Pilgub Sumut, Stabilitas Keamanan Jauh Lebih Penting (oleh:Karno Raditya)

Pilgub Sumut, Stabilitas  Keamanan Jauh Lebih Penting (oleh:Karno Raditya)

 

 

Dari banyak pengalaman yang ada, bukan hal yang mudah membuktikan bahwa demokrasi dapat menjadi pemicu konflik, walaupun dapat saja diklaim bahwa eskalasi konflik disebabkan oleh liberalisasi politik yang bekerja dalam proses demokrasi. 

Jadi, eksistensi konflik memang suatu hal yang wajar bagi suatu proses demokrasi. Hanya saja, menjadi berbahaya jika konflik sudah represif dan berwujud kekerasan (violence). 

Dalam wacana demokrasi, konflik tidak dipahami sebagai hal yang negatif, melainkan sebagai satu gejala responsif dalam upaya menciptakan kontrol dan keseimbangan di antara pihak-pihak yang berkepentingan.

Pilkada, sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebenarnya dirancang untuk mentransformasikan sifat konflik yang terjadi di masyarakat. Pilkada berupaya mengarahkan agar konflik tidak meluas menjadi kekerasan. 

Sayangnya, idealitas yang dibangun dalam sebuah proses demokrasi, pada kenyataannya seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Pilkada yang dirancang sebagai demokrasi elektoral, justru menjadi ajang baru timbulnya konflik kekerasan dan benturan-benturan fisik antar pendukung calon kepala daerah menjadi pemandangan jamak yang ditemui. 

Singkatnya, mekanisme demokrasi yang ada seolah justru melegitimasi munculnya kekerasan akibat perbedaan yang sulit ditolerir antara pihak-pihak berkepentingan di arena demokrasi. Dengan kata lain, desain demokrasi di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan pilkada telah gagal sebagai cara mentransformasikan konflik. 

Tahun 2018, Indonesia membuat perhelatan Pilkada serentak yang diikuti oleh 171 daerah. Hasil pantauan penulis, Pilkada tahun ini rawan konflik, untuk itu pemerintah harus jeli memantau titik rawan konflik.

Penulis berpendapat, pada pilkada serentak 2018, seyogyanya bukan membicarakan  soal kalah dan menang, tapi harga yang paling mahal untuk dijaga adalah stabilitas keamanan. Ini tentu jauh lebih penting ketimbang siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam Pilkada serentak 2018

Tidak sedikit dana yang harus dikeluarkan untuk perhelatan Pilkada 2018. Anggaran Pilkada serentak di 171 daerah tersebut berpotensi tembus Rp 20 Triliun. Karenanya, kita berharap Pilkada serentak 2018 bisa berjalan lancar dan aman. 

Kita harus pahami,  politik bukan soal menang atau kalah, tapi jauh yang lebih penting juga soal komitmen pemimpin kepada soal-soal kerakyatan. 

Artinya, Pilkada membuktikan rakyat tidak melihat politik hanya soal transaksi dan untung rugi.  Sebab, menang dalam Pilkada adalah jangka pendek, karena jangka panjang yang lebih penting adalah mensejahterakan rakyat dan tegak dan utuhnya NKRI.

Pada tulisan ini, penulis sedikit menyoroti kondisi jelang Pilkada di Provinsi Sumatera Utara. Selama dua hari  mengamati situasi di Sumatera Utara, nyatanya peta kekuatan politik pada  Pilgub Sumatera Utara  tahun ini tergolong  rada rumit, terutama karena luasnya daerah geografis dan sulitnya menjangkau seluruh wilayah, merangsang para tim sukses untuk melakukan berbagai cara untuk memenangkan pertarungan.

Salah satu yang perlu diwaspadai adalah black campaign (kampanye hitam) untuk menjatuhkan lawan. Dari catatan penulis, setidaknya terdapat tiga isu yang potensial dijadikan sebagai modus black campaign pada Pilgubsu 2018.

Pertama, isu suku, agama, dan ras (SARA). Pasalnya, isu ini menjadi menarik karena struktur sosial masyarakat Sumut yang cukup majemuk. Komposisi masyarakat Sumut terdiri dari suku Melayu, Batak, Mandailing Angkola, Jawa, Padang, Cina, India, dan beberapa suku lainnya. Isu suku  dan ras ini sangat potensial untuk menarik simpati dan emosi para pemilih.

Selain pluralis dalam suku dan ras, hasil pantauan penulis, masyarakat Sumut juga sangat plural dalam agama. Para kandidat akan menemui tokoh agama untuk menjelaskan visi mereka dalam menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama.

Bisa juga, mereka memberikan janji-janji untuk membantu lembaga-lembaga agama yang dipimpin para tokoh itu. Untuk masyarakat yang jauh dari ibukota propinsi, isu agama ini sangat efektif untuk meraup dukungan.

Isu kedua, dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Untuk melemahkan kandidat lain, bisa saja isu-isu korupsi dikembangkan dan dikeluarkan. Bahkan pada titik tertentu, bisa saja ada yang melaporkannya ke aparat penegak hukum.

Isu ketiga,  isu moral dan kepribadian yang dinilai black campaign dalam bidang ini cenderung sangan personal. Karena itu, modusnya pun dilakukan secara tertutup melalui jalur-jalur informal.

Sepanjang pantauan penulis, kerukunan umat beragama di Sumut masih sangat baik dan bisa menjadi percontohan di Indonesia. Warga bisa menjaga dan meningkatkan kerukunan beragama dan mampu menghindari konflik berbau suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).

Kita tentu semua berharap, supaya kerukunan umat beragama di Sumut tidak diciderai hanya karena kepentingan sesaat. Apalagi menggeliatnya suhu politik di Sumut memang terasa sekali sejak pendeklarasian Paslon Pilgub Sumut 2018. 

Hangatnya suhu politik di Sumut, sejak dua tokoh nasional dideklarasikan partai-partai pendukung di Jakarta sebagai calon gubernur untuk memimpin provinsi Sumut dengan jumlah suara 9.902.948. Kedua tokoh tersebut adalah Letjen Edy Rahmayadi dan Djarot Saiful Hidayat.

Edy didukung Partai Gerindra, PKS, PAN, Partai NasDem, dan Golkar, sedangkan Djarot didukung PDI Perjuangan dan PPP. Deklarasi kedua calon itu membuat tensi politik di Sumut mulai naik lantaran daerah ini merupakan lumbung suara terbanyak keempat di Indonesia dalam pilpres 2014 setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Menilik catatan Pemilu 2014, Golkar merupakan pemenang di Sumut dengan raihan lebih dari 948 ribu suara, dan disusul PDIP dengan 920 ribu suara lebih. Kedua partai meraih jatah kursi perwakilan terbanyak di DPRD Sumut.

Saat ini, ada 17 kursi dimiliki Golkar, dan 16 kursi jadi punya PDIP. Partai Demokrat menyusul dua parpol tersebut dengan mendapat 14 kursi. Sisanya, kursi di DPRD Sumut hasil Pemilu 2014 dimiliki Gerindra (13), Hanura (10), PKS (9), PAN (6), NasDem (5), PPP (4), PKB (3), dan PKPI (3).

Jika melihat komposisi fraksi di DPRD Sumut, Edy berada di atas angin karena sudah memiliki dukungan dari parpol-parpol pemilik 55 kursi di legislatif daerah. Sementara, Bakal calon gubernur dan wakil gubernur Sumut Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus didukung PDI-P (16) dan PPP (4)

Ada pula pasangan calon lainnya, yakni Jopinus Ramli (JR) Saragih dan Ance Selian. JR-Ance diusung Demokrat, PKPI, dan PKB, dengan akumulasi 20 kursi DPRD Sumut.

Jika mengamati Pilgub di Sumut, memang ada hal-hal unik yang menjadi perhatian penulis. Masih ingat pada dua gelaran pilkada sebelum tahun 2018 ?. Ada hal unik yang terjadi di Sumut. 

Keunikannya adalah kepala daerah yang diusung PKS pasti memenangkan pilkada. Pada Pilkada 2008, PKS, PPP, PBB, dan 9 partai lain mengusung Syamsul Arifin-Gatot Pujonugroho. Pasangan itu meraih kemenangan dengan meraih 28,31 persen suara, unggul atas cagub yang diusung PDIP, Golkar, PAN, serta partai-partai lain.

Lima tahun setelahnya, PKS kembali memenangkan kandidatnya di Pilkada Sumut 2013. Saat itu, PKS mengusung Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi bersama Hanura, PBR, Patriot, dan PKNU. Pasangan Gatot-Erry ketika itu meraih 33 persen suara disusul Effendi MS Simbolon dan Jumiran Abdi yang diusung PDIP dan PPRN.

Jika menengok ke belakang, keberpihakan juga menjadi milik Edy dan Musa Rajekshah. Sebab, dukungan PKS yang pawai dalam Pilkada di Sumut tak bisa dipandang sebelah mata. 

Kekuatan barisan koalisi pengusung Edy-Musa juga bisa dibilang kuat karena terdiri dari tiga parpol yang setia sejak Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketiga partai yang dimaksud adalah Gerindra, PKS, dan PAN.

Tiga partai itu kerap menyatu dalam menghadapi Pilkada 2018. Selain di Sumut, ketiga parpol itu bersama mengusung cagub di Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Jawa Tengah.

Apakah Gerindra dan PKS tengah bersiap serta menjadikan Pilkada 2018 sebagai pemanasan jelang pemilu 2019 ? Pembaca lah yang dapat menilainya sendiri. Tapi hasil kalkulasi penulis, PKS menargetkan meraih 100 persen kemenangan di tiap daerah yang ikut serta pada pilkada. Kemenangan di pilkada dipercaya membawa dampak baik untuk pemilu tahun depan.

Adalah wajar, jika kalau ada anggapan pilkada sebagai ajang pemanasan parpol demi Pemilu 2019. Sebab, parpol memang menjadikan ajang Pilkada sebagai kesempatan membangun basis politik, tak terkecuali oleh Gerindra dan PKS yang memposisikan diri sebagai oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Penulis hanya berpesan, dalam menyikapi kampanye yang dilakukan oleh para kandidat dan timses, sebaiknya masyarakat Sumut untuk bersikap kritis dan jangan terpesona dengan program yang muluk-muluk.

Para pemilih harus mendasarkan pilihannya pada alasan-alasan rasional. Selain yang memiliki kapasitas kepemimpinan, persoalan moralitas dan kemampuan merajut kosensenfitas sosial perlu dikedepankan. Kesalahan dalam menentukan pilihan bisa berimplikasi terhadap lambatnya pembangunan Sumut  lima atau bahkan sepuluh tahun ke depan.

Lantas bagaimana pertarungannya ? Jika melihat tiga Paslon pada Pilgubsu, rasanya bakal terjadi dua putaran. Dari tiga pasangan kandidat yang maju, setidaknya ada tiga pasangan yang popularitas dan elektabilitasnya hampir sama.

Melalui survey-survey yang dilakukan selama ini, kedua pasangan ini lumayan diperhitungkan. Apalagi, para kandidat yang maju juga berlatar belakang suku dan agama yang cukup beragam.

Lalu sosok gubernur dan wakil gubernur Sumut seperti apa  yang diinginkan warga Sumatera Utara? Tentu rakyat Sumut butuh sosok pemimpin yang mampu membawa masa depan Sumut menjadi lebih baik. Seorang gubernur yang mampu membuat warganya hidup nyaman, memberikan kepastian hukum, dan kepastian berusaha kepada seluruh warganya dari semua golongan.

Menurut hemat penulis, pemimpin yang mumpuni, bijak, arif dan berintegritas yang diinginkan untuk membawa perubahan di Sumut, tentu akan memberikan kesejahteraan kepada warganya.  

Mari kita hayati bersama, Pilgub Sumut mendatang bukanlah persoalan menang dan kalah, tapi karena dipilih rakyat dan direstui Allah SWT. Kita semua tentu juga berharap,  pilgub Sumut bisa menjadi tonggak demokrasi di Indonesia. Karena itu, proses demokrasi yang berintegritas harus dilaksanakan oleh seluruh pasangan calon di Sumatera Utara.

Untuk itulah, pilgub Sumut harus lebih mementingkan stabilitas kemanan, bukan soal kalah menang. Siapapun yang dipilih rakyat, harus bicara tentang masa depan Sumut yang lebih baik. Kita semua berharap, Pilgub Sumut bisa berlangsung aman dan damai serta berintegritas, sehingga menghasilkan kepemimpinan yang baik untuk rakyat Indonesia.

Kemajuan ekonomi di Sumut  haruslah menjadi program penting gubernur Sumut  periode mendatang. Dengan demikian, pembangunan di Sumut dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. 

Para profesional diharapkan  turut berperan aktif dalam proses Pilgub Sumut sampai saat pemungutan suara dilakukan. Siapapun yang terpilih harus menjadikan Sumut yang lebih baik. Gubernur harus peka dan mendengarkan semua kondisi yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, mewujudkan keadilan pelayanan dasar, serta menciptakan kesejahteraan. (***)

Berita Lainnya

Index