Penanganan Terorisme di Indonesia (Oleh: Karno Raditya)

Penanganan Terorisme di Indonesia (Oleh: Karno Raditya)

Penanganan Terorisme di Indonesia
Oleh: Karno Raditya


Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, menyebutkan, sedikitnya terdapat 16 wilayah yang terdeteksi sel-sel tidur ISIS. Oleh karena itu, menurut dia, di Jakarta,  harus segera diambil langkah komprehensif bersama seluruh komponen bangsa untuk mencegah pergerakan ISIS ke Indonesia. Demikian yang dimuat dalam situs PAB-Indonesia.co.id

"Di Indonesia ada sekitar 16 tempat yang terdeteksi sebagai sel-sel tidur ISIS, mereka sudah ada dan membaur bersama kita, tidak bisa dibedakan, jika tidak segera ditutup pelarian ISIS ke Indonesia maka sangat berbahaya," kata Nurmantyo, dalam keterangan tertulisnya.

Usai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi 1 DPR, di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Kamis, dia bilang TNI telah menggelar patroli udara dan laut untuk mencegah dan menutup akses pelarian ISIS dari Marawi Filipina Selatan ke wilayah Indonesia.

"TNI serius dalam menyikapi perkembangan situasi di Marawi dan mengantisipasi kemungkinan masuknya teroris ISIS ke wilayah Indonesia. Awalnya AFP memperkirakan kekuatan teroris ISIS 50 hingga 100 orang, ternyata lebih dari 600 orang, buktinya saja korban dari teroris sudah sekitar 134 orang," kata dia.

Pertanyaannya,  bagaimana upaya menyelesaikan masalah? Seperti yang dilakukan oleh negara-negara besar dalam menangani terorisme ? Menurut hemat penulis, perlu dilakukan tiga langkah strategi untuk menangani masalah teroris di Indonesia. Pertama militer, kedua politik dan ketiga budaya.  Pengertian militer menurut penulis, adalah tindakan atau operasi tertutup untuk menghancurkan teror.

Mari kita lihat strategi militer AS terhadap teroris, mereka sangat jelas. Jadi, mereka yang merencanakan dan membantu operasi teroris, harus mengerti mereka akan diburu dan dihukum. Untuk Indonesia, penanganan teroris selama ini terkesan lebih dibebankan hanya kepada Polisi.

Karena menurut UU, tanggung jawab keamanan berada dibawah Polri. Alasan iniyang tampaknya membuat strategi militer tidak dilakukan di Indonesia.

Kalau kita lihat, penanganan Polri dalam beberapa kasus teror di Indonesia dapat dikatakan sudah demikian bagus, Densus 88 berhasil melumpuhkan sel-sel teroris, membuat mapping yang lebih jelas, berhasil menangkap dan bahkan beberapa tokoh besar teroris tertembak mati.

Keterlibatan TNI dalam menumpas teroris, memang dipandang sudah menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Informasi serta analisa Intelijen Strategis  sangat perlu dipergunakan oleh BNPT dengan membangun komunikasi aktif dengan Badan Intelijen Strategis TNI  dan pasukan anti teror yang dimiliki TNI.

Kebijakan dan Keputusan Politik Negara untuk mengerahkan dan melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme dinilai sudah menjadi keniscayaan. Pembentukan Satgas dibawah BNPT sebaiknya merupakan gabungan antara Densus 88 dengan pasukan anti teror TNI.

Ingat, ancaman tindak terorisme di Indonesia masih merupakan bahaya laten yang sewaktu-waktu dapat muncul dan melakukan ancaman nyata. BNPT mempunyai kewenangan untuk melibatkan pasukan khusus anti teror TNI untuk menanggulangi tindak terorisme. Pelibatan TNI dalam operasi tindakan terhadap terorisme dalam skala kecil sampai dengan sedang merupakan bagian dari Team yang dibentuk dalam Satgas.

Pro kontra soal keterlibatan TNI dalam penanganan teroris, seyogyanya tak perlu menadi berdepatan panjang. Pasalnya, keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia di pasal 7 ayat 1 dan 2. Pasal 7 ayat 1 menjelaskan tentang tugas pokok TNI yang salah satunya adalah melindungi bangsa dari ancaman dan gangguan.

Mari kita simak  bunyi Pasal 7 ayat (1):

Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Dalam bagian penjelasan, dirinci lagi apa saja yang merupakan ancaman dan gangguan di pasal 7 ayat (1). Salah satunya adalah:

Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh teroris internasional atau bekerja sama dengan teroris dalam negeri atau oleh teroris dalam negeri

Kemudian, peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme juga disebutkan di pasal 7 ayat 2, bunyinya adalah sebagai berikut:

Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. operasi militer untuk perang;
b. operasi militer selain perang, yaitu untuk:
1. mengatasi gerakan separatis bersenjata
2. mengatasi pemberontakan bersenjata
3. mengatasi aksi terorisme
4. mengamankan wilayah perbatasan
5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis
6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri
7. mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya
8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta
9. membantu tugas pemerintah di daerah
10. membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang
11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia
12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan
13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue), serta
14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Rasanya kok terlalu naif, jika masih ada pihak-pihak yang mempersoalkan keterlibatan TNI dalam penanganan teroris di Indonesia. Coba kita lihat prestasi yang pernah dibuat TNI dalam mengatasi teroris. Seperti kasus penanganan teroris dalam operasi Tinombala beberapa waktu lalu.

Keberhasilan TNI kita patut diapresiasi positif. Santoso alias Abu Wardah, pimpinan MIT (Mujahidin Indonesia Timur), tewas dalam baku tembak dengan tim Alfa 29 Yonif Raider 515/9/2 Kostrad, 18 Juli 2016 silam. Begitu pun penangkapan Jumiatun Muslimayatun, alias Umi Delima, istri kedua Santoso. Tim Batalyon 303 Rider Kostrad, melakukan penangkapan terhadap Delima tanpa kekerasan.

Dua hal peristiwa tersebut menunjukkan bahwa TNI memiliki kecakapan dalam perlawanan terhadap terosris di hutan. Lalu kemudian operasi yang dilakukan oleh TNI tetap menjaga penegakan HAM. Sukses operasi Tinombala memang, bukan sukses TNI semata. Operasi ini adalah operasi gabungan TNI-Polri. Ada peran TNI Angkatan Udara yang mengamati pergerakan kelompok Santoso melalui drone, ada pula peran Densus 88 serta pasukan Brimob.

Jika masih ada perdebatan pemberian peran TNI pada UU pemberantasan terorisme, rasanya kokhanya buang-buang wajtu dan energi. Sebab, siapa yang berhak dalam penanganan (operasi penangkapan) teroris, bukan butir paling penting dalam UU tersebut.

Hal yang lebih penting, masih banyak. Misalnya hak para korban aksi terorisme, juga deradikalisasi. Korban aksi teroris, selama ini tak punya hak perlindungan yang kuat. Bila pun kemudian pemerintah melakukan bantuan pengobatan atau perawatan, sifatnya hanya kebijakan tanpa kewajiban yang diatur UU. Seharusnya UU Terorisme semestinya memiliki semangat kemanusiaan dalam penanganan terorisme.

Penanganan teroris tidak pernah usai jika hanya menonjolkan ego sektoral dari pihak kepolisian saja tanpa  melibatkan pihak lain seperti TNI secara seimbang dan maksimal. Bukankah sentuhan TNI kepada rakyat sudah terbukti sebagai bagian yang tak terpisahkan. Sehingga dengan sentuhan TNI kepada rakyat akan lebih mudah menangkal teroris sedini mungkin tanpa harus selalu melakukan tindakan kekerasan. (sarikan dari berbagai sumber)



 

Berita Lainnya

Index