Judi Gelper Batam Kebal Hukum

Judi Gelper Batam Kebal Hukum

Cerita soal judi di tanah air, memang terlalu panjang untuk diurai. Kegiatan ini bukan merupakan budaya bangsa, tapi praktik perjudian sudah membudaya, seiring perkembangan jaman. Saking sulitnya memberantas perjudian, pemerintah pernah melegalkan judi. 

Lihat saja era lalu,  sebelum undang-undang pelarangan judi dibuat, pemerintah malah pernah menjadi fasilitator jenis perjudian lain yang disebut “undian berhadiah”. Para penggila judi pun turut senang dibuatnya.

Tahun 1960-an di Indonesia pernah berkembang jenis undian berhadiah legal yang dikeluarkan oleh Yayasan Rehabilitasi Sosial. Yayasan ini dibentuk oleh pemerintah untuk urusan-urusan sosial. Karena keperluan dananya begitu besar, dipilihlah undian berhadiah sebagai salah satu cara untuk menutupinya.

Pengundian hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial dilakukan setiap satu bulan sekali. Nilainya pun cukup fantastis –untuk ukuran tahun 1960-an– mencapai 500.000 rupiah. Sementara nilai terendahnya berkisar antara 10.000-20.000 rupiah.

Tidak hanya undian hadiah milik pemerintah, masyarakat pun dihibur oleh jenis perjudian lain yang tidak berizin. Namanya ”Lotere Buntut”. Cara memainkannya hanya dengan menebak dua angka terakhir undian berhadiah yang dikeluarkan Yayasan Rehabilitasi Sosial.

Lotere Buntut ini bertebaran hingga ke pelosok-pelosok. Sasarannya adalah petani, buruh, dan pedagang-pedagang kecil. Tanpa memerlukan peraturan yang sulit, para pecandu permainan ini dapat langsung memasangkan taruhannya. Besaran hadiah yang didapat pun cukup menggiurkan, berkisar antara 60.000-80.000 rupiah.

Di ibu kota, gubernur Ali Sadikin pernah membuat gempar. Ia melegalkan permainan judi yang dikenal sebagai Nalo (Nasional Lotre) berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 1957 tentang tanggung jawab pemerintah terhadap daerahnya sendiri. Namun di balik pro kontra yang menyeret Ali Sadikin, permainan judi itu terbukti mampu membangun Jakarta menjadi lebih baik. Banyak infrastruktur yang dibangun dan pemerintah juga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kala itu. 

Minat masyarakat terhadap undian hadiah dan perjudian sangat tinggi. Hal itu tentu menguntungkan pemerintah dan para pihak terkait. Namun bagi Presiden Sukarno permainan semacam itu justru dinilai sebagai perusak moral bangsa.

Kegiatan perjudian sempat berhenti di tahun 1965 ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres No.113 Tahun 1965 yang menyatakan lotre buntut bersama musik ngak-ngik-ngok merusak moral bangsa dan masuk dalam kategori subversi.” tulis Denny J.A dalam Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda mengenai Demokrasi di Indonesia.

Dengan dikeluarkannya keputusan presiden itu, ditambah buruknya sistem yang dibuat pihak pengelola, undian hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial pun ditutup. Namun tidak benar-benar dihilangkan. Hanya berganti nama, pada 1978, menjadi Badan Usaha Undian Harapan dengan programnnya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).

Bersamaan dengan penyebaran undian hadiah SDSB, pemerintah mengeluarkan jenis judi legal lain yakni Porkas. Akronim dari Pekan Olah Raga dan Ketangkasan. Undian berhadiah ini berada di ranah olahraga, dan sepak bola menjadi lahan basah untuk praktek perjudian ini.

Sebelum direalisasikan, Presiden Soeharto mengirim Menteri Sosial Mintaredja untuk melakukan studi banding ke Inggris. Tidak main-main, pemerintah mempelajari sistem undian berhadiah ini selama dua tahun. Mereka ingin menciptakan model undian tanpa menimbulkan ekses judi.

Di Inggris sendiri jenis undian berhadiah menggunakan perhitungan-perhitugan yang sistematik. Dalam Managing National Lottery Distribution Fund Balances, yang dikeluarkan oleh lembaga resmi Inggris, menjelaskan perhitungan lotere di negara itu bukan semata-mata tebakan saja, tetapi semacam permainan berhitung yang rumit. Pemerintah Indonesia mencoba melakukan hal yang sama.

Setelah melalui serangkaian penelitian, porkas akhirnya diresmikan pada 1985. Aturannya mengacu pada UU No. 2 Tahun 1954 tentang undian. Kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85 bertanggal 10 Desember 1985.

Pemerintah mengklaim porkas berbeda dengan undian hadiah berbau judi sebelumnya. Dalam porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan menang-seri-kalah. Peredarannya pun hanya sampai tingkat kabupaten, dan batasan usianya 17 tahun.

Para pembeli kupon hadiah ini akan bertaruh untuk 14 klub sepak bola di divisi utama. Setelah 14 klub melakukan pertandingan –berjalan selama seminggu– hadiah akan diundi. Pembagian hadiahnya: 50-30-20, berurutan penyelenggara tebakan-pemerintah-penebak.

Sejak awal diresmikan, porkas mendapat banyak tentangan dari masyarakat. Walau tidak sedikit yang mendukung program judi legal pemerintah tersebut. Para penentang menyebut pemerintah hanya membuat kedok untuk bermain judi. Sedangkan mereka yang mendukung menganggap program itu dapat membantu permasalahan keuangan negara.

Sebagai tindakan reaksi pihak yang menentang undian tersebut, maka pertengahan 1986 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menulis surat yang dilayangkan kepada pemerintah agar pelaksanaan porkas dievaluasi kembali.

Semakin besarnya gelombang protes dari masyarakat membuat pemerintah akhirnya mengganti porkas menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB). Dalam Tempo 28 November 1987.

Menebak-nebak Izin Porkas, pemerintah memberikan hadiah utama sebesar 8 juta rupiah, dengan harga kupon 600 rupiah perlembar. Kali ini bukan menang-seri-kalah yang dipertaruhkan, tetapi skor pertandingan. Sepanjang tahun 1987, undian KSOB telah meraup dana dari masyarakat sebanyak 221 miliar rupiah.

Tidak adanya ketegasan dari MUI untuk mengeluarkan fatwa tentang porkas membuat masyarakat sedikit cemas. Oleh karenanya, sekitar pertengahan Februari 1986 di Bandung berlangsung acara "Forum Silaturahmi Ulama dan Cendekiawan Muslim Jawa Barat". Salah satu agendanya membahas permasalahan porkas. Laporan Panji Masyarakat menyebut forum yang dihadiri oleh para ulama, ahli hukum, dan cendekiawan Muslim tersebut sepakat mengharamkan porkas dan mengategorikannya sebagai judi.

Forum juga berpendapat, Porkas Sepakbola dalam praktek merusak kehidupan beragama. Khususnya bagi remaja dan pelajar yang disebabkan oleh adanya kontroversi nilai antara yang mereka pelajari di sekolah dan di rumah dengan ditemukan di masyarakat.

Pernyataan menentang porkas dalam forum itu dituangkan dalam 5 halaman kertas folio, dan ditandatangani oleh 100 ulama dan cendekiawan Muslim Jawa Barat. Di antara mereka yang memberikan tanda tangan terdapat nama-nama seperti KH. Drs. Miftah Farid (ketua MU Jawa Barat), KH. M. Rusyad Nurdin (ketua Dewan Dakwah Jawa Barat), KH. Iping Z. Abidin, Ir. Bambang Pranggono (mantan Sekjen BKPMI), dan lain sebagainya.

Tidak hanya dari kalangan ulama dan cendekiawan, para mahasiswa pun semakin gencar melakukan aksi pertentangan. Bermula dari aksi protes mahasiswa UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta pada 1991 yang mendesak pihak universitas mengembalikan uang sebesar 100 juta rupiah yang diberikan YDBKS untuk pembangunan sarana pendidikan di kampus mereka.

Gelombang protes memuncak saat beberapa kios yang menjual kupon SDSB di Jakarta dibakar. Mereka geram dengan pemerintah yang lambat mengambil keputusan untuk menarik seluruh kegiatan undian berhadiah tersebut.

Peredaran kupon baru benar-benar dapat dihentikan pada 24 November 1993. Para agen perjudian itu tidak lagi mengedarkan kupon SDSB maupun KSOB. Di hadapan anggota DPR, Meteri Sosial Endang Kusuma Inten Soewono mengumumkan penghapusan undian berhadiah.

Sekian tahun berlalu, kini masyarakat ramai-ramai memprotes keberadaan Gelper. Gelenggang Permainan, alias Gelper yang kini berubah fungsi tersebut, memang legal. Karena izinnya dikeluarkan oleh Pemko Batam.

Karena hasilnya yang mengggiurkan, usaha Gelper pun tumbuh pesat di Provinsi Kepri, khususnya Batam dan Tanjungpinang. Celakanya, usaha Gelper melenceng dari tujuan awalnya. kalau dulu ketangkasan, sekarang menjadi arena judi.

Menurut penelusuran penulis, pemanfaatan izin gelanggang permainan memang sudah disalahgunakan. Meski sering  disoroti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam, namun judi Gelper tak bisa disentuh aparat. Pasalnya banyak pihak yang bermain, dan banyak pihak pula yang meraup untung dari situ.

Tak heran jika para pengusaha judi Gelper disebut-sebut kebal hukum. Andai saja izin gelper yang telah dikeluarkan Pemko Batam,  mendapat pengawasan dari Satpol PP, tentu ceritanya akan lain. Tapi karena semua pihak tutup mata, maka judi Gelper kini terus tumbuh menjamur. 

Padahal sudah jelas aturan mainnya, penegak peraturan daerah adalah Satpol PP. Satpol lah yang harus mengawasi atau menindak pengusaha Gelper jika melanggar aturan main. Yang terjadi, Satpol PP pun tak mampu berbuat, karena itu meski polisi sering melakukan razia judi Gelper, tetap saja muncul. Karena razia yang dilakukan juga belum maksimal. Akibatnya, satu tempat terjaring operasi, muncul lagi 10 tempat yang  baru, begitulah seterusnya, sehingga memunculkan kesan bahwa para pengusaha Gelper kebal hukum.

Sulit untuk memberantas judi Gelper di Batam. Lihat saja fakta yang ada,  kalau dulu Gelper hanya muncul di Mall . Sekarang di sejumlah Ruko disulap menjadi ajang arena perjudian. Judi yang berkedok Gelper ini, namanya pun aneh-aneh semisal: Lucy City game , Spur game, 88 JSG Zone, Nagoya Game Zone.

Karena omsetnya yang sangat menggiurkan, maka bisnis Gelper menjadi tetap aman berkat dukungan pihak oknum aparat. Tidak ingin menyudutkan aparat mana yang terlibat dalam urusan ini, namun sejumlah pengusaha Gelper menyebutkan, semua dapat bagian. Mulai dari oknum aparat, oknum wartawan, sehingga pengusaha Gelper menyebutkan usaha semacam ini baru bisa terkendali jika semua "senang sama senang".

Jika faktanya demikian, maka mandulah Undang-Undang No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, segala praktek perjudian di Indonesia dihapus karena hal itu bertentangan dengan agama, dan moral Pancasila.

Parahnya lagi pasal 303 yang tertuang dalam KUHP hanya akan menjadi hiasan semata, karena praktik di lapangan tidaklah semenakutkan seperti yang tertuang di dalam pasal tersebut. Intinya, "kamu suka, kami suka, kamu senang kami senang, semua bisa diatur dengan uang". Inilah yang menjadi senjata para pengusaha Gelper, sehingga segala tetek benget perangkat hukum tidak menjadi "momok" buat mereka.

Sejatinya, pemerintah Republik Indonesia secara resmi pernah mengeluarkan larangan bermain judi sejak tahun 1970-an. Melalui Undang-Undang No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, segala praktek perjudian di Indonesia dihapus karena hal itu bertentangan dengan agama, dan moral Pancasila.

Penyakit masyarakat yang satu ini memang sulit diberantas, terkait masalah akhlak. Timbul pertanyaan, ada apa gerangan, mengapa judi sulit diberantas? Kalau dibilang tak punya payung hukum, dalam KUHP jelas tertuang dalam pasal 303, ancamannya yaitu 10 tahun penjara. 

Kalau tak silaf, bunyi lengkapnya: diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:

1. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;

2. dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara;

3. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.

Sedangkan pada Pasal 433 berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori VI, setiap orang yang tanpa izin:
a. menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau turut serta dalam perusahaan perjudian;
b. menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau
c. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian.

Karena dampaknyanya, tak saja pada finansial tapi juga moral , akankah pengalaman 24 November 1993 perlu terulang kembali. Sebab, bukankah di negeri ini tidak ada yang kebal hukum. Semoga peristiwa masa lalu tak sekedar menjadi catatan, tapi juga menjadi pembelajaran buat kita semua. (karno raditya)

Berita Lainnya

Index