Hanura Pecah, Dukungan di Pilkada Terbelah (oleh;Karno Raditya)

Hanura Pecah, Dukungan di Pilkada Terbelah (oleh;Karno Raditya)

Partai  Hanura Pecah. Para elit saling tuding. Tak pelak situasi ini membuat pendiri partai, yakni Wiranto, yang notebene kini Menkopolhukam pusing. Kedua kubu yang menglaim pengurus Hanura belum menemukan titik temu, hendak dibawa kemana partai Hanura.

Pelajaran penting yang harus kita diambil adalah, umumnya konflik yang berkepanjangan akan semakin sulit didamaikan.Untuk itu, para elite Partai Hanura juga harus menyadari konflik sangat merugikan internal partai. Misalnya, dukungan Hanura pada calon-calonnya di Pilkada 2018 yang digelar di 171 daerah juga terbelah karena konflik internal.

Jika konflik ini tidak diselesaikan dengan baik, maka Hanura bakal mengalami masalah saat proses verifikasi faktual sebagai syarat menjadi peserta Pemilu 2019. Hal itu akan membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melakukan verifikasi faktual pun akan kerepotan.

Pasalnya, masing-masing kubu jelas akan ngotot dengan kesahihan kepengurusannya masing-masing. Kondisi terburuk, proses keabsahan akan digugat ke pengadilan. Itu tentu memerlukan proses panjang dan energi besar yang terkuras.

Apa pangkal mula partai Hanura Pecah? Menurut pengamatan penulis, pecahnya partai Hanura bermula dari munculnya surat keputusan ganda untuk pasangan calon yang diusung dalam Pemilihan Kepala Daerah Purwakarta 2018. Komisi Pemilihan Umum Daerah Purwakarta menolak pendaftaran bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati usungan Gerindra dan Hanura, Rustandie-Didik.

Masalahnya, pasangan Anne Ratna Mustika-Aming sebelumnya telah mendaftar dengan SK yang ditanda tangani oleh Oesman dan Sudding. Sedangkan Rustandie-Didik juga mendaftar dengan SK yang ditanda tangani Oesman dan Wakil Sekjen Berny Tamara.

Oesman juga dinilai memecat tanpa dasar enam Ketua DPD Hanura. Enam DPD yang ketuanya diberhentikan adalah DPD provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan terakhir Sumatera Selatan. Belakangan, Ketua DPD Sumatera Barat Marlis Alina dipecat. Bahkan ada yang menyebut, tindakan saling jegal itu dipicu oleh kasus pungutan mahar politik pemilihan kepala daerah tahun ini.

Tampaknya, dua persoalan itulah yang memicu gelombang mosi tidak percaya 27 DPD dan 418 DPC terhadap kepemimpinan Oesman dalam rapat yang digelar di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, pada Senin, 15 Januari 2018. Sudding memimpin penyampaian mosi tidak percaya itu. Mereka juga memutuskan untuk memberhentikan Oesman dari kursi ketua umum. Wakil Ketua Umum Partai Hanura Marsekal Madya (Purn) Daryatmo ditunjuk sebagai pelaksana tugas ketua umum.

Di saat bersamaan, Oesman juga menggelar rapat di Hotel Manhattan, Jakarta, dan memecat Sudding. Ia menunjuk anggota DPR RI Herry Lotung Siregar sebagai sekretaris jenderal yang baru. Oesman menganggap Sudding menciderai marwah partai dengan menggelar rapat ilegal.

Memang,  konflik internal Partai Hanura tidak akan berdampak pada Presiden Joko Widodo yang akan maju kembali sebagai calon presiden pada Pemilu 2019. Pasalnya, kedua pihak yang berseteru sama-sama mendukung Jokowi. Konflik yang terjadi juga bukan karena perbedaan pandangan atas sikap resmi partai yang mendukung mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut maju kembali. Namun karena adanya ketidakpuasan masing-masing pihak terhadap pihak lain.

Rasanya kecil sekali pengaruhnya terhadap Jokowi, apalagi kalau kita lihat dukungan kader-kader Hanura terhadap Jokowi juga sangat besar.  Konflik yang terjadi di Hanura merupakan dinamika biasa dalam sebuah organisasi partai politik. Namun, jika konflik tidak diatasi dengan baik bisa berakibat sangat merugikan partai tersebut. Kalau saja konflik di Hanura ditangani dengan baik niscaya partai ini bisa lebih besar dan para elitnya menjadi lebih matang dalam berpolitik dan berdemokrasi.

Meski tidak berpengaruh terhadap Jokowi, namun konflik di partai Hanura ini jika tidak segera diselesaikan, akan berdampak buruk pada  elektabilitas Partai. Konflik yang mendera internal partai, otomatis juga akan merugikan Hanura. Bahkan terancam tidak dapat menjadi peserta Pemilu 2019.

Konflik internal Partai Hanura seyogyanya diselesaikan dengan sikap kedewasaan berpolitik. Karena jika tidak, masyarakat akan semakin apatis terhadap partai politik, meski yang berkonflik hanya internal Partai Hanura.

Sebaiknya,  Wiranto tidak membiarkan kadernya larut dalam pertikaian tersebut. Sosok Wiranto diyakini mampu menyelesaikaa konflik di partai Hanura. Ketika para kader Hanura masih menghendaki Wiranto menjadi sosok pemimpin, tentu alangkah lebih bijak jika Wiranto kembali melepaskan jabatan menterinya demi kelangsungan partai yang sudah dibangunnya dengan susah payah.

Sebab, tampaknya memang sulit untuk menyatukan kubu Oesman Sapta dengan kubu Sarifudin Suding. Disinilah diperlukan kepiawaian Wiranto untuk menyelamatkan Partai Hanura dari badai. Pertanyaannya adalah, pilihan mana yang harus diambil Wiranto untuk menyelesaikan konflik internal itu? Melepaskan jabatan Menterinya, untuk kepentingan partainya yang lebih besar, atau melapaskan partainya untuk jabatan menteri yang tak lebih dari dua periode?

Tapi semua terpulang kepada Wiranto. Sebab ketika melepaskan jabatan Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto punya pertimbangan lain. Seperti yang pernah direkam, Wiranto melepaskan jabatan Ketua Umum Partai hanura karena menurutnya di partai politik  jalur proses pengabdian lebih panjang karena mendidik kader untuk menjadi pemimpin ideal sangatlah lama prosesnya.

Sedangkan di jabatan menkopolhukam, jalur proses pengabdian tak sepanjang di partai politik. Membuat keputusan sebagai menteri, juga langsung bisa dilihat hasilnya pada masyarakat luas, baik dan buruknya.

"Saya coba perbandingkan, kalau saya masih mimpin partai politik, hasilnya panjang. Mendidik, merekrut, menyeleksi untuk jadi pemimpin, panjang. Kalau jadi pemimpin, belum tentu juga nanti beres. Tapi kalau saya langsung masuk kabinet kerja Pak Jokowi, saya langsung bisa bekerja, langsung bisa membantu membuat keputusan yang berpihak pada rakyat, kelihatan jalannya lebih pendek dalam arti pengabdian, bukan obsesi." (itu salah satu kutipan pernyataan Wiranto).

 

 

Berita Lainnya

Index