Rakyat Sudah Lelah

Jangan Ciderai Demokrasi

Jangan Ciderai Demokrasi


Rakyat Sudah Lelah, Jangan Ciderai Demokrasi

(Oleh:Karno Raditya)

 

Gagasan penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024, boleh jadi sebagai ekspresi dari kelompok kepentingan dalam kekuasaan, yang ingin memuaskan syahwat politik dan terus menikmati candu kekuasaan.

Sebenarnya, tidak ada alasan yang signifikan mengesahkan gagasan penundaan Pemilu 2024 sebagai keputusan politik. Apabila dipaksakan, ini justru akan menghancurkan demokrasi dan ekonomi nasional.

Gagasan penundaan pemilu itu, agaknya hanya akal-akalan dan itu mencerminkan ada defisit moral dari para pemimpin, khususnya mereka yang tetap ngotot.

Penundaan pemilu hanya akan menciptakan ketidakstabilan politik yang dapat menganggu ekonomi Indonesia.  Ketidakstabilan menimbulkan kontraksi ekonomi. Jadi, menunda dan merekayasa Pemilu bisa mengganggu ekonomi nasional  dikemudian hari.

Ide penundaan Pemilu, bukan hanya kemunduran. Tetapi juga merusak praktik demokrasi. Sebab, ciri dari demokrasi yang sehat adalah, adanya pergantian kekuasaan secara teratur.

Wacana penundaan Pemilu, juga secara moral mengkhianati agenda Reformasi 1998, yang membatasi masa jabatan Presiden hanya untuk dua periode. Tujuannya sudah jelas, agar tidak mengarah pada praktik absolutisme kekuasaan.

Pengalaman buruk pada akhir kekuasaan Presiden Soekarno dan Soeharto, harusnya menjadi pelajaran kita semua. Supaya bangsa Indonesia bisa menata negara ini secara lebih modern sesuai pandangan demokrasi, sebagaimana amanat para pendiri bangsa, yang memilih jalan pemerintahan sebagai negara Republik dan bukan kerajaan.

Berkaca dari pengalaman masa lalu, dan guna membatasi kekuasaan Presiden, maka setelah reformasi dilakukanlah amandemen UUD 1945, yang membatasi masa jabatan Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUD 1945.

Jika ide penundaan pemilu itu berlanjut dibawa ke DPR, maka bakal menimbulkan gejolak politik yang dahsyat. Selain itu, alasan demi perbaikan ekonomi yang diembuskan, sebagai dalih guna mengundur pemilihan umum, atau memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi menjadi 3 periode, juga dinilai tidak masuk akal.

Dari mana asal muasal ide penundaan pemilu itu? Menurut catatan penulis, bermula dari wacana PSI menolak wacana Pemilu ditunda, tapi mendukung Jokowi 3 Periode. Alasannya, karena  di mayoritas temuan riset setelah pemilu, justru ekonomi bangkit karena ada energi baru dan kepercayaan baru pada pemerintahan baru.

Sejumlah petinggi partai politik pun melontarkan wacana penundaan pemilu diantaranya adalah muncul dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Muhaimin beralasan, menurut analisis big data perbincangan di media sosial, dari 100 juta subjek akun, 60 persen di antaranya mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak. Sedangkan Airlangga beralasan menerima aspirasi dari kalangan petani di Kabupaten Siak, Riau, terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Kemudian Zulkifli mengatakan, ada sejumlah alasan yang membuat PAN mendukung penundaan pemilu. Yakni mulai dari situasi pandemi, kondisi ekonomi yang belum stabil, hingga anggaran pemilu yang membengkak.

Sedangkan Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dea Tunggaesti mengatakan, mereka menolak penundaan pemilihan umum 2024. Namun, dia menyatakan PSI mendukung supaya partai-partai di DPR mengupayakan amandemen UUD 1945, supaya masa jabatan presiden berubah maksimal menjadi tiga periode.

Gagasan itu disampaikan, supaya Jokowi bisa meneruskan kepemimpinan melalui persaingan pada Pemilu 2024 mendatang.

Padahal, Jokowi sendiri pernah menyatakan menolak wacana perpanjangan masa jabatan hingga 3 periode. Menurut Presiden, sikap itu tidak akan pernah berubah karena sesuai dengan UUD 1945 yang menyatakan masa jabatan presiden dibatasi sebanyak dua periode.

Penegasan Jokowi tersebut didasarkan pada hukum yang berlaku,  karena penundaan pemilu tidak memiliki dasar hukum, yang diatur Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.  Pasal 22E UUD 1945 secara imperatif menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Selain itu,  penundaan pemilu akan menyebabkan timbulnya pemerintahan yang ilegal. Sebab, dilakukan oleh penyelenggara negara yang tidak memiliki dasar hukum. Adapun penyelenggara negara yang dimaksud  adalah mereka yang seharusnya dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali dalam pemilu.

Jokowi pernah meminta jajarannya dan menyampaikan kepada publik, bahwa jadwal pelaksanaan Pemilu dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak sudah ditetapkan pada 14 Februari 2024.

Setelah rakyat merasa adem ayem karena Jokowi menolak jabatan tiga perode dan meminta pelaksanaan pemilu tetap dilaksanakan tahun 2024, tiba-tiba Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yang menggelisahkan rakyat.

Publik dihebohkan oleh Putusan PN Jakarta Pusat, dengan kabar yang mengatakan penyelenggaraan Pemilu 2024 akan ditunda. Hal tersebut bukan tanpa alasan.

Pasanya, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima, terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berkonsekuensi pada timbulnya penundaan Pemilihan Umum 2024. Sontak putusan tersebut membuat  heboh publik.

Putusan tersebut  benar-benar membuat  rakyat marah. Sensasi yang dibuat PN Jakarta Pusat tersebut, dinilai banyak pihak telah menciderai demokrasi yang sudah dibangun.

Mencuatnya wacana penundaan Pemilu tersebut,  setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu 2024. KPU juga diminta untuk melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Bayak pihak pun menilai, Hakim yang membuat keputusan tersebut tidak profesional dan tak paham hukum.

Putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim pada Kamis, 2 Maret 2023. Adapun Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan gugatan tersebut adalah T. Oyong, dengan hakim anggota H. Bakri dan Dominggus Silaban.

Terkait dengan putusan tersebut, KPU pun akan menempuh upaya hukum banding terhadap putusan ini. KPU RI akan banding atas putusan PN tersebut. KPU tegas menolak putusan PN tersebut dan ajukan banding.

Penulis menilai, putusan PN Jakpus yang berakibat pada pelaksanaan Pemilu di tahun 2025 itu, kok terasa aneh, sehingga kita patut mempertanyakannya.

Ada apa tiba-tiba Pengadilan Negeri memutuskan perkara kepemiluan, yang dalam hal ini sengketa proses merupakan kompetensi Bawaslu dan PTUN, atau sengketa hasil yang menjadi ranah Mahkamah Konstitusi, kok Pengadilan Negeri yang ambil alih? Ini belum pernah terjadi, sehingga sangatlah wajar Putusan PN Jakpus ini amatlah mengejutkan.

Jika persoalannya pada kapasitas berpikir, maka sudah seharusnya Komisi Yudisial memeriksa Majelis Hakim yang memutuskan ini. Kita harus menjaga pandangan rakyat, jangan sampai rakyat berpikir kalau putusan tersebut memang  sudah direncanakan dan disengaja.

Publik pun mulai bertanya, apakah sudah sedemikian parahnya politisisasi hukum, sampai-sampai lembaga yudisial digunakan untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu. Atau, bisa juga ini karena kurangnya pemahaman dan kompetensi hakim dalam membuat putusan.

Ingatlah, putusan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Pusat tersebut, akan membawa implikasi yang sangat serius terhadap kehidupan ketatanegaraan dan kenegaraan secara luas.

Putusan PN Jakarta Pusat ini hanya akan menyisakan dinamika kontraproduktif dalam perjalanan bangsa. Kita semua akan disesaki ketidakpastian, bagaimana wajah demokrasi dan hukum di republik ini?

Meskipun Putusan PN Jakpus ini masih dapat dilakukan upaya hukum, namun terlalu banyak energi bangsa yang akan dihabiskan.

Ini jelas bukan perkara sepele. Ini adalah kecelakaan hukum yang sangat memilukan. Kewibawaan hukum dipertaruhkan dan akan sangat mungkin dikangkangi oleh kepentingan tertentu.

Suasana kacau ini makin membenarkan asumsi publik bahwa masih saja ada kekuatan yang menghendaki Pemilu 2024 ditunda.

Kekuatan ini tak berhenti untuk mencari celah penundaan Pemilu 2024. Setelah MK dilibatkan, kini pengadilan diajak juga ikut serta dalam persekongkolan, pintu masuknya lewat parpol yang tidak lolos verifikasi. Entah  siapa lagi yang akan 'dipaksa' masuk dalam korporasi penundaan Pemilu ini.

Kondisi ini juga mengalienasi lembaga legislatif dalam hal ini DPR yang membuat kehilangan kendali atas kewenangannya. Partai pendukung pemerintah juga dibuat tidak berkutik.

Kejahatan hukum ini, juga telah membuat DPR kehilangan kendali atas kewenangannya. Ini semacam proses alienasi lembaga legislatif, untuk tidak ikut campur dalam urusan ini. Parpol koalisi pemerintah juga dibikin tak berkutik menghadapi sepak terjang para 'penjahat hukum' .

Penundaan Pemilu sesungguhnya adalah domain undang-undang. Dalam hal ini kewenangan itu dimiliki DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang.

Maka putusan PN Jakarta Pusat dinilai janggal dan tidak lazim karena melampaui kewenangannya. Terkesan sangat memaksa. Seharusnya pengadilan bisa menolak gugatan Prima.

Mari kita bayangkan, Partai Prima dirugikan karena tidak lolos verifikasi sebagai peserta pemilu 2024. Tapi tuntutannya malah meminta penundaan tahapan Pemilu, yang berakibat pada penundaan Pemilu hingga Juli 2025.

Logikanya, yang dituntut mestinya soal pembatalan keputusan KPU yang tidak meloloskan Partai Prima sebagai peserta Pemilu. Lebih aneh lagi, pengadilan menerima dan mengabulkan tuntutan ini.

Ini bukan saja mengacaukan sistem pengambilan keputusan soal yang berkaitan dengan seluk beluk pemilu. Tetapi, juga makin membuat keadaan lebih tidak terkendali.

Seakan tidak ada lagi kepastian hukum dan hubungan kewenangan antar institusi di negara ini. Semua lembaga bisa semau-maunya bikin putusan.

Wajar jika publik mendesak Komisi Yudisial untuk memeriksa Majelis Hakim yang menangani perkara ini. Kita juga berharap Pengadilan Tinggi mengatensi betul perkara ini, jangan sampai ketidakcakapan atau (kesengajaan?) merusak wibawa hukum.

Ingatlah, rakyat tidak akan diam saja melihat penyimpangan, apalagi jika konstitusi telah diingkari. Segala bentuk kesalahan harus diluruskan, atau jika itu adalah kesewenang-wenangan maka harus dilawan.

Rakyat menolak Putusan PN Jakpus, yang berimplikasi pada penundaan pemilu di tahun 2025. Sebab rakyat merasa sudah lelah, jangan lagi demokrasi diciderai. Mahkamah Agung, dalam hal ini Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, haruslah betul-betul bijak dan tegas untuk membatalkan Putusan PN Jakpus tersebut. Sadarlah, jangan pernah bermain-main atau mempermainkan demokrasi dan konstitusi.

Perkara keperdataan yang diajukan Partai Prima, tak seharusnya diputuskan dengan penundaan pemilu. Menurut hemat penulis, hakim bisa saja memutuskan agar verifikasi yang menyebabkan Partai Prima gagal lolos tahap seleksi diperbaiki, bukan justru memutuskan agar Pemilu ditunda.

Kalau itu masalah keperdataannya, harusnya perbaiki saja. Tapi kok tiba-tiba loncat ke masalah hukum publik, yaitu soal penyelenggaraan pemilu. Jadi dari hukum privat perdata ke hukum publik, ini tentu membuat publik bertanya-tanya.

Sensasi yang dibuat PN Jakarta Pusat tersebut, kini memunculkan prasangka tidak baik di hati rakyat. Putusan PN Jakpus diduga upaya lanjutan operasi kekuasaan buat tunda Pemilu, Prima  hanya pion.

Adapun Prima melaporkan KPU, karena mereka merasa dirugikan dalam tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024. Dalam tahapan verifikasi administrasi, Prima dinyatakan tidak memenuhi syarat keanggotaan sehingga tidak bisa berproses ke tahapan verifikasi faktual.

Publik pun bertanya bahkan menduga ada ‘Pemain’ dibalik keputusan penundaan Pemilu 2024 oleh PN Jakpus. Jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah melarang para menteri dan pimpinan lembaga, untuk berbicara mengenai wacana penundaan Pemilu 2024 serta perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.  

Publik pun kini mempertanyakan komitmen Presiden Jokowi terhadap hal yang disampaikan tersebut.

Jangan sampai muncul persepsi kalau Jokowi hanya melarang bicara. Bukan menolak wacana atau melarang untuk melanjutkan operasi politik.

Harus diingat dan kita pahami bersama, bahwa wacana penundaan Pemilu 2024 serta perpanjangan masa jabatan, membutuhkan komitmen dan pembuktian dari Presiden Jokowi sendiri.

Jadi, kunci utama soal berlanjut atau tidaknya wacana tersebut, ada di tangan Presiden Jokowi. Atas dasar itu, publik menekankan pentingnya sosok Presiden Jokowi menghentikan keberlanjutan wacana pendundaan Pemilu tersebut.

Perlu juga dicatat, betapa potensi yang dapat ditimbulkan jika Presiden Jokowi masih belum menunjukkan sikap yang tegas terkait usulan tersebut. Dikhawatirkan, sikap abu-abu Jokowi dalam menyikapi usulan tersebut dapat menciptakan penafsiran tersendiri di lingkarannya.

Segogyanya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat bisa berlaku lebih bijak demi menciptakan suasana damai di kalangan rakyat. Jangan membuat sensasi yang berlebihan. Aneh saja jika KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN.

Secara logika hukum, seyogyanya KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut.

Bukankah  alasannya sederhana saja ? Pertama, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di PN.

Sebab, sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi yang memutus harus Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.

Bukankah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN ? Kalaupun terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Bukankah itu aturan mainnya ?

Jadi tidak   ada kompetensinya pengadilan umum. Sebab perbuatan melawan hukum secara perdata tidak bisa  dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu.

Karena, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Jadi tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.

Publik juga tahu, karena menurut UU,  penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.

Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan.

Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu.

Mari kita jangan membuat rakyat marah dengan wacana penundaan Pemilu. Apalagi Pihak istana kepresidenan menyatakan, akan tetap mengikuti jadwal Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum.

Semoga saja pemerintah tak akan mengikuti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang memutuskan penundaan Pemilu. Sebab, bukankah Kantor Staf Kepresidenan atau KSP sudah menyampaikan kalau pemerintah tetap mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai jadwal.

Pemilu rutin merupakan agenda konstitusi yang harus bersama-sama didukung dan dilaksanakan sebaik-baiknya.

Presiden dalam berbagai kesempatan telah menekankan dukungannya untuk pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai jadwal dan dilaksanakan secara konstitusional.

Sampai dengan saat ini, Pemerintah tetap berkomitmen mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai jadwal. Kenapa wacana penundaan Pemilu masih saja didengungkan?

PN Jakarta Pusat harusnya bisa mengajak suasana di negeri ini menjadi kondusif, jangan membuat sensasi yang akan membuat rakyat marah.

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu tidak boleh dimunculkan kembali jika pemerintah tidak ingin rakyat marah. Apalagi, tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai.

Jangan memunculkan lagi isu itu sehingga rakyat menjadi marah. Kalau rakyat sudah marah, ngamuk, risikonya akan besar, akan panjang.

Oleh karena itu, untuk menjaga kemarahan rakyat sejatinya dengan tidak mengungkit-ungkit lagi Jokowi tiga periode itu, kalau tidak ingin berhadap-hadapan dengan rakyat dan mahasiswa.

Sadarilah, rakyat dan akademesi, akan mengawal demokrasi Indonesia, mereka meminta agar pemerintah tidak main-main dengan wacana yang bisa merusak hak berdemokrasi rakyat.

Jangan mengkhianati demokrasi, pengkhianatan terhadap konstitusi dan pengkhianatan kepada rakyat tentu akan ditentang oleh rakyat Indonesia.

Cobalah semua pihak jangan lagi membuat publik gamang atau mengungkit perpajangan jabatan presiden, saatnya kita tetap perkuat demokrasi dan mempertajam reformasi.

Kita tak akan maju, jika hanya terputar-putar di penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Para pimpinan partai politik, diharapkan bisa menahan egonya. Para petinggi partai harus bisa mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan kelompoknya.

Kita harapkan pimpinan parpol harus perkuat konstitusi bangsa jangan di rusak atau di utak-atik. Bedakan mana kepentingan rakyat dan mana kepentingan pribadi dan kelompok. (********)

 

 

Berita Lainnya

Index