Dam Baloi Batam dan Kepiawaian KPK

Dam Baloi Batam dan Kepiawaian KPK
Kawasan Dam Baloi Batam

Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Batam sudah memiliki Dam tadah hujan sejak tahun 1978. Dam pertama Kota Batam itu dibangun oleh Otorita Batam (kini BP Batam) pada 1977.

Satu tahun kemudian, Dam tersebut dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah Nagoya, Pelita, dan Jodoh, yang merupakan wilayah bisnis dan pemukiman paling padat kala itu.

Seingat penulis, saat pertama kali dioperasikan, Dam tersebut mampu menampung air baku dengan volume 293.000 m3 dan kemampuan abstraksi 30 liter/detik.

Namun seiring waktu, Dam tersebut tidak lagi difungsikan sebagai sumber air baku. Hal tersebut dikarenakan air baku Dam Baloi sudah sangat tidak ekonomis untuk diolah karena sudah sangat tercemar oleh limbah rumah tangga.

Dulunya, di sekeliling Dam Baloi berfungsi sebagai daerah resapan air dan rimbun oleh pepohonan. Tapi seiring waktu dan padatnya pertumbuhan penduduk, kawasan itu beralih fungsi menjadi pemukiman liar. Sekitar Dam tersebut kini penuh oleh rumah liar dan kios liar, yang penduduknya mencapai sekitar 4.000 orang lebih sehingga mengganggu keasarian Dam Baloi.

Karena dianggap tak lagi bermanfaat, Dam Baloi dialih fungsikan berdasarkan SK No. 725/menhut-II/2010 tentang pelepasan kawasan Hutan Lindung Baloi seluas 119,6 hektar. SK tersebut seingat penulis tertanggal 30 Desember 2010. Kawasan itu kemudian ditetapkan sebagai pusat kawasan  bisnis & jasa.

Kalau tak salah, ada sekitar 12 perusahaan besar telah mendapat alokasi lahan di Baloi Kolam tersebut sejak 2004. Para pengusaha ini pun sudah memenuhi kewajiban membayar UWTO, bahkan katanya fee untuk pejabat terkait. Namun, para pengusaha tersebut tak kunjung mendapat surat keputusan (skep) dan surat perjanjian (SPJ) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sehingga kabarnya kawasan tersebut tak bisa dikelola sampai sekarang.

Kalau dihitung, luasan kawasan Dam Baloi yang dulu disebut sebagai kawasan hutang indung itu, mencapai 119,6 hektare. Mungkin karena letaknya yang strategis di segitiga emas kota Batam, menjadikan kawasan tersebut layak dijadikan pusat bisnis kota batam, sehingga banyak pengusaha batam yang tergiur ikut membayar UWTO.

Para pengusaha yang tergabung dalam konsersium tersebut, kabarnya telah membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) senilai Rp 44,082 miliar.

Karena sudah membayar UWTO, maka ke-12 perusahaan besar tersebut merasa merekalah yang punya hak atas kawasan seluas 119,6 Ha itu. Tapi penduduk yang sudah punya KTP sah dan mendiami kawasan itu sejak 1997, juga mengaku punya hak yang sama.

Kisruh pengakuan lahan pun terus berkepanjangan. Aksi demo pun pernah dilakukan warga Dam Baloi. Mereka tak ingin hengkang dari kawasan itu, karena mereka sudah menetap lama di daerah tersebut.

Kisruh lahan di Dam Baloi, tak hanya masalah pengakuan hak saja. UWTO yang kini bernama UWT itu, kabarnya juga tidak semuanya masuk ke kas Badan Pengusahaan Batam. Banyak pihak yang menyebutkan bahwa UWT ngalir ke sejumlah pihak yang tidak semustinya. Nilainya mencapai kisaran 20 miliar.

Patgulipat kasus Dam Baloi ini memang sempat mendapat perhatian khusus, namun seiring waktu, kasus tersebut lenyap begitu saja.

Ada juga dugaan bahwa alih fungsi lahan tersebut memang sarat dengan tindak pidana korupsi. Suap menyuap pun terjadi antara pejabat dan pengusaha. Tapi sampai hari ini KPK belum mampu mengendus lebih dalam apa sebenarnya yang terjadi pada kasus Dam Baloi Batam tersebut.

Aroma kejahatan tindak pidana korupsi itu terendus dengan adanya surat pernyataan dua pengusaha kakap di Batam, yang menandatangi surat pernyataan bersedia memberikan fee kepada pihak terkait, jika semua urusan alih fungsi lahan tersebut bisa dilaksanakan dangan lancar.

Surat pernyataan yang bermaterai Rp.600 tersebut berbunyi, "Dengan ini kami menyatakan kesanggupan untuk menerima dan membangun lokasi tanah dari Otorita Batam yang berlokasi di Dam Baloi Batam. Pembangunan sesuai dengan perencanaan oleh konsultan yang ditunjuk untuk itu. Adapun jasa pengurusan lokasi kami nyatakan sebagai tambahan pernyataan kami pada tanggal 5 Maret 2003, yaitu tambahan jasa sebesar SGD $3.50/M2 dengan luas sekitar 1.200.000 M2 dengan sistem pembayaran sebagai berikut:
1. Pembayaran 50 % tunai setelah IP (izin prinsip) terbit dan sket lokasi
2. Pembayaran 25 % 3 bulan setelah IP
3. Pembayaran 25 % 3 bulan setelah pelunasan.

Jika mengamati surat pernyataan tersebut, tampaknya ada dugaan bahwa terjadi "patgulipat" terkait dengan pengalokasian lahan Dam Baloi kepada 12 perusahaan. Ke-12 perusahaan ini kabarnya sepakat akan membuat Dam Baloi sebagai kawasan bisnis dan jasa dengan konsep Land Mark Kota Batam.

Ibarat mencari jarum di dalam jerami, memang tak semudah membalikkan telapak tangan, untuk mengungkap dugaan adanya tindak pidana korupsi terkait Dam Baloi. Dibutuhkan orang-orang yang mumpuni dan bersih untuk bisa meneropong kasus tersebut menjadi lebih terang.

Apalagi soal siapa yang disuap dan siapa yang menyuap. Untuk membuktikan ada indikasi pemufakatan jahat yang dianggap merugikan negara, tentu butuh alat bukti yang kuat. Tapi kalau merujuk pada surat pernyataan yang dibuat dua pengusaha besar di Batam, terkait dengan pemberian jasa pengurusan, tentu tak sulit untuk menelusurinya.

Untuk menghindari pemanggilan KPK jika memang ada dugaan penyuapan, tentu tak satu perusahaan yang mendapat alokasi lahan di Dam Baloi itu, mau mengakui bersedia memberikan fee ke pejabat.

Kini kita tunggu kepiawaian KPK mengungkap kasus Dam Baloi. Sebab, tak sedikit mafia dan pejabat yang terlibat dalam kasus Dam Baloi Batam. Semoga sesuatu yang benar akan menjadi lebih terang ! (karno raditya)

 

 

Berita Lainnya

Index