Politik itu Kejam Bung !

Politik itu Kejam Bung !

Politik itu memang kejam. Sebab,  politik tidak ada kawan dan musuh yang abadi. Politik dalam praktiknya, merupakan proses untuk mempertahankan, meraih dan mengambil bagian dalam kekuasaan.

Dalam politik, pengkhianataan itu sudah menjadi hal yang lumrah. Meski kadang praktik semacam itu dinilai tidak elok dan tidak mencerminkan politik yang jujur, cerdas dan bersih. Tapi, itu lah politik yang terjadi saat ini. Etika dan moral bisa terpinggirkan.

Seperti peristiwa  yang baru saja terjadi, antara Anies Baswedan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), atau Muhaimin Iskandar  dengan Prabowo Subianto, dua peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa politik itu kawan bisa jadi lawan, soal etika dan morol nomor dua demi ingin meraih kekuasaan.

Karena  ini soal kekuasaan, maka berlaku dalil tidak ada kawan atau lawan yang abadi di politik. Yang kemarin musuh, sekarang kawan, yang kemarin kawan menjadi lawan, politik itu memang begitu wataknya.

Politik mempertahankan dan meraih kekuasaan, akan tampal setiap ada Pemilu dan itu  merupakan implementasi dari demokrasi. Jadi tak bisa dipungkiri, kalau demokrasi dapat menimbulkan kekacauan, karena orientasi demokrasi adalah meraih kemenangan dengan meninggalkan moral, etika dan kejujuran.

Sebenarnya, praktik seperti ini menjadi contoh buruk dan tak patut ditampilkan di Indonesia, yang  penduduknya dikenal dunia sangat ramah dan sangat sangat menjunjung sopan santun, apalagi  musyawarah mufakat, menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Boleh jadi, oknum politisi yang mengesampingkan budaya luhur bangsa ini, belum memahami betul isi sila keempat dari Pancasila. Atau juga, memang tidak paham dan mengenal Pancasila, apalagi memahami isi yang terkandung di dalamnya.

Dalam teori, demokrasi semacam itu  justru dapat menimbulkan kekacauan kalau tidak ada nomokrasi (kedaulatan hukum). Karena apa? Karena demokrasi itu tujuannya mencari menang. 

Untuk itu, pentingnya ada nomokrasi atau kedaulatan hukum guna mencegah dan mengantisipasi kekacauan, yang ditimbulkan demokrasi. Pasalnya, logika demokrasi, yang selalu ingin mencari kemenangan, bisa diimbangi logika nomokrasi, yang selalu ingin mencari kebenaran.

Budaya luhur bangsa ini seakan mulai luntur. Ini terjadi mungkin karena tergerus oleh budaya asing. Tapi jika ini menjadi pembiaran, maka praktik semacam ini akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Coba kita lihat yang terjadi sekarang ini,  semua bisa berubah cepat sesuai kepentingan yang ada. Misal, Si A adalah seorang pemimpin memberikan jabatan kepada si B, yang merupakan anggota atau bawahannya. Setelah si A tidak lagi jadi pemimpin, malah si B mencalonkan diri sebagai pemimpin dan menang, malah si B tidak lagi menghiraukan dan mendengar pendapat dan arahan dari si A yang merupakan mantan atasannya.

Dari ilustrasi tersebut, bisa kita lihat bagaimana politik itu kejam. Berbeda dulu dengan sekarang. Apa yang sudah diberikan, belum tentu akan dibalas sesuai yang diharapkan dalam politik. Jadi, politik itu memang kejam dan tidak bisa diterka.

Karena itu, jika kita ingin berpolitik, maka harus mempunyai mental yang kuat. Jika tidak, akan kandas di tengah jalan dan merasa sakit hati dan kecewa. Kalau ingin berpolitik maka kita harus siap menerima konsekuensi yang ada.

Harus diketahui bahwa dalam politik, setiap orang punya kepentingan masing-masing, yang akan diraih dengan cara apapun. Jadi, siapa saja yang ingin masuk dalam dunia politik, haruslah mematangkan lagi mentalnya dan mematangkan lagi ilmu politiknya dan siap menerima segala konsekuensi yang ada.

Realita dalam helat pemilu atau pilkada misalnya, bisa dengan mudah dua atau lebih kubu berada pada posisi berlawanan, bahkan duel brutal, tiba-tiba berpelukan mesra. Sementara dua kubu pendukung sama sama militan, terlanjur pasang harga mati.

Kaang pendukun sammpai bersumpah setia sampai titik darah terakhir. Slogannya sama-sama maju tak gentar, bela yang benar, bukan membela yang bayar. Boleh saja sikap kesatria dalam  dunia pewayangan dijadikan contoh, tapi  ingat faktanya akan  jauh berbeda di pentas jagat politik nyata.

Prinsip kesatria lebih baik mati  dari pada hidup mencium kaki musuh, prinsip semacam itu sudah tidak lagi berlaku dii negeri ini. Di arena jagat politik, justru terjadi sebaliknya, bahkan sebagian pengamat berpendapat, berkoalisi dengan musuh dianggap sosok yang legowo dan berjiwa negarawan sejati.

Nabi Muhammad telah berpesan kita, janganlah  terlalu cinta, cinta cukup sekedarnya saja. Cintailah orang yang kita cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari orang itu akan  menjadi orang yang kita benci. Dan bencilah kepada orang yang kita benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kita benci menjadi orang yang kita cinta.

Artinya, jika kita benci dengan orang, janganlah sampai kelewatan, begitu juga kalau mencintai janganlah membabi buta. Seiring berjalannya  waktu, bisa jadi akan membuat kita sendiri malu dan serba salah. 

Banyak sudah peristiwa politik yang berbalik arah. Benar, bahwa posisi seseorang menentukan sikapnya. Siapa dan di mana berada akan mempengaruhi arah dan pilihan.

Kita telah bersepakat mengagungkan demokrasi. Dan kita paham watak dasar demokrasi mengajarkan untuk berpecah dan bangga dengan golongan atau kelompok. Dominasi yang kuat mengalahkan yang lemah.

Minoritas tak ada hak untuk melawan keputusan. Maka di ajang pemilu, sesunggunya tidak lebih dari perebutan kekuasaan, bukan mencari sosok pemimpin. Secara filosofi, pemilu merupakan hal yang mulia, lantaran memiliki tujuan untuk mencari pemimpin rakyat. Namun, dalam praktiknya, pemilu justru menjadi proses politik untuk memperoleh, mempertahankan, atau mendapat bagian dari kekuasaan.

Memang taak ada yang melarang atau menyuruh merangkul lawan jadi kawan atau sebaliknya. Tapi bila demokrasi model semacam ini dibiarkan terjadi terus-menerus, dipastikan akan berdampak buruk. Oleh karena itu, perlu teman nomokrasi untuk mengontrol demokrasi agar tidak menimbulkan kekacauan. Kalau demokrasi mencari menang, nomokrasi itu mencari benar.

Jika demikian, maka tampaknya sistem pemerintahan ini memang perlu memiliki instrumen hukum kelembagaan, yang kuat untuk mengawal demokrasi supaya tidak salah arah. Mari kita mengukur tensi politik tubuh kita masing masing, mana yang benar mana yang salah.

Jadi yang harus kita pahami adalah, bahwa  di dalam politik, tidak ada kata baper. Sebab kita harus siap dulu sebelum masuk dalam ranah politik. Bersiaplah untuk melihat, bagaimana persaingan dalam dunia politik itu ketat dan kejam. Oleh karena itu, kita sekarang memilih apakah akan masuk dunia politik atau tidak?.

Jika membanding  di masa lalu, sejak era reformasi kondisi perpolitikan kita memang lebih  dibandingkan Orde Baru. Pasalnya, di era reformasi, demokrasi sudah diimbangi dengan nomokrasi dengan adanya intrumen hukum dan lembaga-lembaga independen terkait pemilu. Maka setiap pemilu, sudah disiapkan instrumen hukum, karena selalu menimbulkan kegaduhan. Karena yang curang memang banyak.

Beda dengan demokrasi dan pemilu antara era Orde Baru. Pemilu zaman Orde Baru, sepenuhnya dikuasai pemerintah, dilaksanakan oleh pemerintah dan pemenangnya ditentukan oleh pemerintah.

Di masa lalu, pemilunya hanya formalitas, tidak perlu ada survei. Sebab sudah diputuskan bahwa pemilu sudah ditentukan bahwa parti A sekian persen, partaai B sekian persen, partai C sekian persen dan seterusnya. Kalau ada dianggap ada kecurangan dan ketahuan, dibilang itu bohong.

Sementara di era reformasi,  pemilu diselenggarakan oleh KPU yang merupakan lembaga independen, mandiri dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk pemerintah. 

Selain itu,  di era sekarang juga sudah ada Bawaslu yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu dan menindak pihak yang melakukan pelanggaran pemilu.

Bahkan, sudah terdapat DKPP yang bertugas mengadili pelanggaran etik penyelenggara pemilu dan MK yang mengadili sengketa hasil pemilu. Itu instrumen yang secara nomokrasi disediakan. 

Zaman Orde Baru hal seperti itu ada (lembaga-lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu independen), sekarang ada karena nomokrasi mau disejajarkan dengan demokrasi.

Hanya saja, kadang muncul perilaku yang buruk dari para oknum politisi, sehingga menyebabkan banyaknya stigma dari masyarakat Indonesia bahwa politik itu kejam dan kotor. 

Perilaku buruk yang mereka lakukan seperti melakukan tindak korupsi demi kepentingan mereka atau kelompok mereka, melakukan suap menyuap, dan melakukan kolusi, sudah bukan hal aneh di era sekarang.

Perbuatan kotor tersebut pastinya akan berdampak terhadap beberapa aspek masyarakat Indonesia mulai dari ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain. 

Stigma politik kotor akibat perilaku para oknum politisi tersebut, pastinya akan mempengaruhi masyarakat, yang masih polos secara pengetahuan, mereka pastinya tidak akan terjun atau peduli dalam dunia politik, sehingga ketidakpedulian mereka akan mengakibatkan para oknum politisi kotor tersebut berperilaku lebih kotor lagi, karena banyak masyarakat yang tidak peduli.

Adigum tidak ada kawan dan lawan abadi di arena politik, yang ada hanya kepentingan abadi, membuat masyarakat jadi jengah jika diajak bincang terkait dengan dukungan. Sebab, banyak yang menjadi kecewa terkait keputusan politik orang yang dijagokannya.

Mereka melihat, sebelumnya bertarung ketat bahkan berantam, tiba-tiba berpelukan. Semoga saja pada Pilpres 2024 mendatang, para politisi yang akan bertarung, bisa memperlihatkan cara berpolitik yang santun, jujur dan adil, dengan mengedepankan etika dan moral. (Karno Raditya)
 

Berita Lainnya

Index