Komisi I DPR-RI akhirnya meloloskan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menjadi Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Moeldoko. Tak lama lagi Presiden Joko Widodo pun akan melantik Gatot Nurmantyo.
Ada yang patut kita cermati saat Gatot Nurmantyo menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Tekadnya adalah memperkuat Angkatan Udara dan Angkatan laut. Konsep baru sang panglima baru ini, memang patut kita dukung bersama, mengingat Alutsista dua matra yakni udara dan laut memang rada lemah.
Peristiwa jatuhnya pesawat Hercules C-130 milik TN-AU di kawasan Jalan Jamin Ginting km 8, Padang Bulan Medan, Sumatera Utara, pekan lalu, menjadi bukti betapa Alutsista TNI-AU, terutama alat angkut pasukannya sangat buruk. Apalagi pesawat angkut jenis itu sudah berusia lebih dari 60 tahun.
Penulis berpendapat, Konsep pertahanan yang dianut Republik ini tidak lagi berdasarkan “masuk dulu baru digebuk” tetapi mulai menerapkan kurikulum “berani masuk digebuk”.
Untuk menjalankan kurikulum baru itu tentu harus punya Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang kuat. Kenyataannya kekuatan udara dan laut kita belum sampai pada kekuatan “berani masuk digebuk” tapi baru sebatas kiasan “berani masuk dipelototin”.
Angkatan udara yang memiliki kualifikasi pre emptive strike yang kita dambakan itu, minimal harus punya 4 skuadron Sukhoi dan 6 Skuadron F16 edisi terkini dan atau yang sekelas dengannya. Harus punya pesawat intai strategis, harus punya pesawat pembom strategis, juga punya pesawat angkut pasukan yang memadai.
Angkatan Laut juga demikian, minimal harus punya 4-5 Destroyer, 15-20 Fregat, 30-40 Korvet, 10 kapal selam. Itu kalau mau menjalankan kurikulum pre emptive strike yang sejati.
.
Jadi patutlah kita perlu mengingatkan Panglima TNi yang baru, betapa masih banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Republik Indonesia. Terutama sekali bagaimana mempertahankan wilayah negara lewat pembangunan kekuatan udara.
Kekuatan laut nasional tidak akan ada gunanya tanpa pembangunan kekuatan udara. Kita harus ingat, kelemahan terbesar Indonesia sampai saat ini adalah tidak ada kepemimpinan yang kuat yang dapat menampung kebulatan visi dan ambisi yang diimbangi dengan kemampuan manajemen yang mumpuni.
Siapa yang tak tahu, kalau kita adalah negara besar, yang membutuhkan sistem pertahanan di laut dan udara. Sedangkan kalau kita perhatikan, setiap negara di dunia ini yang mempunyai angkatan perang yang kuat pasti dipimpin strong leader yang punya visi dan ambisi.
Lihatlah wilayah Indonesia yang terdiri dari 1/3 darat, 2/3 laut dan 3/3 udara. Jadi cukup beralasan jika sistem pertahanan harus bisa membentuk "pagar perlindungan" di perbatasan-perbatasan kritis atau critical borders.
Pertahanan itu harus dibangun di perbatasan kritis. Di Indonesia, critical border-nya ada di Selat Malaka dan perairan selatan Timor. Karena itu harus ada kekuatan laut nasional. Tapi, maaf saja, kekuatan laut itu tidak akan ada gunanya tanpa membangun kekuatan udara.
Semoga Panglima TNi yang baru, dengan konsep barunya tidak akan melupakan kekuatan udara sebagai komponen paling penting dalam pertahanan negara. Pertahanan udara yang kuat akan membentengi gagasan Poros Maritim yang tengah gencar coba diwujudkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Ingatlah, cita-cita membangun pertahanan negara yang kuat akan menjadi mimpi belaka jika tanpa kepemimpinan nasional yang kuat.
Kelemahan terbesar kita sampai sekarang adalah tidak punya strong leader yang menampung visi dan ambisi dan itu harus diimbangi high level management skill.
Pendapat penulis, didukung juga oleh Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mahfud Siddiq. Dia mengatakan panglima TNI yang baru perlu memfokuskan diri pada penguatan postur pertahanan laut dan udara.
Selain pertahanan darat sudah cukup kuat, penguatan tersebut sejalan dengan program Nawacita pemerintah untuk menjadikan Indonesia poros maritim di kawasan Asia.
"Yang jelas kalau kita lihat posisi Indonesia di kawasan ini, antisipasi yang harus kita lakukan memang memperkuat postur kuat pertahanan kita di laut dan udara," katanya.
Saat ini isu kawasan seperti tarik menarik kepentingan antara Indonesia dan Cina semakin memanas. Mahfud melihat ada eskalasi gerakan separatis, dan isu kawasan ini bisa berdampak langsung terhadap keamanan. Panglima TNI berikutnya perlu memikirkan percepatan modernisasi alutsista. Namun dengan keadaan alokasi anggaran saat ini pengadaan alutsista tetap akan dilakukan bertahap.
"Karena kalau tidak dilakukan, dikhawatirkan situasi keamanan dan politik di kawasan ini tidak bisa dikalkulasi dengan baik, begitu pecah konflik di kawasan, kita tidak dalam kondisi siap,"tegasnya.
Berkaitan dengan pergantian panglima, secara internal kepala staff sendiri sudah menganut trimarta terpadu. Artinya seorang panglima tak hanya menguasai satu matra saja tetapi juga berpikir matra yang lain. "Artinya, seorang kepala staf di dalam kepalanya bukan hanya berpikir sektoral angkatan yang dia urus. Tapi dia sudah berfikir trimarta terpadu," tambahnya.
Sehingga apabila panglima berikutnya berasal dari Kepala Staff Angkatan Udara (Kasau) juga menguasai konsep pertahanan laut dan darat. Berbicara maritim sejatinya pertahanan laut berintegrasi langsung dengan pertahanan udara. Terlebih dengan semakin berkembang teknologi, drone menjadi alternatif terbaik untuk pengamanan maritim. (Karno Raditya)
Panglima Baru, Konsep Baru
Redaksi
Ahad, 05 Juli 2015 - 19:07:44 WIB