Pemilukada & Kasus Korupsi di Indonesia

Pemilukada & Kasus Korupsi di Indonesia
foto sekedar ilustrasi

Sudah tak terhitung jumlah kasus korupsi yang terungkap dan sudah banyak pula Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dijalankan olah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hasilnya, banyak koruptor yang kemudian ditangkap karena terlibat berbagai kasus mulai dari suap hingga tindak pidana pencurian uang negara.

Sebagian besar koruptor adalah pemimpin lembaga daerah dan semuanya adalah wakil rakyat. Sangat miris sekali, bukan? Korupsi di Indonesia memang sudah seperti kanker stadium empat.

Seingat penulis, negara merugi hampir Rp 10 triliun akibat praktik korupsi. Luar biasa memang !

Tengoklah, belum kelar satu kasus untuk diselesaikan, sudah muncul saja kasus lain yang tak kalah menghebohkan.
Skalanya bervariasi, mulai dari tingkat daerah hingga pusat yang melibatkan para pejabat negara kelas teri hingga kelas kakap.

Namun, dari rentetan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, ada beberapa kasus yang terus-menerus masuk radar berita lantaran jumlahnya yang luar biasa besar dan menyeret nama-nama petinggi negara.

Untuk yang kelas kakap. agaknya yang pantas kita sebut adalah semisal kasus dengan sebutan megakorupsi. Seperti :

1. Korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi Korlantas Polri. Dalam kasus ini negara dirugikan Rp 121 miliar. 2. Korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang. Disinyalir republik ini merugi hingga Rp 464 miliar. 3. Korupsi pengadaan e-KTP. Dalam proyek ini negara merugi hingga Rp 2,3 triliun. 4. Korupsi SKL BLBI yang angkanya mencapai sekitar Rp 3,7 triliun.

Lantas bagaimana dengan yang kelas teri? Untuk yang kelas ini juga tak kalah hebatnya. Bahkan sudah tumbuh dan menjalar seperti jamur terjadi di hampir semua daerah.

Penyebabnya ? Tak bisa disangkal karena dampak dari mahalnya ongkos politik di Indonesia.

Penulis berpendapat, tingginya tingkat korupsi di Indonesia khususnya di kelas teri ini, wajar saja terjadi selama ongkos politik masih mahal.

Sebab, bukankah kita sepakat bahwa ongkos politik dapat berbanding lurus dengan korupsi yang menimpa para kepala daerah maupun pemangku pemerintahan ?

Coba kita lihat kepala daerah, mereka korupsinya rata-rata setelah pilkada, berutang. Ingin mengembalikan utang, akhirnya menggunakan kebijakan, seperti itulah yang lazim kita lihat.

Hukum yang tidak konsisten, bisa juga menjadi penyebab korupsi di Indonesia. Selama ini bukankah asas penegakan hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Penulis, mungkin juga pembaca, tentu tak menampik jika mahalnya biaya pengeluaran Pilkada yang harus dikembalikan calon kepala daerah, kerap menjeratnya untuk melakukan tindakan korupsi saat menjabat.

Bayangkan saja, untuk menjadi kepala Kabupaten/kota bisa menghabiskan uang Rp 20 sampai Rp 30 miliar. Untuk jadi kepala daerah tingkat Gubernur bisa menghabiskan uang sampai ratusan miliar.

Padahal dari hasil LHKPN calon kepala daerah mereka paling memiliki kekayaan rata-rata Rp 8 M sampai Rp 82 M. Jadi kalau uang dibutuhkan untuk jadi kepala daerah kabupaten/kota Rp 20 M sampai Rp 30 miliar, logikanya dari mana ?

Kalau para calon hanya punya harta kekayaan sekitar Rp 8 M hingga Rp 9 M. Maka tentu banyak cara yang harus ditempuh, Misalnya dengan modus yang umum dilakukan, yakni dengan cara ijon.

Caranya ? Ya meminta uang dimuka kepada yang mau memberi bantuan saat pilkada. Ada juga para petahana sudah mengambil lebih dulu.

Kemudian modus yang lain, yakni dengan cara mahar politik. Ini memang sulit dibuktikan tapi itu ada lho. Sedangkan modus lainnya yang tak kalah menarik adalah, dengan cara dinasti politik.

Lantas bagaimana dengan Pilkada serentak 2020 mendatang? Yang perlu kita pahami dulu adalah, politik memang membutuhkan uang. Sebab uang itu, sebagai konsekuensi atas proses pemilihan pemimpin dalam demokrasi.

Politik tanpa uang hampir pasti mustahil. Namun itu bisa diminimalisir. Salah satunya terkait dengan pembatasan dana kampanye.

Pada Pilkada 2020 mendatang, sekurang kurangnya ada 9 provinsi, 225 Kabupaten dan 27 kota yang akan menggelar Pilkada serentak.

Mari kita hitung-hitung minim saja, jika ada 9 provinsi yang menggelar pilkada dengan asumsi tiap kepala daerah provinsi butuh dana Rp 60 miliar, maka 9 x 60 miliar keseluruhannya mencapai Rp 540.000.000.000.

Sedangkan di tingkat Kabupaten dengan jumlah 224 x Rp 20 miliar saja sudah mencapai Rp.4.480.000.000.000. Lalu untuk tingkat kota dengan jumlah 37 kota x Rp 30 miliar, angkanya mencapai Rp 1.110.000.000.000.

Fantastis memang ! Maka pada Pilkada 2020 mendatang uang yang bakal terbuang mencapai Rp.6.130.000.000.000

Maka jangan heran jika usai pilkada 2020 akan banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Sebab biaya kampanye yang mereka gunakan harus dikembalikan.

Sekedar untuk catatan saja, semoga pada Pilkada 2020 mendatang Sumatera Utara yang menggelar 23 pemilihan kepada daerah kota/kabupaten untuk lebih hati-hati.

Sebab menurut catatan penulis, Sumatera Utara menempati peringkat tertinggi dalam hal korupsi. Disusul kemudian Aceh, Riau, Kepri, Papua, Papua Barat dan Banten.

Jika ada yang bertanya, mengapa politik itu mahal? Jawabnya sederhana saja bukan, karena setiap calon butuh kendaraan politik untuk maju pada Pilkada.

Selaian dana kampanye untuk kendaraan politik, calon bupati/walikota harus menyiapkan anggaran sekitar Rp 6-9 miliar, terutama untuk kebutuhan biaya pelaksanaan pilkada.

Sedangkan calon Bupati yang sama sekali 'baru' haruslah menyediakan setidaknya antara Rp 10-13 miliar, dengan perincian Rp 2-3 miliar untuk mendapatkan kendaraan politik, Rp 6-9 miliar untuk biaya pelaksanaan pilkada dan sekitar Rp 2 miliar untuk beban-beban lain.

Lantas bagaimana dengan pendatang baru ? Setidaknya dibutuhkan anggaran sekitar Rp 10-15 miliar. Itupun jika sudah ada kepastian jadi maju-tidaknya dan kendaraan politik sudah jelas. Karena untuk sosialisasi dalam waktu beberapa bulan tidaklah murah, baik dalam membangun jaringan dan popularitas.

Lantas, yang umumnya dilakukan untuk mendapatkan uang ? Memang ada beberapa model penawaran anggaran dengan syarat dan prosedur yang tidak mudah.

Misalnya, ada seorang sponsor yang menawarkan pinjaman Rp 1 miliar dan pengembaliannya dua kali lipat (Rp 2 miliar). Model lain, misalnya, pinjam Rp 1 miliar, kemudian dipotong dimuka 5 persen.

Cara pengembaliannya, jika kalah harus dibayar penuh Rp 1 miliar dan jika menang harus mengembalikan Rp 1 miliar, dengan tambahan 25 persen atau sekitar Rp 250 juta.

Padalah dibutuhkan anggaran sekitar Rp 6 – 13 miliar. Jadi, hanya calon Bupati yang nekad dan yang tidak punya pikiran jangka panjang yang mau bertransaksi dengan sponsor tersebut.

Bagaimana dengan calon Bupati, sebagai incumbent ? Fenomena ini sebenarnya berlaku pada siapa saja sebagai incumbent.

Tidak salah jika muncul anggapan banyak pihak bahwa yang bersangkutan (incumbent) yang paling siap dalam masalah anggaran.

Maka keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan APBD dan pengelolaan kekuasaan atau kewenangan sebagai Bupati, misalnya, dalam rekrutmen dan mutasi PNS di lingkungan Pemkab.

Karena pemilukada menjadi ajang kompetisi yang sah bagi banyak orang untuk berebut kursi dan kekuasaan, atas nama demokrasi, maka tak heran jika biayanya relatif mahal.

Saking mahalnya biaya politik pada pemilukada, yang mengakibatkan banyak kepala daerah terjerat korupsi, maka penulis pun pada satu kesimpulan bahwa banyak hal negatif yang justru terjadi dalam gelaran pilkada langsung.

Kenapa demikian, lho faktanya, sejak pilkada digelar langsung pada 2005 silam, setidaknya sudah 300 kepala daerah terjerat kasus korupsi.

Jadi tak berlebihan jika penulis pun menyebut pilkada langsung ini punya efek negatif. Pilkada langsung justru malah memperbanyak kepala daerah korupsi untuk membiayai ongkos kampanye yang memang mahal.

Penulis setuju jika setelah 2020 perlu ada revisi tentang cara pemilihan kepala daerah. Tujuannya, agar kita tidak lagi menghamburkan uang negara yang selalu menjadi beban APBN, juga sekaligus mengurangi jumlah kepala daerah yang masuk penjara. (karno raditya)

 

Berita Lainnya

Index