Sebentar lagi pergantian Panglima TNI dan Kapolri akan berlangsung. Para pihak terkait tentu pihak sibuk mencari sosok siapa pengganti dan siapa yang diganti. Pro kontra pernah mewarnai dalam sistem pergantian Panglima TNI dan Kapolri. Karena sisitem "urut kacang" mulai ditinggalkan, sekarang yang lebih popular adalah meritokrasi.
Tradisi "urut kacang" masih belum bisa dihilangkan dari kedua lembaga baik TNI maupun Polri. Namun seiring dengan demokrasi yang mulai membaik, maka secara perlahan tradisi itu tampaknya akan mulai dikikis.
Di era demokrasi ini, meski faktanya sistem meritokrasi dinilai lebih baik dalam menentukan siapa yang berhak menjabat sabagai Panglima TNI dan Kapolri, namun sistem urut kacang juga masih mendarah daging dan sulit dilepaskan.
Para kader di kalangan TNI maupun Polri, meski sacara lahir mengatakan setuju dengan meritokrasi, tapi secara bathin tak rela jika ada yunior melangkahi senior.
Tak bisa dipungkiri, betapa sulitnya kita untuk bisa menjadi sosok yang legowo jika ada yunior melangkahi senior, apalagi meloncatnya yunior tersebut sampai tiga bahkan empat angkatan. Dilema juga bagi yunior ketika harus memerintah seniornya. Inilah fakta budaya kita yang sudah mengakar ratusan tahun.
Butuh waktu cukup lama untuk mengubah budaya tersebut. tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, seiring zaman tentu memang harus ada perubahan demi kemajuan bangsa. Bukankah pernah ada pepatah yang menyebutkan, "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali ?"
Saran penulis, sabaiknya perubahan ini jangan sekedar pada jabatan Panglima TNI atau Kapolri saja, tapi juga akan lebih bagus jika berlaku juga pada jabatan menteri, pejabat tinggi di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah.
Sebenarnya meritokrasi bukanlah barang baru, sebab konsep meritokrasi pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Aristotle dan Plato. Meski Indonesia sudah mempraktekan sistem ini, tapi sepertinya masih setangah hati. Khususnya dalam pengangkatan Panglima TNI maupun Kapolri. Namun di jajaran Polri, sistem itu pernah dilakukan ketika yunior melangkahi senior.
Sebenarnya, di lembagaTNI maupun Polri, tanpa kita sadari sistem ini sudah berjalan sejak lama. Tapi pelaksanaan sistem itu masih terbatas pada level tertentu saja. Misalnya di level Kodim dan Polres. Pada level yang lebih tinggi seperti Kodam, Polda sampai ke Panglima dan Kapolri, rasanya sistem ini kok belum secara murni diterapkan.
Tapi pahamilah, jika kita ingin membangun dan membentuk TNI dan Polri yang kuat dan berkualitas, tentunya promosi, mutasi, naik pangkat, idealnya harus selalu berbasis pada profesionalisme kinerja dan prestasi. Syarat ini sebenernya sudah mengacu pada meritokrasi. Jadi, bukan lagi dengan faktor-faktor kedekatan pribadi atau yang lainnya.
Kalau boleh memberi saran, tentu demi kebaikan bersama, meski kita tahu betapa sulitnya menghilangkan tradisi yang sudah demikian mengakar, rasanya akan lebih bijak jika penerapan meritokrasi dalam pemilihan Panglima TNI maupun Kapolri, tetap tidak meninggalkan sistem "urut kacang".
Dalam kurun lima 5 tahun kedepan, sistem "urut kacang" memang sudah harus ditinggalkan secara menyeluruh, khususnya dalam memilih Panglima TNI maupun Kapolri. Sehingga nantinya pilihan berbasis meritrokasi benar-benar murni diberlakukan, bukan lagi setengah hati.
Kita memang terbilang terlambat dibanding negara-negara maju dalm hal meritokrasi. Malah di dunia Barat, meritokrasi menjadi salah satu kunci keunggulan mereka dibandingkan peradaban lainnya di dunia.
Kita boleh mengadopsi keberhasilan meritokrasi di Amerika Serikat misalnya. Di negara itu sistem ini sudah diberlakukan sejak 1883. Mereka telah mereformasi undang-undang birokrasinya dengan menggunakan sistem kepantasan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa birokrat Amerika haruslah orang yang memiliki kapabilitas dan kepandaian sesuai dengan posisi yang didudukinya.
Lihat juga di Australia, sistem ini malah didefinisikan secara lebih luas. Jika di Amerika latar belakang pendidikan memegang peranan untuk menduduki posisi tertentu, maka di Australia hal semacam itu tak terlalu dipertimbangkan. Sehingga di negeri kangguru tersebut, seseorang yang memiliki latar belakang sarjana hukum bisa menduduki jabatan menteri keuangan, selama dia mampu.
Coba lihat juga di Cina. Jauh sebelum masyarakat Barat menerapkan meritokrasi, Dinasti Qin dan Dinasti Han telah terlebih dahulu mengaplikasikannya. Meritokrasi di China ketika itu, sudah diberlakukan untuk menjaga stabilitas negara yang terdiri dari bermacam-macam etnis.
Pada masa kejayaan Dinasti Utsmani misalnya, sistem ini juga berjalan sebagaimana yang kita lihat di dunia Barat sekarang ini. Wazir, ulama, kadi, dan tentara, dipilih berdasarkan yang terbaik. Tak heran jika di masa itu kita melihat anak-anak Kristen dari Balkan, menjadi serdadu atau komandan militer Utsmani dalam penaklukan Eropa.
Di Jepang, meritokrasi setidaknya juga telah berlangsung sejak Restorasi Meiji. Meritokrasi di negeri matahari terbit itu, bermula dari sistem pendidikannya yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk duduk di bangku sekolah.
Murid-murid yang pandai, kemudian akan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberikannya akses pendidikan, bangsa Jepang memiliki modal yang sama untuk bertarung dan memenangkan kompetisi. Selanjutnya ketika mereka menjadi politisi dan birokrat, hanya orang-orang berkompeten-lah yang bisa menempati posisi-posisi kunci.
Kesimpulannya, adalah, marilah kita untuk berkutat dengan sistem lama, apalagi masih memperdebatkan soal sistem "urut kacang" pada pemilihan Panglima TNI maupun Kapolri. Kuncinya, jika saja bangsa Indonesia mau melaksanakan meritokrasi sepenuh hati, maka impian untuk menjadi bangsa besar akan mudah terwujud.
Mewujudkan meritokrasi berarti melaksanakan upaya sistemik untuk mewujudkan negara dan pemerintahan yang bebas korupsi. Sebab, prinsipmeritokrasi didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja diharapkan mampu mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme, khususnya yang berkaitan dengan praktik jual beli jabatan. Semoga !****