Pro Kontra Plt Gubernur dari Polri

Pro Kontra Plt Gubernur dari Polri

Jakarta, (PAB)---

Rencana penunjukan pejabat tinggi Polri sebagai pelaksana tugas (Plt) gubernur di Jawa Barat (Jabar) dan Sumatera Utara (Sumut) menuai pro dan kontra. Tak sedikit yang meminta keputusan tersebut dianulir oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, namun banyak pula yang mendukung.

Salah satu pihak yang kontra dengan keputusan tersebut adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fahri Hamzah. Ia menyarankan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak penunjukkan dua perwira tinggi atau pati Kepolisian RI jadi plt Gubenur Jawa Barat dan juga Sumatera Utara.

“Harusnya menjelang pemilu itu masyarakat diberi ketenangan, bukan malah menumbuhkan kecurigaan,” kata Fahri di Media Center DPR.

Fahri Hamzah menyarankan kepada Tjahjo Kumolo untuk menunjuk pejabat sipil dibandingkan dengan TNI/Polri.

“Menurut saya ya, kalau ada pejabat non-TNI dan Polri, ya mbok pejabat non-TNI dan Polri-lah. Masa sih enggak ada sipil yang jago, ” kata Fahri Hamzah

Fahri Hamzah meyakini sipil bisa lebih tegas dari TNI ataupun juga Polri. “Saya juga bisa kan lebih tegas dari polisi dan tentara kan. Masa di antara itu jutaan birokrat atau puluhan atau ribuanlah yang sekarang pada level itu enggak punya kemampuan untuk mengendalikan dan mengomando daerah gitu lho,” ujarnya.

Sementara Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno menyebut rencana penempatan perwira tinggi Polri atau jenderal polisi aktif menjadi pelaksana tugas (plt) gubernur tidak lazim.

"Kita (harus-red) betul-betul kedepankan netralitas aparat, apalagi Aparat penegak hukum," ujar Eddy usai berbicara dalam acara diskusi di Kebayoran Baru, Jakarta.

Seperti diberitakan sebelumnya, dua pati Polri, yakni Asisten Operasi Kapolri Irjen Pol M Iriawan akan ditunjuk menjadi plt gubernur Jawa Barat dan Kepala Divis Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Pol Martuani Sormin akan menjadi plt gubernur Sumatera Utara pada pemilihan kepala daerah di dua wilayah tersebut.

Apalagi, kata Eddy, salah satu kontestan di Jawa Barat adalah pati Polri. Oleh karena itu, sambung dia, semua pihak benar-benar menjaga netralitas dengan menempatkan aparat penegak hukum pada posisinya.

Jika alasan penempatan jenderal aktif menjadi plt gubernur karena mempertimbangkan faktor keamanan, Eddy menilai tidak tepat.

Menurut Eddy, sejauh ini pelaksanaan pilkada di Tanah Air berjalan damai dan tertib. Dia mencontohkan Pilkada DKI Jakarta yang sebelumnya dikhawatirkan berlangsung kisruh, ternyata berjalan tertib. "Jadi justifikasi enggak ada," ujarnya.

Bahkan, lanjut dia, Kemendagri merasa kehabisan pejabat untuk dijadikan plt gubernur maka bisa mengangkat sekretaris daerah.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon  mempertanyakan usulan mendagri tersebut. "Penunjukan dua jenderal aktif Polri akan mengarah pada kecurangan dalam pilkada dengan mengerahkan mesin birokrasi dan sebagainya. Karena orang yang ditunjuk itu tidak ada kaitannya atau orang yang tidak lazim. Jadi saya kira ini harus ditolak," ucapnya di Gedung DPR.

Menurut Fadli, jika usulan mendagri atas pertimbangan keamanan daerah dalam pilkada, hal itu bukan ranah gubernur namun ranah kepolisian sebagai penegak hukum, sehingga usulan mendagri tersebut harus direvisi.

"Itu kan urusan polisi, bukan urusan penjabat gubernur. Saya kira logikanya harus diselaraskan ya, bahwa untuk pengamanan itu bukan urusan plt gubernur. Plt gubernur untuk menjalankan pemerintahan. Dalam hal ini mendagri harus dikritik dan harus revisi usulan itu," katanya.

Ketua Presidium IPW Neta S Pane juga mengatakan, penunjukan jenderal Polisi sebagai Plt Gubernur akan menuai pro kontra di tengah tahun politik. Neta meminta Polri fokus penjagaan pengamanan pilkada serentak 2018.

"IPW berharap rencana dan usulan Mendagri itu ditolak saja. Polri sebaiknya konsen pada penjagaan keamanan pilkada," kata Neta.

Neta berharap, Plt Gubernur diserahkan kepada pejabat Kementerian Dalam Negeri. Hal itu dilakukan agar Polri tetap provesional dan proporsional dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan masyarakat.

"IPW berharap para birokrat sipil jangan memancing dan menarik-narik Polri ke wilayah politik praktis ataupun ke wilayah pemerintahan sipil. Dalam situasi pilkada seperti sekarang ini posisi Polri sangat tepat jika tetap profesional dan independen serta tetap menjadi polisi sebagai penjaga keamanan," ucap Neta.

Pada bagian lain, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Mustafa Fakhri menyebutkan, wacana Mendagri untuk menunjuk perwira tinggi Polri yang masih aktif sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan wacana yang tidak berdasarkan hukum yang justru telah mencederai semangat reformasi.

Lebih lanjut Mustafa menjelaskan, amanah reformasi tegas menyatakan diantaranya untuk menghapuskan dwifungsi ABRI. Sebagai catatan, sebelum reformasi, Polri masih tergabung dalam ABRI yang setelah reformasi diubah menjadi TNI dan kemudian Polri memisahkan diri.

Kata Mustafa, makna menghapuskan dwifungsi ABRI itu tidak hanya untuk memastikan netralitas TNI sebagai pemegang kuasa konstitusional yang menjaga pertahanan negara, tapi juga netralitas Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara.

"Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut, seyogyanya tidak ditarik mundur oleh penguasa sipil," ujarnya.

Mustafa melanjutkan, sejatinya jabatan Plt atau Pj Gubernur harus dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (10) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada).

Pimpinan tinggi madya ini merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri atau daerah yang bersangkutan.

Namun Tjahjo merujuk pada Permendagri Nomor 1 tahun 2018 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah dalam wacana penunjukan dua jenderal Polri sebagai Plt Gubernur. Permendagri tersebut justru bertentangan dengan materi muatan UU Pilkada.

Di dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri disebutkan yang menjadi penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi.

"Dari dasar inilah kemudian Mendagri mengasumsikan bahwa perwira tinggi Polri merupakan jabatan yang setingkat dengan pimpinan tinggi madya," kata Mustafa.

Atas dasar itu, Mustafa menilai, penunjukan Pati Polri jadi kepala daerah sementara di Jabar dan Sumut merupakan langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama hampir 20 tahun ini. Sebab, Polri sekali lagi harus netral dalam kehidupan politik sebagaimana diatur Pasal 28 ayat (1) dan (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Dalam pasal itu disebutkan, apabila terdapat anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian maka itu dapat dilakukan setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Artinya bila Tjahjo ingin mengusulkan Pati sebagai Plt Gubernur harus mengusulkan polisi yang telah pensiun atau yang sudah mengundurkan diri dari dinas kepolisian.

"Dengan demikian, netralitas Polri tetap terjaga dan tidak menimbulkan 'dwifungsi' Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru," tutur Musfata.

Lebih jauh Mustafa menilai, penunjukan Plt Gubernur di Jabar dan Sumut ini juga secara tidak langsung menjadikan kedua provinsi tersebut nyaris serupa dengan daerah darurat sipil.

Bila mengacu pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya, maka diatur mengenai darurat sipil dengan menetapkan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD). PDSD itu terdiri atas Kepala Daerah yang dibantu oleh seorang komandan militer tertinggi, seorang kepala Polri, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan di daerah tersebut.

Mustafa menambahkan, padahal Jabar dan Sumut saat ini sedang dalam kondisi damai serta terkendali, tanpa potensi gangguan keamanan.

"Karena itu, wacana Mendagri tersebut justru berpotensi menimbulkan suasana yang tidak kondusif untuk berlangsungnya pilkada di daerah yang bersangkutan (Jabar dan Sumut)," ujar Mustafa.

Ketua DPP Partai Nasdem Martin Manurung juga ikut berkomentar dengan wacana Kemendagri tersebut. Menurut dia, kebijakan Tjahjo Kumolo agak janggal jika alasan menaruh dua Pati (Perwira Tinggi) Polri untuk keamanan Pilkada serentak.

"Menurut saya yah, kan kita sudah punya Kapolda. Apakah Kapolda Sumut dianggap tidak mampu mengamankan Pilgub, sehingga perlu dilengkapi jenderal lainnya untuk mengamankan Pilgub. Kan aneh sekali," tukas Martin yang juga menjabat sebagai Koordinator Wilayah Partai NasDem Sumut, Minggu (28/1).

Dia berpendapat, seharusnya Plt Gubernur Sumut dan Jawa Barat ditunjuk dari lingkungan Kemendagri. Berkaca dari Pilgub DKI Jakarta yang juga rawan konflik, saat itu Mendagri menunjuk Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri Sumarsono untuk menjadi Penjabat Gubernur DKI Jakarta.

"Karena alasannya rawan konflik, sementara kita punya Kapolda. Kan fungsi Kapolda mengamankan. Kalau melihat DKI waktu itu rawan konflik. Toh Plt-nya juga sipil," ujar dia.

Martin meyakini betul kalau Kapolda Sumut Irjen Paulus Waterpauw mampu mengamankan Pilkada serentak di Sumatera Utara. Sehingga, tidak perlu ada jenderal yang dijadikan Penjabat Gubernur Sumut yang masih dijabat Tengku Erry Nuradi hingga Juni 2018 nanti.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meyatakan usulan dua jenderal polisi menjadi plt gubernur masih menunggu keputusan Presiden Joko Widodo.

Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya memang mengusulkan agar plt gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara (Sumut) diisi dari perwira tinggi Polri atau TNI yang jabatannya setara pejabat eselon I. Pertimbangannya adalah karena dua daerah itu punya kerawanan dari sisi stabilitas keamanan sehingga diperlukan plt gubernur dari kalangan Polri atau TNI. Hal itu juga sudah dilakukan pihaknya saat Pilkada Serentak 2017.

"Tahun lalu (Pilkada 2017), saya minta polisi juga dikasih, Pak Carlo Tewu (Irjen Pol Carlo Brix Tewu menjadi plt gubernur Sulawesi Barat), enggak ada masalah. Dari TNI, Pak Darmo (dirjen politik dan pemerintahan umum Kementerian Dalam Negeri (polpum Kemendagri), Mayjen TNI Purn Soedarmo saja di Aceh enggak ada masalah," kata Tjahjo Kumolo.

Pada kesempatan lain, Wapres Jusuf Kalla menyebutkan, kebijakan Mendagri merupakan hal yang wajar saja.

"Hal itu wajar saja karena terlalu banyak provinsi yang membutuhkan Plt (Gubernur)," ujarnya dalam kesempatan kunjungan kerja di kantor PT Pelindo, Makassar, Sulawesi Selatan.

Wapres mengatakan bahwa tidak dimungkinkan eselon I dari Kemendagri saja yang dapat dipilih sebagai Plt. Bahkan menurut JK penunjukan dari eselon I melalui departemen lain juga dapat dilakukan dan merupakan hal yang wajar.

Untuk diketahui kebijakan Mendagri yang menunjuk dua perwira Polri sebagai Plt Gubernur di Sumatra Utara dan Jabar tersebut menimbulkan pro dan kontra.

Di Bandung, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Muradi mengatakan, perdebatan tentang boleh atau tidaknya perwira Polri menjadi penjabat gubernur harus dilihat dalam perspektif tata kelola pemerintahan.

Menurut Muradi, aturan memang memungkinkan Kemendagri mengisi posisi pelaksana tugas kepala daerah dari anggota TNI, Polri ataupun Kejaksaan Agung. Hal ini diatur Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 101 dan Peraturan Mendagri Nomor 1 tahun 2018.

Sekadar gambaran, pada Pilkada 2015 ada dua perwira TNI dan Polri menjabat penjabat (Pj) gubernur Aceh dan Sulawesi Barat. Muradi mengatakan, keputusan itu didasari pada potensi konflik.

"Sehingga diharapkan ada koordinasi yang lebih mudah dibandingkan jika dijabat oleh yang bukan dari unsur institusi keamanan," ujar Muradi.

Muradi menambahkan, jika mengacu UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, penekanan larangannya adalah agar anggota di kedua institusi itu tidak terlibat dalam politik praktis.  Namun jika dilihat lebih detail, kata dia, keberadaan untuk mengisi jabatan sebagai penjabat gubernur dimungkinkan karena penekanannya pada pelayanan sebagai kepala daerah.

"Apalagi bukan tanpa masalah, saat Pj gubernur diisi oleh sekda menjadi permasalahan tersendiri karena adanya interaksi yang bersifat tidak netral," ungkapnya.

Karena itu Muradi menegaskan, berkaca pengangkatan unsur TNI dan Polri sebagai penjabat kepala daerah pada Pilkada 2015 lalu, maka keputusan Mendagri Tjahjo Kumolo menunjuk Irjen M Iriawan sebagai penjabat gubernur Jawa Barat dan Irjen Martuani Sormin sebagai penjabat gubenur Sumatera Utara tetap dimungkinkan berdasar pertimbangan strategis.

"Yakni, kedua provinsi tersebut berpotensi konflik, sebagaimana yang ditegaskan oleh Bawaslu, KPU, Kemendagri dan juga internal Polri maupun TNI sendiri. Apalagi dalam peraturan yang ada, kali ini makin kuat pijakannya dibandingkan saat 2015 lalu," ujarnya.(boy/jpnn)

Wasekjen PDIP Ahmad Basarah saat berada di Hall Leonie, Wisma Kinasih, Jalan Raya Tapos, Depok, Minggu (28/1/2018), mengatakan, PDIP telah mempelajari usulan dari Mendagri tersebut. Menurutnya, usulan itu tak melanggar aturan.

"Kami telah mempelajari dasar hukum keputusan Mendagri mengusulkan dua perwira itu kepada Presiden sebagai calon Plt Gubernur dan secara yuridis formal sebenarnya kami menemukan dasar hukum yang kuat, yang menjadi dasar pertimbangan hukum Mendagri mengusulkan dua perwira Polri tersebut," tuturnya.

Baca juga: Keberatan Polisi Diusulkan Jadi Pj Gubernur, PAN Surati Mendagri

Basarah mengatakan aturan tersebut ada di pasal 201 ayat 10 UU Pilkada, pasal 109 UU ASN, dan Permendagri. Semua aturan ini menjadi dasar Mendagri dalam mengusulkan 2 Jenderal Polri menjadi Pj gubernur.

"Itu semua menjadi dasar hukum bagi Mendagri untuk mengusulkan kepada Presiden dua perwira tinggi Polri menjadi Gubernur. Di luar fakta-fakta hukum yang menjadi pertimbangan. Ada juga yurisprudensi hukum dan yurisprudensi politik di mana Pilkada," imbuhnya.

Sekalipun tak melanggar hukum, Basarah mengatakan ada perasaan publik yang menganggap dua Penjabat Gubernur yang diusulkan tidak akan netral. Terlebih lagi, salah satu calon wakil gubernur di Jawa Barat yang diusung oleh PDIP berasal dari anggota Polri.

"Yang menjadi persoalan adalah perasaan publik dimana menilai ada pak Anton Charliyan sebagai mantan Kapolda Jabar yang diusulkan PDIP sebagai calon wakil gubernur bersama Mayjen TNI AD TB Hasanudin. Itulah yang kemudian dikait-kaitkan dengan netralitas Polri. Jangan jangan pak Iriawan yang ditugaskan sebagai Plt Gubernur di Jabar akan bersikap tidak netral," imbuhnya.

Karena itu, Basarah meminta Tjahjo agar mempertimbangkan lebih lanjut soal usulan Pj Gubernur dari perwira aktif tersebut. Perasaan masyarakat, kata Basarah, perlu diperhatikan.

"Saya menilai pak Tjahjo perlu menjadikan pertimbangkan seluruh pendapat, pikiran dan masukan di masyarakat saat ini tentang kekhawatiran seorang Irjen polisi aktif ditugaskan sebagai Plt Gubernur di Jabar, meskipun dari aspek hukum dan masa tugas pak Iriawan itu relatif singkat. Sehingga menurut saya belum menjadi kekhawatiran netralitas TNI itu. Namun demi perasaan publik perlu menjadi petimbangan lebih lanjut," ujarnya.  (Karno Raditya)

 

Berita Lainnya

Index