Indonesia Archipelago.Kaya Tapi Miskin

Indonesia Archipelago.Kaya Tapi Miskin


Indonesia Archipelago.Kaya Tapi Miskin
(oleh;Karno Raditya)


Pengertian “archipelago state” adalah negara yang terdiri dari banyak pulau di mana laut, udara, dan daratan adalah satu kesatuan Nusantara sebagai wawasan ideology “Negara Persatuan Kepulauan Republik Indonesia” dan juga “NKRI”, yang merupakan kehendak sejarah yang dijamin oleh Hukum Laut Internasional.

Dua per tiga luas Indonesia adalah lautan, dan air yang sebagai sumber kehidupan itu membentengi ribuan pulau dari Sabang hingga Merauke.  Pengakuan International dalam Hukum laut dimana total luas wilayah RI yang terdiri dari 18.108 pulau, tidak termasuk Sipadan dan Ligitan ditambah laut yang dihitung didalam lingkar pulau-pulau terluar yang dihubungkan dengan garis batas 12 mile laut (± 20 km) adalah ± 6,1 juta km2.

Dua pertiga bagiannya ± 4,2 km2. Dan bilamana diperhitungkan dengan “Zona Economy Exclusive” maka tanggung jawab pengelolaan kelautan kita masih ditambah 200 mile laut (± 325 km) diperhitungkan dari posisi pulau-pulau di garis lingkaran terluar wilayah Indonesia.

Dunia pun mencatat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan total luas mencapai 1.904.556 kilometer persegi dan 18.160 pulau di dalamnya.

Namun mirisnya, masyarakat Indonesia hidup dengan keprihatinan. Memiliki sumber daya laut yang melimpah namun tidak ada hasilnya yang dapat dinikmati. Bahkan 65 persen perdagangan dunia melewati wilayah laut Indonesia, negara ini hanya sebagai penonton.

Sepengetahuan penulis, Indonesia ini terdiri dari 17.499 pulau. Sebanyak 65 persen perdagangan dunia lewat wilayah laut Indonesia, tapi kita hanya bisa menonton. Jika potensi laut Indonesia ini dikelola dengan maksimal, maka sedikitnya kita bisa menghasilkan pendapatan hingga Rp 7.200 triliun per tahun.

Ini baru dari sisi pelintasan laut saja, belum lagi kekayaan hasil laut Indonesia yang hilang pertahun. Akibat ketidak-mampuan mengelola hasil laut, juga ketidak-berdayaan menjaga seluruh wilayah laut Indonesia membuat negeri ini kehilangan aset ratusan triliun rupiah.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyampaikan bahwa  praktik penangkapan ikan ilegal atau illegal fishing selama ini sangat merugikan Indonesia. Nilai kerugian yang ditimbulkan akibat pencurian ikan ini mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 260 triliun.

Berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), pada 2014 Indonesia berada di peringkat kedua produsen ikan laut terbesar di dunia. Jumlah tangkapan ikannya saat itu tercatat mencapai 6 juta ton atau setara dengan 6,8 persen total produksi dunia untuk ikan laut.. Data tersebut masih di bawah potensi maksimal Indonesia.

Artinya masih banyak lagi potensi ikan tangkap yang bisa dihasilkan dari laut Indonesia. Pencurian ikan yang terjadi di perairan dalam negeri menjadi faktor utama penghambat potensi tersebut.

Jika kita menilik luas laut Indonesia, maka pengamanan wilayah laut kita membutuhkan perhatian  khusus. Tidak saja dari armada laut tapi juga armada udara. Setidaknya dibutuhkan 150 kapal perang dan satu skuadron (16-18)  pesawat udara untuk mengcover seluruh wilayah laut Indonesia tersebut.

Peran Armada Udara dan Laut  tersebut, setidaknya menjadi pendukung bagi kinerja lembaga yang memang ditugasi untuk melakukan pengamanan laut, yakni Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Seyogyanya, Bakamla memang bertugas untuk melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Diantaranya, menyinergikan dan memonitor pelaksanaaan patroli perairan oleh instansi terkait; memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait; memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan nasional.

Ketika kita sedang kosentrasi ingin mengamankan wilayah hukum laut Indonesia, tapi disisi lain pemerintah sepertinya setengah hati  untuk mewujdukan hal itu.Buktinya, berdepatan pun muncul menyangkut soal anggaran yang dibutuhkan.

Niat Pemerintah berencana memangkas anggaran Bakamla, uga menjadi pertentangan. Tidak  kepalang tanggung, pemangkasan akan dilakukan hingga 45 persen dari anggaran sebelumnya.
Pro kontra pun muncul di gedung dewan di Senayan.

Kita maklumi jika pro kontra menjadi perbincangan, mereka yang kontra menilai bahwa pemangkasan anggaran dapat mengganggu kinerja Bakamla untukmengawasi laut yang demikian luas.
Pemangkasan tersebut dikhawatirkan tidak mampu mengkomodir tugas dan fungsi Bakamla untuk mengamankan perbatasan laut Indonesia.

Lantas bagaimana dengan anggaran di bidang pertahanan? Tampaknya juga  seperti pepatah melayu, "setali tiga uang". Jika ini yang terjadi, maka istilah Indonesia Archipelago, tetap tak bergeser dari makna "Kaya Tapi Miskin".

Jika ini faktanya, maka tak perlu lagi kita mempersoalkan ratusan triliun hasil laut Indonesia hilang begitu saja. Sebab ibarat pepatahtua mengatakan, "nafsu besar tenaga kurang" itulah fakta yang terjadi dilapangan.

Tidak dapat dipungkiri, lihat saja fakta di lapangan,  kemampuan armada RI kita dalam melakukan pengawasan laut Indonesia, yang demikian luasnya itu, hanya dicover dengan 30 armada saja.
Lantas akankah kita selalu mengeluh soal pencurian hasil laut?

Jika kita bicara soal ideal, maka  kerjasama antara TNI-AU dan TNI AL dan Bakamla dalam pengamanan luas wilayah laut Indonesia, dibutuhkan anggaran yang cukup besar. Pertanyaannya, serius atau tidak?

Penulis berandai-andai. Kalaulah pemerintah serius tentang penanganan keamanan laut Indonesia, maka lima tahun ke depan potensi kekayaan laut Indonesia bisa mensejahterakan seluruh rakya Indonesiat, dan Indonesia mampu beridikari tanpa ketergantunagn utang dari luar negeri.

Tentu dengan syarat, kita membutuhkan sekurangnya satu skuadron pesawat amfibi dan 150  kapal perang.dengan Alutsista itu, maka kita dapat  memaksimalkan pengawasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang begitu luas.

Coba saja lihat dengan ALKI I, II, III yang begitu luas, kosekuensinyai harus ada kekuatan udara yang bisa cepat hadir di mana saja, tentunya yang bisa multi fungsi, contohnya pesawat amfibi.

ALKI I melintasi Laut China Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda. ALKI II melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok. Sementara ALKI III melintasi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu.

Dengan niat baik, perhatian yang serius dan dukungan pemerintah, penulis hanya berharap, semoga Indonesia Archipelago, dapat mengubah image Kaya Tapi Miskin, menjadi Luas dan Kaya.  Semoga !(***)





 

Berita Lainnya

Index