Soal Cawapres Anies:

Kader Demokrat Terpancing Manuver Lawan

Kader Demokrat Terpancing Manuver Lawan

Heboh soal penurunan baliho Capres Anies Baswedan, di beberapa daerah oleh kader Partai Demokrat, menjadi menarik untuk disimak. Isu pengkhianatan pun dimainkan, sehingga banyak kader Partai Demmokrat yang marah.

Kemarahan sejumlah kader Partai Demokrat, membuktikan bahwa psywar pihak lawan berhasil. Ingat bukankan cara seperti ini lazim digunakan dalam kampanye pemilihan, untuk mempengaruhi opini publik tentang seorang kandidat atau partai politik tertentu. 

Ini dapat dilakukan melalui iklan politik, pernyataan publik, atau strategi lainnya. Jelang Pilpers 2024, tidak sedikit pemain politik menggunakan segala cara untuk memenangkan pertempuran.

Salah satu cara, atau taktik yang dimainkan dalam perpolitikan adalah meramu secara cantik, lalu melempar propaganda dan perang urat saraf alias psywar ke arah lawan.

Perang urat saraf semacam ini bertujuan untuk melemaskan saraf atau jantung lawan, sehingga lawan loyo, kehilangan konsentrasi, nafsu makan pun drop.

Atau untuk menjungkir-balikkan belief (kepercayaan) lawan tentang hal-hal penting, sehingga rakyat berbelok arah: dari mendukung kubu A berbelok ke kubu B. 

Konten psywar pun makin gila-gilaan, sehingga membuat publik geleng-geleng kepala, dan tidak lagi bisa menbedakan mana informasi yang benar dan mana yang palsu, bahkan hanya fabrikasi pihak tertentu. 

Sayangnya sejumlah  Kader Demokrat terpancing oleh manuver lawan tekait soal Cawapres Anies, yang heboh dalam dua hari belakangan ini.  Sebagian kecil kader yang tak paham strategi perang yang, dibuat lawan, justru membuat gaduh.

Kegaduhan itu pun terjadi, yang diaktualisasikan dengan  mencopot gambar atau foto Anies Baswedan bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY),  terpampang di baliho dan spanduk  di sejumlah daerah.

Isu pengkhiataan pun dimainkan. Lebih fatal, di Jawa Tengah, Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Tengah, Rinto Subekti, bersama Sekretaris Kartina Sukawati, melalui Zoom meeting dengan jajaran pengurus DPD dan DPC Partai Demokrat se-Jawa Tengah, menginstruksikan untuk mencopot semua gambar Anies Baswedan, yang bersama Ketum AHY. 

Pencopotan foto dan gambar Anies, tak lepas dari kekecewaan atas manuver politik Partai Nasdem yang, tiba-tiba mewacanakan memasangkan Anies dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, sebagai Cawapres tanpa berkomunikasi dengan Demokrat.

Bagi kader Demokrat, yang mengerti manuver dan strategi, tentu tidak akan gegabah untuk bertindak. Mereka pasti akan mempelajari, apakah manuver ini dibuat oleh kalangan sendiri, atau oleh pihak lawan.

Terlepas apakah itu manuver Demokat, yang cederung menerapkan strategi politik "adol welas, menjual belas (kasihan)", harusnya kader Demokrat lebih cerdas dalam membaca situasi. Tidak gegabah, dan  terpancing dengan berbagai manuver politik yang memang dirancang pihak lawan, atau malah dari dalam sendiri.

Memang rada aneh, kenapa  kabar kerjasama antara Partai NasDem dan PKB,  yang baru wacana itu tidak dicermati dengan baik oleh Sekjen Partai Demokrat Teuku Rifky. Padahal selama ini NasDem sudah menjalin kerja sama dengan Demokrat dan PKS dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan.

Adalah kabar dari Sudirman Said, mewakili Capres Anies Baswedan, yang menyampaikan berita  bahwa Anies telah menyetujui kerja sama politik Partai NasDem dan PKB, untuk mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Kabar inilah yang kemudian menyulut kemarahan, Sekjen Demokrat. 

PKB sebelumnya merupakan salah satu partai pendukung Prabowo Subianto untuk Pilpres 2024. Partai itu bahkan menjadi yang paling awal mendeklarasikan dukungan sejak Agustus 2022 dengan nama KKIR dan kini berubah jadi Koalisi Indonesia Maju. Namun, hal tersebut belum diumumkan secara resmi baik dari PKB, Partai NasDem, atau Anies Baswedan mengenai duet yang ramai diberitakan.

Manuver politik yang dibuat ini memang jitu, dan berhasil sampai-sampai anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan, juga ikut-ikutan menginstruksikan kader Demokrat, untuk menurunkan baliho bergambar Anies Baswedan, yang selama ini sudah terpasang di berbagai lokasi.

Sebagai senior di Partai Demokrat, harusnya Syarief Hasan, bisa mencermati strategi apa yang sedang dimainkan. Menurut hemat penulis, Syarief Hasan, sudah terpancing dengan  psywar ini.

Syarief Hasan, harusnya lebih jeli apakah psywar ini dari lawan atau memang dari dalam partai sendiri, baru kemudian membuat pernyataan.

Kini yang terjadi di publik adalah, langkah yang dilakukan usai Anies tersebut dicerminkan sebagai sebuah pengkhiatan.  Apalagi secara kelembagaan Demokrat menyatakan Anies telah setuju dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar atas dasar kerja sama antara NasDem dan PKB.

Hasil dari  psywar ini, membuat sejumlah foto Aneis pun di turunkan.  Belum diketahui pasti berapa banyak baliho Demokrat bergambar Anies Baswedan yang akan diturunkan. Tapi langkah itu dilakukan usai Demokrat merasa dikhianati atas langkah yang diambil Anies Baswedan dan NasDem.

Aksi yang dibuat sejumlah kader Demokrat tersebut, setidaknya menguntungkan  pihak lawan. Sementara tudingan kepada Ketua Partai NasDem, Surya Paloh sebagai pengkhianat  terlanjur membuat tak simpati bagi para Kader Demokrat.

Jika ini terus menjadi konflik, maka isu awal, yang coba memasangkan Ganjar-Anies bisa saja terjadi. Meski Anies sendiri secara tegas menolak menjadi wakil Ganjar, atau sebaliknya Ganjar-AHY. Ingat banyak pihak yang tidak menginginkan Anies jadi nomer satu di negeri ini. Bukankah gaung, yang menyebut ABA (Asal Bukan Anies) sampai hari ini pun masih dikumandangkan.

Ganjar-Anies sebagai pasangan capres-cawapres belakangan ini, dipandang sebagai bagian dari "strategi awal pembubaran" Koalisi Perubahan, agar salah satu dari partai yang merasa tidak nyaman itu bisa segera keluar dari koalisi.

Jika ini terjadi, maka deadlock Koalisi Perubahan sebenarnya bukan semata-mata akibat benturan ego elite partai-partai, tetapi juga akibat dari cawe-cawe tangan kekuasaan yang 'mengunci' tangan dan kaki salah satu partai pengusung Anies, sehingga gamang dan tidak siap menghadapi risiko besar pencapresan Anies ke depan.

Rasanya PKB tetap setia bersama kubu Prabowo, buktinya sampai saat ini mereka belum mengonfirmasi kebenaran kabar kerja sama dengan NasDem dan menduetkan Anies dan Muhaimin Iskandar. Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengklaim itu baru kan sebatas wacana. Tapi kader Demmokrat keburu berang.

Adalah sikap bijak Surya Paloh,  yang mengatakan ada kemungkinan mengenai pasangan Anies Baswedan dan Cak Imin di Pilpres 2024. Namun itu kan belum ada keputusan formal untuk itu. 

Jika melihat apa yang dilakukan Surya Paloh, selama ini ia seolah memberi kebebasan kepada Anies untuk memilih cawapres, namun sebetulnya tidak. Surya Paloh punya strategi sendiri.

Mari kita baca manuver setelah sejumlah kader Demokrat marah. Ada ajakan PPP dan Demokrat untuk mendukung Ganjar. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengajak Partai Demokrat dan PKS untuk mendukung bacapres Ganjar Pranowo di Pilpres 2024 usai kabar Anies Baswedan gandeng Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Sebenarnya, soal duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di Pilpres 2024, wacana itu muncul menyusul adanya pertemuan Anies dan ibu Cak Imin Muhassonah Hasbullah, di Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, Jombang, Jawa Timur beberapa waktu lalu.

Anies sebelumnya telah mengunjungi kediaman ibunda Muhassonah di usai berziarah ke empat makam pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Jombang, Jawa Timur. Kunjungan itu adalah silaturahmi Anies dalam melakukan pendekatan dengan warga NU.

Anies didampingi istrinya, Fery Farhati saat berkunjung untuk bersilaturahmi. Setelah berbincang santai, Muhassonah pun berdoa untuk Anies. Celakanya, kubu Anies pun tak membaca kalau ada celah, yang justru dapat merusak strateginya sendiri.

PKS, yang sejak awal, tampaknya tetap berkomitmen mendukung Anies, siapa pun wakilnya. Ini justru sikap yang lebih cerdas.  Karena itu, sekalipun koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) pecah, PKS tampanya tetap tak akan berpaling dengan NasDem.

Kisruh karena tak cerdas membaca strategi perang inilah, yang  membuat elektabiitas Anies terus terjun ke bawah.  Meskipun pernah mencapai elektabilitas di sekitar angka 29% pada pengujung 2022, namun selama paruh pertama tahun 2023 ini, elektabilitas Anies selalu "tercecer" di posisi terbawah dengan jarak angka cukup jauh dibanding capres potensial lainnya seperti Prabowo dan Ganjar.

Tercecernya elektabilitas Anies itu, juga dibayangi oleh kondisi Koalisi Perubahan yang kian stagnan. Di saat PKS dan Demokrat mengklaim siap mendeklarasikan pasangan capres-cawapres dan membentuk infrastruktur pemenangan Anies, Nasdem justru tampak bersikeras mengulur waktu hingga menit-menit terakhir (last minutes).

Mandegnya elektabilitas Anies,  bisa juga dimungkinkan oleh situasi di mana sang ketua umum partai Surya Paloh tersandera oleh tangan-tangan kekuasaan yang tak terlihat (the invisible hand). Sikap diamnya Suya Paloh, harus kita baca lebih cermat.

Sementara Anies, yang seharusnya tampil agresif memimpin koalisi, kini juga ikut-ikutan diam menyaksikan koalisinya stagnan dan elektabilitasnya masih terseok-seok pada enam bulan menjelang Pilpres 2024 mendatang.

Bahkan, selaku capres Pro-Perubahan, Anies sendiri belakangan juga tampak semakin gamang dan tidak cukup keberanian untuk mengkritik kebijakan pemerintahan.

Jika Koalisi Perubahan benar-benar masih ingin tampil kompetitif, seharusnya Anies bisa lebih agresif dan berani memecah kebekuan di dalam koalisinya. Sebab, pascabergabungnya Golkar dan PAN ke kubu Prabowo, konfigurasi parpol pembentuk poros koalisi saat ini sudah fase final. Tidak ada lagi yang perlu ditunggu.

Jika Anies tetap terdiam, Anies tidak sadar dirinya hampir kehilangan momentum. Anies seharusnya juga paham bahwa success story-nya di Pilkada Jakarta 2017, di mana elektabilitasnya sempat tercecer di awal kontestasi, tidak bisa disamakan dan diterapkan kembali dalam kontestasi Pilpres Indonesia.

Maka, sebagai kekuatan penantang yang memiliki jaringan, kekuatan politik, dan logistik yang relatif terbatas, seharusnya Anies dan koalisinya bisa bergerak cepat dengan deklarasi capres-cawapres, finalisasi Sekretariat Bersama (Sekber), dan membentuk infrastruktur pemenangan. Sehingga elektabilitasnya sebagai capres kembali kompetitif menjelang Pilpres 2024 mendatang. 

(oleh :  karno raditya)
 

Berita Lainnya

Index