Gatot Nurmantyo Ingatkan:

Pemaksaan Relokasi Masyarakat Melayu Rempang, dapat Mengganggu Stabilitas Nasional

Pemaksaan Relokasi Masyarakat Melayu Rempang, dapat  Mengganggu Stabilitas Nasional
Gatot Nurmantyo

Jakarta, (PAB-Indonesia)

Mantan Panglima TNI. Jenderal (pur) Gatot Nurmantyo, mengingatkan bahwa solidaritas nasional terkait penolakan relokasi masyarakat Melayu  Rempang, Galang, dan sekitarnya, di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, bukan saja menjadi isu nasional, tapi dapat juga mengganggu stabilitas nasional.

"Saya mengingatkan, jangan sampai kasus tersebut menjadi  " Amuk Melayu". Sebab sejak zaman dulu suku Melayu punya motto hidup, lebih baik mati berdiri daripada berlutut dan  tak akan Melayu hilang di bumi. Semboyan hidup mereka itu, menjadi semangaat perjuangan masyarakat Melayu di seluruh Indonesia.

Untuk itu pemerintah perlu mengkaji ulang proyek Rempang Exo City tersebut dan jangan memaksakan kehendak," tegas Gatot Nurmantyo, dalam acara diskusi, yang berlangsung di Jakarta, Sabtu kemarin.

"Meluasnya aksi solidaritas masyarakat Melayu itu dapat mengganggu stabilitas nasional.  Ini harus menjadi perhatian pemerintah, khususnya presiden Jokowi," tambah Gatot .

Lebih jauh Gatot mengakatan, lihat saja aksi protes melayu di Aceh, Riau, Kepri, Sumut, Kalimantan, Jambi, Lampung, Palembang, Bengkulu, Sulawesi, Papua, bahkan Jakarta, Tangerang, bahkan sebagian warga Solo Jawa Tengah, tidak boleh dianggap sepele oleh pemerintah.

Menurut Gatot, pada prinsipnya masyarakat Melayu di Rempang Kepulauan Riau, tidak menolak hadirnya investor.  Gatot Nurmantyo menghimbau, seluruh aparat baik Polisi dan TNI dan yang lainnya, untuk tidak mengedepankan tindakan refresif.

"Sebab yang kalian hadapai adalah rakyat Indonesia sendiri dan itu saudara-saudara kalian juga. Ingat...bahwa TNI berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Masyarakat Rempang bukan musuh kalian," pesan Gatot Nurmantyo.

Dari Batam tokoh masyarakat di Rempang, Khazaini KS.  mengatakan,  warga yang menolak relokasi mayoritas tinggal di 16 Kampung Tua. Menurutnya, masyarakat setempat sudah ada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat  Melayu 16 kampung tua  sudah eksis dari 1834.

Tokoh Melayu Riau ini, menyebut masyarakat Melayu sudah tinggal dan beranak pinak di Rempang, termasuk Pulau Galang dan Bulang, sejak lebih dari 300 tahun lalu. Mereka eksis serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang hingga hari. Jadi tidak benar seperti apa yang dikatakan Menkopolhukam Mahfud MD, kalau di Rampang adalah masyarakat pendatang.

Menurut Khazaini, masyarakat tidak akan marah jika hak-hak mereka yang sudah ratusan tahun itu dihargai. Dikatakannya, warga yang menolak relokasi mayoritas tinggal di 16 Kampung Tua. Masyarakat setempat sudah ada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum Mahfud MD lahir pun di Rempang ini sudah ada orang Melayu.

"Dari hasil asesmen lapangan kami, mayoritas masyarakat 16 kampung tua menolak relokasi karena kampung sudah eksis dari 1834," kata Khazaini.

Sampai dengan saat ini, telah ada 130 organisasi masyarakat sipil dari Aceh sampai Papua, telah menyampaikan desakan kepada pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Jokowi untuk menghentikan proyek Rempang Eco-City, menghentikan pematokan dan penggusuran, serta mendesak kepolisian untuk membebaskan tanpa syarat puluhan warga yang ditangkap dan ditahan karena terlibat aksi menolak penggusuran pada 7 dan 11 September 2023.

Tindakan refresif pihak kepolisian pada tanggal 7 September 2023 lalu, telah memicu kemarahan masyarakat Indonesia secara nasional, serta membuat masyarakat luas semakin tidak mempercayai pemerintahan saat ini, yang lebih berpihak pada investor serta tidak melindungi sekaligus memuliakan hak-hak masyarakat sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia.

Kepedihan masyarakat Melayu di Rempang, dirasakan juga oleh masyarakat Melayu di daerah lainnya di Indonesia. Karena itu seluruh masyarakat Malayu yang ada di Aceh, Sumut, Jambi, Riau, Pelembang, Kalimantan, Sulawesi, Betawi dan Jawa Barat, khususnya Tengerang, melakukan kasi demo di daerahnya masing-masing. Bahkan masyarakat di Solo juga melakukan aksi demo dan mengutuk tindakan  refresif aparat terhadap masa demo yang terjadi di Batam.

Seluruh masyarakat Melayu menilai, nafsu menggusur masyarakat Pulau Rempang tidak lepas dari langkah Jokowi, yang telah bertemu dengan sejumlah CEO di negeri Tiongkok, pada penghujung Bulan Juli 2023.

Dalam kesempatan itu,  Jokowi menandatangani Memorandum of Inderstanding (MoU), untuk membangun industri di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Masyarakat Indonesia patut mengecam langkah Jokowi tersebut karena di lapangan aparat kepolisian telah menggunakan kekerasan untuk mematok dan mengukur tanah di Pulau Rempang.

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, yang merupakan bagian dari gerakan Solidaritas Nasional untuk Rempang, menyebut bahwa proyek Rempang Eco-city merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sangat bermasalah.

Pasalnya payung hukumnya baru disahkan pada tanggal 28 Agustsu 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. “Proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak,” tegasnya.

Ia menilai bahwa hampir dalam setiap Pembangunan PSN di Indonesia, pemerintah selalu melakukan mobilisasi aparat secara berlebihan yang berhadapan dengan masyarakat. Lebih jauh, dalam PSN, pengadaan tanahnya selalu merampas tanah masyarakat yang tidak pernah diberikan hak atas tanah oleh pemerintah.

Senada dengan itu, Zainal Arifin, Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang merupakan bagian dari gerakan Solidaritas Nasional untuk Rempang, menyebutkan bahwa pembangunan proyek Rempang Eco City memiliki sejumlah kecatatan serius, di antaranya tidak adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta tak ada peruntukan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Bahkan, menurutnya, sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan oleh Kementerian ATR/BPN kepada Badan Pengembangan (BP) Batam untuk mengelola Pulau Rempang sampai sekarang tidak dapat dibuktikan. Serta belum adanya pelepasan status kawasan hutan dari KLHK.

“Dalam pembangunan proyek Rempang Eco City, dapat dipastikan banyak kecacatan prosedur serta persoalan lingkungan hidup,” tegasnya.

Sementara itu, Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang merupakan bagian dari gerakan Solidaritas Nasional untuk Rempang, menjelaskan bahwa HPL merupakan jenias hak atas tanas yang baru. HPL dapat dipastikan tidak ada landasannya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Meski demikian, HPL sangat kuat digunakan oleh pemerintah Jokowi untuk kepentingan Investasi.

“Ketika sebuah badan atau lembaga diberikan HPL, badan atau lembaga tersebut dapat bertransaksi dengan pihak ketiga untuk memberikan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), bahkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Di sinilah letak persoalan yang sangat berbahaya,” ungkapnya.

Pada bagian lain, Solidaritas Nasional untuk Rempang mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk terus membangun solidaritas terhadap masyarakat Pulau Rempang yang saat ini sedang berjuang untuk merebut hak mereka.

Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai apa yang terjadi di Pulau Rempang menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Republik Indonesia yang menyebutkan, tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

jaumlat lalu, ratusan massa yang tergabung dalam Solo Peduli Melayu, juga menggelar aksi demo mendukung masyarakat Rempang Kepulauan Riau. Mereka meminta kepada pemerintah membatalkan segala bentuk perizinan pengembangan proyek Rempang Eco City yang telah menimbulkan konflik hingga memicu aksi keprihatinan di berbagai tempat.

Dengan membentangkan sejumlah spanduk hingga poster, bertuliskan “Penguasa zalim itu sekutunya setan” serta “Segera selamatkan Rempang untuk rakyat” dan lainnya, ratusan massa menggelar aksi di Bundaran Gladag, Jalan Slamet Riyadi, Solo.

Menurut massa aksi, investasi yang dilakukan seharusnya tidak melukai dan menyengsarakan masyarakat. “Kami mendukung sepenuhnya upaya yang dilakukan oleh masyarakat Rempang dalam mempertahankan tanah adat yang telah ditempati sejak ratusan tahun lalu,”tegasnya.

Massa Solo Peduli Melayu, juga menyesalkan penangkapan dan tindak sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat Kepolisian kepada masyarakat Rempang saat melakukan aksi demonstrasi beberapa waktu lalu di BP Batam.

Humas Solo Peduli Melayu, Endro Sudarsono, menjelaskan, aksi yang dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap bangsa melayu khususnya di Rempang, yang saat ini terancam digusur untuk sebuah investasi.

Aksi ini juga untuk mengingatkan pada pemerintah bahwa tujuan bernegara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Menyampaikan kepada dasar negara Undang Undang dasar 1945 Pasal 33 (3), bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka kebijakan apapun di negara Indonesia maka pemerintah wajib menggunakan acuan itu.”ujarnya.

Terkait kebijakan Rempang Eco City, mereka meminta kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan proyek karena masih ada beberapa warga yang akan digusur, dimana masyarakat sudah menempati ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka.

Di Tangerang, Jawa Barat, aksi protes juga terjadi. Untuk mendukung perjuangan masyarakat dalam mempertahankan Tanah Adat atau Hak Atas Tanah, yang ditempati di Rempang Galang Batam Kepulauan Riau, aktivis yang tergabung dalam “Gerakan Solidaritas Masyarakat Tangerang” menggelar aksi solidaritas di Tugu Adipura dan Gedung DPRD Kota Tangerang.

Aksi solidaritas, yang melibatkan puluhan masa aksi dari Aktivis, Penggiat Sosial dan Mahasiswa Kota Tangerang tersebut, guna menyampaikan aspirasi dan rasa prihatin atas persoalan unjuk rasa yang berbuntut ricuh dari penolakan masyarakat terhadap pemerintah terkait rencana pengosongan lahan yang akan dijadikan kawasan Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Salahsatu Koordinator Aksi, Saipul Basri membenarkan, aksi solidaritas yang digelar sebagai bentuk kepedulian, dukungan moril dan perhatian terhadap masyarakat Rempang Galang Kota Batam.

Selanjutnya, aksi ini juga mencerminkan pandangan bahwa penderitaan yang dialami oleh masyarakat Melayu di satu daerah dapat dirasakan oleh masyarakat Melayu di daerah lainnya.

“Aksi kawan- kawan ini merupakan bentuk dukungan terhadap perjuangan masyarakat Rempang Galang dalam mempertahankan Tanah Adat dan Hak Atas Tanah yang saat ini mereka tempati,” ujar Marsel sapa akrabnya.

Marcel pun menambahkan bahwa, selama aksi ada petisi yang ditandatangani sebagai bentuk dukungan kepada mereka di Rempang-Galang. “Kita juga melakukan penandatangan dukungan dari berbagai elemen masyrarakat, bentuk dukungan saudara-saudara kita di Rempang-Galang, karena duka mereka duka kita,” tukasnya.

Di Provinsi Bangka Belitung, Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Bangka Belitung angkat bicara soal konflik antara warga penghuni Tanah Rempang, Batam dengan aparat keamanan. Mereka mengecam tindakan represif yang dilakukan aparat terhadap warga saat bentrok hingga berakhir ricuh.

"(MABMI Babel) mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap masyarakat di daerah Rempang-Galang, Kepri pada 7-8 September lalu," tegas Ketua MABMI Babel Dato Marwan Alja'fari DPMP.

Tak hanya mengecam, pihak MABMI Babel, juga sudah melayangkan pernyataan sikap ke pimpinan pusat. Hal itu sebagai bentuk solidaritas dari MABMI Babel terhadap saudara-saudara Melayu yang ada di Tanah Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Lebih lanjut, Dato Marwan mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan saudara melayu di Pulau Rempang merupakan langkah untuk mempertahankan tanah leluhurnya sendiri. Termasuk demi menjaga kebudayaan yang sudah turun temurun.

"Mereka adalah rakyat kecil dan penduduk asli yang ingin menikmati hidup di tanah leluhurnya sendiri. Di situ budayanya telah lama terbentuk secara turun temurun. Jika mereka harus dipindahkan ketempat lain yang, kulturnya berbeda," jelasnya.

"Bagaimana mungkin mereka akan menikmati kehidupannya? Oleh karena itu hak-hak mereka untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman secara batiniah harus dijaga dan diberikan oleh pemerintah setempat," sambungnya.

MABMI Babel juga mempertanyakan akan rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Rempang tersebut akan membuat kemakmuran atau sebaliknya.

"Kalau alasan di situ akan dibangun PSN apakah akan menjamin kemakmuran dan kenyamanan masyarakat asli disana? Di mana yang komunitasnya sudah lama terbentuk dan kulturnya hanya tinggal dirawat," tambahnya.

Berikut 5 poin pernyataan sikap MABMI Babel.

1. Mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap masyarakat di daerah Rempang dan Galang, Kepulauan Riau, pada 7-8 September 2023 lalu.

2.Menuntut agar Kapolri dan Panglima TNI menarik aparat gabungan dari Pulau Rempong-Galang serta memberikan sanksi tegas kepada aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap warga.

3. Menuntut Pemerintah untuk menghentikan praktik perampasan tanah (land grabbing) dan memastikan perlindungan dan pengakuan terhadap seluruh hak dasar masyarakat adat.

4. Mendesak Otoritas Negara untuk mengevaluasi rencana-rencana Proyek Strategis Nasional. Tidak hanya di pulau Rempang dan Galang, tapi juga di Nagari Air Bangis (Sumatera Barat) dan Wadas (Jawa Tengah) serta berbagai daerah yang kini mengundang konflik dengan masyarakat setempat.

5. Mendukung perjuangan masyarakat tertindas di Rempang-Galang, Air Bangis, Wadas, dan di mana saja di Bumi Pertiwi untuk mempertahankan hak- hak mereka.

Protes juga muncul dari masyarakat Melayu Betawi. Ketua Pengurus Wilayah Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) DKI Jakarta, Biem Trini Benjamin, mengatakan penolakan pengosongan Pulau Rempang ini telah semakin meluas, dengan Masyarakat Melayu dari berbagai daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Jakarta, yang bersatu dalam solidaritas.

PW MABMI DKI Jakarta juga melihat, ketika penolakan semakin meluas dan intensitas aksi semakin meningkat, maka ada potensi risiko ketegangan sosial, yang dapat mengganggu stabilitas negara.

"Dalam konteks inilah, dengan semakin meluasnya dan meningkatnya eskalasi aksi maka dapat menimbulkan potensi rusuh, padahal kita sedang memasuki agenda strategis nasional yaitu pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden RI, legislatif, dan pemilihan serentak sejumlah kepala daerah. Dibutuhkan stabilitas yang kondusif," kata Biem Benjamin Sabtu 16 September 2023.

Menurut pandangan PW MABMI DKI Jakarta, penting juga untuk mengingat bahwa masyarakat Melayu dikenal sebagai pendukung perdamaian dan harmoni antarsuku.

Mereka dinilai telah hidup berdampingan dengan berbagai kelompok etnis, suku bangsa, dan agama di wilayah Melayu, seperti Aceh, Minangkabau, Karo, Suku Anak Laut, Dayak, Lampung, Bengkulu, Batak, Karo, Betawi, Bugis, Banjar, Jawa, Bali, Ambon, Arab, India, dan banyak lainnya.

Terlebih bumi Melayu telah memberi sumber daya penting bagi pembangunan Republik Indonesia, termasuk minyak, gas alam, dan hasil perkebunan. Kesultanan Melayu di berbagai wilayah juga mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Oleh karena itu, negara ini adalah milik bersama kita semua, dengan masyarakat adat Melayu sebagai pendukung utama Republik ini."

Sebelumnya,  aksi solidaritas pun digelar di sejumlah titik di Sumatera Utara, dari mulai solidaritas Melayu di Medan (Sumatera Utara) dan Jambi, hingga doa bersama solidaritas Rempang yang digelar di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta pada Jumat malam.

Di Medan, massa Aliansi Melayu Sumatera Utara (Sumut) juga melakukan aksi di Makam Pahlawan Medan Jalan Sisingamangaraja, Kota Medan. Mereka mendesak pemerintah agar menghentikan proyek strategis nasional Rempang Eco City di Pulau Rempang dan Galang, Kepulauan Riau.

"Kami desak pemerintah segera hentikan proyek strategis nasional Rempang Eco City di Kepulauan Riau," kata koordinator aksi, Datok Irwan Supadli, Jumat siang.

Massa juga meminta agar pemerintah mengembalikan hak masyarakat Melayu terhadap lahan mereka serta menjamin agar budaya Melayu tidak hilang.

"Aksi ini merupakan gabungan berbagai elemen masyarakat Islam maupun non Islam. Kami desak agar pemerintah memastikan perlindungan dan pengakuan terhadap seluruh gak dasar masyarakat adat kampung Tua Melayu di Pulau Rempang dan Galang," tegasnya.

Dengan aksi itu, tambahnya, pihaknya mendukung perjuangan warga Melayu di Pulau Rempang dan Galang. Pihaknya juga meminta agar warga Melayu tidak diintimidasi dan ditindas.

"Kami tak ingin warga Melayu tidak diintimidasi dan tidak ditindas. Berikan hak hak warga Melayu Rempang dan Galang.

Berdasarkan pantauan, massa datang dengan membawa berbagai atribut aksi. Aksi itu pun mendapatkan pengawalan ketat dari aparat kepolisian.

Warga suku Melayu yang ada di Sumatera Utara menyatakan siap berangkat ke pulau Rempang dan Galang untuk membela  Warga suku Melayu yang ada di Sumatera Utara menyatakan siap berangkat ke pulau Rempang dan Galang untuk membela Warga suku Melayu di Sumatera Utara menyatakan siap pasang badan untuk membela dan memperjuangkan tanah leluhurnya di Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Batam, Kepulauan Riau.

Mereka tak rela masyarakat Rempang Melayu terus diintimidasi dan didiskriminalisasi dari tanah yang ditempati. Hal tersebut diungkapkan oleh Miswar Ketua Majelis Tuah Melayu Bilah Panai, Kabupaten Labuhanbatu di Taman Makam Pahlawan, Medan.

Miswar mengungkapkan, pihaknya setia kepada negara. Namun jika terjadi kezaliman pada masyarakat Melayu maka pihaknya harus berdiri tegak.  "Kami setia kepada negara ini. Namun ketika hal-hal yang menjadi intervensi dan kezaliman-kezaliman teramat ke kami bangsa Melayu, maka kami harus tegak berdiri.

Menurutnya, masyarakat Melayu tidak anti dengan investasi seperti yang pemerintah ingin lakukan di Pulau Rempang. Namun menurut mereka, hak-hak masyarakat di sana tak diperhatikan dan dihilangkan begitu saja.

Terlebih masyarakat Pulau Rempang yang sudah menetap direlokasi demi proyek strategis pemerintah. "Namun hakikat investasi untuk mensejahterakan rakyat harus terwujud, bukan untuk kepentingan investor. Tetapi lebih kepada meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang memang menjadi amanat."

Di Bengkulu ,Laskar Melayu Bengkulu Keluarkan Pernyataan Sikap  Upaya pengosongan Pulau Rempang dan Galang, Batam, Kepulauan Riau, menyebabkan terjadinya kerusuhan.

Salah satunya dukungan tersebut disampaikan oleh Laskar Melayu Bengkulu (LMB) dalam bentuk pernyataan sikap, sebagai bentuk solidaritas sesama Bangsa Melayu. Pernyataan sikap itu dibacakan langsung oleh Ketua Laskar Melayu Bengkulu, Junaidi Zul bersama anggotanya.

Junaidi Zul menjelaskan, pernyataan sikap tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap peristiwa yang menimpa masyarakat Rempang-Galang. "Pernyataan sikap ini merupakan bentuk kepedulian kita sebagai bagian dari rekan serumpun, satu negara dan setanah air," kata Junaidi Zul.

Dia juga mengungkapkan, sebagai bagian dari rumpun Melayu, maka sudah menjadi kewajiban untuk memberikan dukungan. "Kita adalah bagian dari yang memiliki kepedulian, maka wajib memberikan dukungan moril dengan menyatakan sikap. Tentunya ini akan menjadi penyemangat bagi mereka bahwa kepedulian datang dari luar daerah lain yang juga menyatakan simpati," ujarnya.

Dari Prpvinsi Riau, Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, juga mengeluarkan maklumat atas konflik di Pulau Rempang dan Galang, Kepulauan Riau. Salah satu isinya yaitu menyesalkan konflik antara aparat dan masyarakat.

Ada 4 poin maklumat yang diterbitkan LAM Riau oleh Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAM Riau. "Maklumat LAM Riau tentang Peristiwa Pada Masyarakat Melayu Pulau Rempang dan Pulau Galang," begitulah isi dari surat tersebut.

Surat diteken Ketua Umum MKA LAM Riau Datuk Seri H.R Marjohan Yusuf dan Dewan Pimpinan Harian LAM Riau Datuk Sri Taufik Ikram Jamil. Maklumat diterbitkan sesuai senasib dan sepenanggungan masyarakat Melayu.

"Maklumat itu kita yang menerbitkan dari LAM Riau berdasarkan hasil rapat MKA dan DPH," terang Sekretaris Umum LAM Riau, Alang Rizal.

Rizal memastikan LAM terus komunikasi dengan masyarakat Melayu setempat. Di sana juga ada masyarakat yang bertahap menyampaikan perkembangan di kedua daerah.

"Nanti kita akan ke sana berkoordinasi sama LAM Kepulauan Riau, khususnya yang berpihak kepada masyarakat. Ya secara administrasi kita beda wilayah, tetapi secara adat dan budaya kita sama," katanya.

Berikut adalah 4 poin maklumat LAM Riau terkait persoalan di Pulau Rempang dan Pulau Galang:

LAM Provinsi Riau sangat menyesalkan terjadinya bentrokan antara tim gabungan keamanan dengan masyarakat Melayu di Pulau Rempang dan Galang, yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan baik fisik dan psikologis.

Meminta pemerintah dan pemerintah daerah untuk tidak menggunakan cara-cara represif, intimidatif dan kriminalisasi terhadap masyarakat Melayu yang mempertahankan hak dalam penyelesaian masalah yang berhubungan dengan masyarakat Melayu Pulau Rempang dan Pulau Galang.

Meminta kepada para pihak untuk menahan diri dalam proses penyelesaian yang dilakukan dengan mengedepankan azas musyawarah mufakat, serta menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan kemanusiaan.

Meminta pemerintah dan pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah bijak dan berkeadilan serta kepastian dalam menyelesaikan masalah dan melindungi hak-hak masyarakat Melayu Pulau Rempang dan Pulau Galang.

Masyarakat Indonesia Desak Pemerintah Hentikan Upaya Penggusuran dan Bebaskan Masyarakat Rempang yang Ditahan.

Tak terkecuali, masyarakat Melayu Kabupaten Meranti juga ikut melakukan protes atas sikap aparat yang bertindak refresif.  Dukungan untuk masyarakat Pulau Rempang juga datang dari masyarakat Kepulauan Meranti. Mereka menanam diri sebagai Aliansi Masyarakat Kepulauan Meranti Peduli Rempang dan Galang. Aliansi tersebut menyatakan sikap sangat menyesalkan terjadinya permasalahan yang dihadapi terhadap rencana relokasi masyarakat Melayu di Pulau Rempang-Galang.

“Tujuan kita hanya satu yakni mengungkapkan kepedulian sebagai bagian dari rekan serumpun, satu negara dan setanah air,” kata Koordinator Lapangan Aliansi Masyarakat Kepulauan Meranti Peduli Rempang dan Galang, Hendrizal di Gedung Lembaga Adat Melayu Riau atau LAMR Kepulauan Meranti,

Dari  Kalimantan, persatuan orang melayu Kabupaten Sintang Kalimantan Barat dan Satria Pembela Melayu, juga mlakukan aksi protes pemerintah yang tetap memaksa  rencana relokasi warga Pulau Rempang Galang.

Satria Pembela Melayu mengimbau aparat dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar bersikap bijak. Jika tidak, Satria Pembela Melayu akan turun menggelar aksi besar-besaran memprotes keras penggusuran warga Rempang-Galang itu.

Persatuan orang Melayu dan Satria Pembela Melayu mendukung warga Rempang Galang untuk mempertahankan dan mendapatkan hak berdaulat di tanah leluhurnya.

Dukungan moral untuk masyarakat Pulau Rempang, juga datang dari Panglima Sakti suku Dayak di Kalimantan Barat, Panglima Pajaji, menyesalkan aksi para aparat yang dianggap menyerang masyarakat.

Dari Pontianak, protes keras juga disampaikan oleh  Satria Pembela Melayu (SPM) Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Mereka mengeluarkan pernyataan sikap soal rencana relokasi masyarakat Melayu di Pulau Rempang Galang, Kota Batam. Pernyataan sikap tersebut tertuang dalam surat yang dikeluarkan oleh Pengurus Pusat SPM di Pontianak pada Jumat lalu.

Panglima Besar SPM, Dato’ Awalusdin Bin Muhammad Tayeb, mengatakan, kalau pernyataan sikap itu dikeluarkan berdasarkan hasil musyawarah pihaknya bersama pengurus terkait persoalan orang Melayu di Pulau Rempang Galang, Batam.

“Pernyataan sikap ini kami buat terkait perkembangan peristiwa di sana. Terakhir seperti yang kita ketahui bersama kalau masyarakat di sana terjadi bentrok dengan aparat akibat mempertahankan tanah kelahirannya,” ucapnya.

Terdapat 6 poin yang menjadi pernyataan sikap SPM tersebut. Pertama, SPM mendukung penuh gerakan aliansi Melayu bersatu di Pulau Rempang guna mempertahankan tanah melayu dengan berprinsip “lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut”.

Kedua, SPM mengecam dan mengutuk keras tindakan represif aparat Kepolisian terhadap masyarakat. Ketiga, mengecam dan mengutuk keras penggunaan gas air mata yang berdampak pada instansi pendidikan serta siswa yang sedang melakukan proses belajar mengajar.

Keempat, SPM mendesak Kapolri menindak keras aparat kepolisian yang melakukan tindakan represif dan atau kekerasan terhadap masyarakat. Kelima, meminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk memastikan perlindungan dan pengakuan terhadap seluruh hak dasar masyarakat adat dan tempatan di 16 kampung tua Melayu di Pulau Rempang dan Galang.

Terakhir, SPM menginstruksikan kepada seluruh pengurusnya untuk membuat pernyataan sikap serupa dan dan menyampaikan kepada DPRD di daerah masing-masing.

Di tempat terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya , mengatakan bahwa meskipun ada kesadaran bahwa investasi diperlukan oleh negara, investasi harus benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama masyarakat di daerah tempat investasi dilakukan.

“Seperti kasus Rempang ini, ada investasi yang ditempatkan di sana dan timbul masalah dengan masyarakat di lingkungan setempat,” kata Yahya dalam konferensi pers mengenai isu-isu mutakhir yang diadakan di kantor PBNU, Jakarta.

Dia menegaskan bahwa masyarakat tidak boleh menjadi korban, atas kehadiran Investor. Sebab, masyarakat Melayu di Rempang adalah rakyat yang harus dilindungi hak-haknya.

Pada bagian lain, PP Muhammadiyah, menuding pemerintahan Presiden Jokowi, gagal melaksanakan mandat konstitusi dengan menggusur masyarakat yang telah berada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka.

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) & Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah dalam keterangan tertulisnya menyebutkan bahwa masyarakat telah menempati pulau itu sejak 1834, jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945.

Karena itu, mereka mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, yang menyatakan bahwa wilayah tersebut belum pernah digarap.

Menurut PP Muhammadiyah, penggusuran paksa itu merupakan tindakan keberpihakan negara terhadap investor yang ingin menguasai Pulau Rempang untuk keuntungan bisnis mereka.

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH)  Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengecam kebijakan pemerintah untuk menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau, demi kepentingan industri swasta.

“Pola pelaksanaan kebijakan yang tanpa konsultasi dan menggunakan kekuatan kepolisian dan TNI secara berlebihan bahkan terlihat brutal, pada 7 September 2023, ini sangat memalukan. Pemerintah terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang, jauh sebelum Indonesia didirikan,” tulis keterangan pers yang dirilis oleh LHKP dan MHH PP Muhammadiyah.

Pada keterangan pers tersebut diungkapkan, bahwa pemukiman dan warga tercatat telah ada sejak tahun 1834. Tempat tinggal dan pemukiman itulah yang saat ini terancam digusur. Hal tersebut bermula sejak 2001, Pemerintah Kota Batam datang ke Jakarta untuk mengajukan pengembangan Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam.

Mereka mengundang pengusaha nasional dan investor dari Malaysia serta Singapura, dengan PT MEG (Grup Artha Graha milik Tommy Winata) dipilih untuk mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut selama 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun. Pada 2007 proyek ini diketahui masyarakat secara luas dan mendapatkan penolakan.

Pada Juli 2023, pemerintah menandatangani nota kesepahaman (MoU dengan Xinyi Group dari Cina untuk investasi sebesar 11,5 miliar dolar AS untuk pembangunan pabrik kaca dan solar panel di Pulau Rempang, sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City.

Meskipun proyek ini memiliki potensi besar untuk menarik investasi hingga Rp 318 triliun hingga 2080, rencana ini menyebabkan warga tergusur, termasuk permukiman warga asli dan 16 kampung tua yang telah ada sejak 1834.

Proyek Rempang Eco-city merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sangat bermasalah. Pasalnya, payung hukumnya baru disahkan pada tanggal 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak. Hampir dalam setiap Pembangunan PSN di Indonesia, pemerintah selalu melakukan mobilisasi aparat secara berlebihan yang berhadapan dengan masyarakat. Lebih jauh, dalam PSN, pengadaan tanahnya terindikasi kerap merampas tanah masyarakat yang tidak pernah diberikan hak atas tanah oleh pemerintah.

Selain itu, LHKP dan MHH PP Muhammadiyah juga menilai pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD yang menyatakan, bahwa tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap, sangat keliru.

Faktanya, masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834. Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut.

LHKP dan MHH menilai penggusuran di Pulau Rempang ini menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia. Dalam UUD 1945 disebutkan, tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sebaliknya, melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar.

Karena itu, LHKP dan MHH Pimpinan Pusat Muhammadiyah berdiri bersama berbagai elemen gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang sudah turut bersolidaritas menyatakan sikap:

Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN sebagaimana termaktub di dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Presiden juga didesak untuk mengevaluasi dan mencabut PSN yang memicu konflik dan memperparah kerusakan lingkungan.

Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik.

Mendesak Pemerintah segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati serta mengedepankan perspektif HAM, mendayagunakan dialog dengan cara-cara damai yang mengutakaman kelestarian lingkungan dan keadilan antar generasi.

Mendesak DPR RI untuk mengevalusi beragam peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi karena akan menjadikan masyarakat sebagai korban dan melanggengkan krisis sosio-ekologis.

Mendesak Kementrian PPN/Bappenas, untuk menyusun rencana Pembangunan Jangka Panjang dan jangka menengah yang penuh dengan partisipasi bermakna, melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak serta memastikan prinsip keadilan antar generasi Mendesak Kapolri dan Panglima TNI, untuk segera memerintahkan penarikan pasukan dari lokasi yang menjadi milik masyarakat Pulau Rempang.

Mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam kekerasan yang terjadi pada tanggal 7 September 2023 di Pulau Rempang serta mencopot Kapolda kepulauan Riau, Kapolres Barelang, dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam yang terbukti melakukan kekerasan pada masyarakat sipil.

Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggungjawab melakukan pemulihan kepada perempuan dan anak-anak terdampak brutalitas aparat kepolisian, dan segala bentuk represi dan intimidasi oleh aparat pemerintah.

Mendesak pemerintah agar segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup, mempertahankan kebudayaan dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati, serta mengedepankan pendekatan Hak Asasi Manusia. (mitha)

 

 

 

Berita Lainnya

Index