JAKARTA,(PAB)----
Seketika jantung berdetak begitu cepat selagi cucuran keringat menghiasi setiap sisi pelipis. Sepanjang mata memandang, yang ada hanya gelap gulita.
Padamnya listrik ditengah hujan badai hebat akibat Topan Mangkhut yang datang pada akhir pekan kemarin meninggalkan saya bersama sembilan bocah perantau lainnya dalam kegelapan asrama.
Sebulan yang lalu tujuan saya menyambangi Filipina sesungguhnya hanya untuk menuntut ilmu.
Tak mengira dalam paketan nasib kehidupan ternyata saya juga harus terjebak di tengah Topan Mangkhut yang galak ini.
Sekejap setelah listrik padam, suara teriakan samar-samar terdengar dari arah asrama perempuan. Sontak saya dan teman-teman ikut heboh.
Berbagai adegan penyelamatan dalam film bertema bencana alam mendadak muncul di dalam benak.
Tak peduli seberapa keras upaya melupakannya, adegan-adegan hidup dan mati dalam film-film itu terus menghantui.
Tapi jujur saya tak punya nyali sebesar karakter John McClane yang diperankan Bruce Willis dalam film 'Die Hard'.
Sampai akhirnya suara Kuya Lao memecahkan suasana genting di dalam kamar asrama.
Kuya Lao adalah mahasiswa Filipina yang bertugas membimbing kami selama program pertukaran pelajar.
Selama di Filipina, pihak kampus tak memperbolehkan kami berlalu-lalang keluar universitas tanpa ditemani dirinya.
"Ada apa ini ribut-ribut?" begitu ujarnya.
Kedatangan sang pembimbing tak langsung meredakan kecemasan kami yang mendengar suara angin bertiup sangat kencang di luar bangunan.
Walaupun pemerintah Filipina sudah memperingatkan akan datangnya Topan Mangkhut, tapi percayalah bahwa alam yang sedang berontak tak ada lawannya.
Sejujurnya mengapa saya bisa sepanik ini karena ini merupakan kali pertama saya membuktikan bahwa Filipina merupakan negara badai.
Tak seperti Filipina yang rawan badai dan banjir setiap tahunnya, kota asal saya, Bandung, hanya diselimuti cuaca dingin yang sesekali bikin menggigil.
Pertama kali menapakkan kaki di Kota Tarlac sebulan lalu, hujan badai yang disusul banjir sudah menyambut saya dan ketiga rekan mahasiswa Indonesia lainnya.
Derasnya hujan yang juga ditemani dengan angin kencang kala itu saja sudah berhasil membuat saya bergidik.
Padahal menurut warga lokal, badai tersebut belum bisa dianggap "badai" di Filipina.
Tak heran jika kini saya dan mahasiswa Indonesia lainnya seolah menghadapi akhir dunia ketika menyaksikkan ganasnya badai yang sesungguhnya.
Untungnya Kuya Lao langsung datang mencairkan suasana. Ia senantiasa menenangkan dan mengingatkan bahwa selama kami tetap berada di bawah atap asrama, tak perlu ada yang dicemaskan.
Jadilah kami memanfaatkan waktu senggang tanpa arus listrik dan koneksi internet selama sehari penuh dengan bercengkrama.
Dan benar saja seperti kata pembimbing kami, dampak Topan Mangkhut di Kota Tarlac tak seperti badai di film-film. Yang terasa hanya hujan hebat dan angin kencang saja.
Seharian itu saya dan teman-teman terpaksa kusam karena tak bisa mandi. Aliran air di kamar mandi keruh yang sepertinya berkat banjir.
Setelah seharian penuh mencoba menghibur kecemasan masing-masing dengan canda tawa, arus listrik akhirnya kembali bekerja.
Saya segera meraih telepon genggam untuk mengabarkan sanak keluarga di tanah air.
Dan benar saja, puluhan pesan berisi kekhawatiran ibu sudah membanjiri segala akun media sosial.
Di Tarlac, signal telepon genggam memang luar biasa sulit untuk didapatkan. Apalagi di tengah-tengah bencana seperti ini.
Selagi membalas pesan ibu, saya menghela napas. Akhirnya hari itu berhasil dilewati tanpa luka maupun kekacauan berarti.
Meskipun rasanya ingin cepat-cepat kembali ke Tanah Air tercinta, setidaknya saya masih berdiri utuh sampai hari ini.
(cnn)