampak pembangunan Rempang Eco City ini ?

Kedua, apa yang jadi dasar untuk memilih relokasi jadi pilihan, apakah sudah ada kajian atau hanya kebijakan dari atas. Ketiga, apakah pemerintah sudah mendata secara riil jumlah warga yang terdampak pengembangan Pulau Rempang.

Data tersebut misalnya status tanah, jumlah fasilitas umum, seperti sarana pendidikan, pemakaman. Termasuk berbagai jenis usaha masyarakat yang ada, seperti pertanian, perkebunan dan peternakan.

Terkait relokasi apakah sudah dikaji secara akademis lokasi tempat relokasi warga di daerah baru. Ini bukan hanya masalah kesiapan lahan, pembangunan rumah namun juga harus memperhatikan aspek masa depan kawasan tersebut. Mengambil kebijakan relokasi tanpa didasari kajian yang mendalam akan menjadi bom waktu dan memunculkan permasalahan di kemudian hari.

Membangun suatu daerah, seperti halnya Rempang dan galang idealnya tidak harus menggusur, tapi harus melindungi masyarakat lokal yang ada di sana.  Rencana relokasi harus dipikirkan matang-matang dan dengan kajian mendalam. Pembangunan Rempang ini, janganlah semata aspek bisnis yang dikedepankan.

Oleh karena itu, proyek tersebut jangan hanya menjadi urusan Kemenko Perekonomian, Kemenko Kemaritiman, Kementerian ATR dan Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Investasi dan BPKM saja.

Tetapi, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Hukum dan HAM juga harus dilibatkan karena menyangkut masalah sosial kemasyarakatan, kemanusiaan, terkait masyarakat adat.

Supaya tidak menimbulkan konflik, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga harus mengambil peran karena menyangkut nasib ribuan masyarakat yang terancam tergusur dari tanah tumpah darahnya. Investasi harus didukung, tapi kebijakan membangun Rempang juga perlu dikritisi.

Penolakan relokasi masyarakat Rempang Galang tersebut muncul, karena masyarakat Melayu bertanya, proyek tersebut untuk kepentingan apa dan siapa? Penguasa, pengusaha atau untuk masyarakat?

Berbagai kekerasan dan penggusuran di negeri ini kerap saja terjadi karena pendekatannya yang salah kaprah. Menerapkan pola bahwa pembangunan ekonomi adalah segala-galanya, tanpa memperhatikan hak rakyat juga adalah salah. 

Rakyat trauma dengan berbagai peristiwa yang sudah terjadi dan ada, karena rakyat hanya dianggap objek pembangunan, sehingga rakyat dapat digusur atau dikorbankan demi atau atas nama pembangunan.

Disamping penggusuran, negara selalu mendorong kaum pemilik modal menjadi pengendali pembangunan itu, dengan mana negara memberi hak-haknya secara eksklusif kepada segelintir orang. 

Dalam kasus Rempang, negara memeberikan tanah seluas 17.000 Ha untuk sebuah entitas atau satu orang. Untuk apa pula sub negara (otorita Batam) sebagai pemilik hak tidak mengelolanya langsung?

Pembangunan model seperti ini,  sering disebutkan sebagai pola klasik dari pengurus negara yang tidak kreatif, malas, miskin ide dan cenderung menjadi kaki tangan pemilik modal.

Pola ini mengakibatkan pertumbuhan yang terjadi tidak berkorelasi pada pengentasan kemiskinan. Bahkan, mayoritas porsi keuntungan dari pertumbuhan itu kembali kepada pemilik modal, dan menyisakan sedikit bagi rakyat dan negara.

Dalam kasus Rempang, jika saja kebijakan pemerintah pro pada rakyat miskin atau 10.000 penduduk asli di sana, maka model penggusuran dapat diganti dengan model co-eksistensi yang bersifat win-win solution.

Rakyat dapat dilibatkan sebagai stake holder dan mungkin sekaligus share holder atas pembangunan atau pendirian pabrik di sana. Permintaan rakyat untuk dapat mendiami 1000 Ha lahan (silahkan 16.000 Ha nya dikelola swasta), seharusnya sudah dapat dihargai sebagai pola rasional. 

Apalagi jika keterlibatan rakyat ditingkatkan lagi dalam berbagai hal, seperti isu kelestarian dan keberlanjutan serta penjaga pulau-pulau terluar.

Sayangnya, pemangku kebijakan hanya berpikir gampang, bagaimana mendukung investasi masuk tanpa memperhatikan nasib rakyat di sana. Ini adalah pola lama yang sudah seharusnya usang. Ke depan, tentu saja negara harus dikelola dengan prinsip prinsip mengutamakan rakyat. 

Rakyat pun sesungguhnya mengerti bahwa mereka tidak anti pembangunan, melainkan mereka ingin diajak bicara dan diajak berpartisipasi. Model itu dikenal dalam prinsip kebijakan Pro Poor Growth.

Kita harus memahami, di negeri ini rakyat adalah pemilik sah republik, bukan objek yang harus dipinggirkan. Karena itu, proyek yang digadang-gadang di Rempang Galang tersebut, harus juga memperhatikan soal  "Social Market Economy" bukan "free market competition". Yang pertama mengedepankan dialog antara rakyat dan pemilik modal, sedangkan yang akhir menegasikan hak rakyat.

Sebab pada kenyataannya, masyarakat Melayu di Rempang dan Galang tidak menolak pembangunan, tetapi menolak direlokasi. Warga mempersilakan pemerintah melakukan pembangunan di luar kampung-kampung warga. Tapi setidaknya 16 titik kampung warga di kawasan Pulau Rempang ini, tidak direlokasi.

Penolakan keras mereka, lantaran kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga mau direlokasi. Jika pembangunan dilakukan tanpa menggusur, tentu kawasan itu bisa dilestarikan, sekaligus sebagai objek wisata mendampingi berdirinya kawasan Rempang Exo City. 

Kenapa masyarakat Melayu ngotot mempertahankan kawasan itu ? Karena mereka menilai kawasan itu memiliki nilai sejarah yang amat panjang, terutama menyangkut leluhur masyarakat Melayu di Kepulauan Riau. (raditya)

 

 

 

 

 

 

Berita Lainnya

Index