Carut-Marutnya Persoalan Telur
Oleh:Karno Raditya
Belum hilang keprihatinan kita soal kenaikan harga minyak goreng beberapa waktu lalu, kini muncul pula hiruk pikuknya soal kenaikan harga telur ayam.
Kita semua menjadi sangat prihatin atas carut-marutnya persoalan telur di tanah air. Padahal, mestinya persoalan perunggasan nasional dapat dikelola dengan baik karena kebutuhan produksi telur sebagai salah satu sumber protein terus meningkat.
Telur merupakan salah satu jenis kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Telur termasuk bahan makanan, yang memiliki sumber protein tinggi, paling serbaguna, mudah diolah, dan bercita rasa lezat sehingga menjadi sumber protein favorit.
Dalam carut-marut persoalan telur, malah ada tiga menteri saling menyalahkan terkait dari penyebab melambungnya harga telur ayam tersebut. Bahkan ada pula menteri yang minta jangan meributkan soal kenaikan harga telur.
Saking hebatnya carut-marut persoalan telur, sampai juga ke meja kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Wajar jika rakyat pun bertanya, apalah jadinya para pemimpin di negeri ini, kalau hal kecil saja tak bisa diselesaikan dengan baik.
Jika kita ingin bijak, tentu tak perlu saling lempar tanggung jawab. Tapi bagaimana kita bertanggung jawab untuk “menyelesaikan masalah tanpa masalah”.
Meski kedengarannya ini merupakan motto Pegadaian. Tapi baik juga jika motto tersebut kita gunakan untuk mengatasi persoalan yang terjadi di negeri ini.
Banyak penyebab, yang mengakibatkan sejumlah kebutuhan bahan pokok di negeri ini tiba-tiba melonjak. Penyebab itulah yang harus kita ketahui, kemudian mencari solusinya, bukan berdebat apalagi saling menyalahkan.
Terkait dengan persoalan melonjaknya harga telur, yang terkait dengan harga pakan ternak, tampaknya pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk menurunkan biaya pakan dengan potensi lokal yang kita miliki.
Harus ada terobosan agar kita tidak selalu tergantung dengan bahan baku impor. Pakan memang menjadi faktor strategis dalam usaha peternakan dan sangat berpengaruh terhadap produksi dan produktifitas ternak.
Kenaikan harga telur paling fantasis dalam sejarah di negeri ini, muaranya karena meningkatnya harga pakan ternak. Ini tak bisa dielak, mengingat bahan baku pakan tersebut memang kita impor. Ketergantungan impor inilah yang harus kita bereskan.
Kalau harga telur tidak segera turun, tentu akan terus jadi pergunjingan emak-emak, yang menurut mereka lauk paling murah adalah telur. Kalau telur saja sudah tak terbeli, maka terancamlah gizi anak.
Dari 34 provinsi di negeri ini, hanya Papua yang rekornya paling tinggi soal harga telur, yakni Rp41.200/Kg, sedangkan yang terendah ada di provinsi Sumsel yakni Rp 27.125/Kg.
Berikut harga telur dalam sepekan ini di 24 provinsi di Indonesia per Kg. 1.Jambi (Rp.29.250), 2.Sumsel (Rp.27.125), 3.Aceh (Rp29.033),4. Riau (Rp.28,808), 5.Bengkulu (Rp28.800), 6.Sumut (Rp.28.539), 7.Sumbar (Rp.29,133), 8.Kepri (Rp.28,850), 9.Jatim (Rp.28,93), 10.Lampung (Rp.29.500), 11.Kalbar (Rp.29853), 12.Sulut (Rp.30.500), 13.Bali (Rp.32.000), 14. Sulsel (Rp.30.819), 15.Kalsel (Rp.31.111), 16.Kaltim (Rp.32.450), 17. Jateng (Rp.30.422), 18.Sulbar (Rp.31.000), 19. Banten (Rp.31.000), 20. Jakarta (Rp.31.273), 21.Jabar (Rp.30.550), 22. Gorontalo (Rp.33.600), 23. NTT (Rp.34.667), 24.Babel (Rp.32.100), 25.Kalteng (Rp.32.900), 26. Malut (Rp.35.125), 27. Papua Barat (Rp.33.000), 28. Sulteng (Rp.33.750), 29. Maluku (Rp.34.725), 30. Sulawesi Tengah (Rp.37.100), 31. NTB (Rp.32.400). 32 Kalut (Rp.37.250), 33. Papua (Rp.41.200), 34.Jogjakarta (Rp.29.563).
Kenaikan harga terlur tersebut memang sangat signifikan. Sebab, sebelumnya paling mahal harga telur hanya Rp23.000/Kg. Wajar kalau "emak-emak" seluruh Indonesia menggerutu atas kenaikan harga tersebut.
Pemicu kenaikan harga telur haruslah menjadi perhatian pemerintah, khususnya pejabat terkait yang berurusan dengan masalah ketahanan pangan.
Sedih rasanya kita sebagai negara kaya keaneraka ragaman hayati, tapi masalah pakan ternak saja tergantung pada negara asing.
Untuk melepaskan ketergantungan tersebut, maka sudah saatnya kita punya bahan pakan alternatif. Sehingga kita tidak terus-menerus tergantung pada impor.
Selama ini, bahan baku pakan ternak yang kita impor, antara lain bungkil, gandum, ampas kedelai, tepung jagung dan tepung ikan. Nilainya uangnya pun tak sedikit, berkisar Rp 41 triliun.
Andai saja uang sebesar itu dimanfaatkan untuk mendukung revitalisasi sektor pertanian, boleh jadi kedepan kita tak tergantung lagi pada negara asing.
Kondisi inilah yang harus kita benahi. Jika tidak, selamanya kita akan didikte negara asing. Akibatnya, membuat kita menjadi rentan.
Artinya, jika terjadi permasalahan produksi negera tersebut, maka hukum ekonomi berlaku, yakni kelangkaan terjadi, barang susah, harga naik.
Fakta yang terjadi, sekarang ini 60 % bahan pakan kita impor. Utamanya Soybean Meal (SBM). Sebab kita memang tidak memproduksi SBM. Indonesia mengimpor sedikitnya 5,25 juta ton SBM per tahun.
Selain SBM, Indonesia juga mengimpor Meat Bone Meal (MBM). Ini juga bagian dari bahan baku pakan ternak. Nilainya mencapai Rp 9,2 triliun. Untuk membuat pakan ternak Indonesia juga impor tepung ikan, tepung daging yang nilainya juga tidak sedikit.
Tak ada pilihan lain, kecuali kita harus segera berbenah diri. Sampai kapan kita harus melakukan impor akibat belum mampu mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga pakan ternak di pasaran.
Revitalisasi
Kelangkaan dan kenaikan harga pakan ternak, yang mengakibatkan harga bahan pangan naik, diantara telur, bisa jadi karena revitalisasi pertanian, yang pernah dicanangkan beberapa tahun lalu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Kesannya, program pembangunan sektor pertanian asal jalan. Lihat saja soal pemberian benih dan pupuk. Semoga pemerintahan Jokowi yang tersisa dua tahun ini, bisa mewujudkan revitalisasi sektor pertanian, seperti yang pernah didengungkan beberaoa tahun silam.
Jokowi pun pernah kesal, ketika nilai impor jagung dan kedelai kita relatif masih tinggi. Padahal jagung dan kedelai bisa ditanam di Indonesia.
Jokowi pun pernah meminta seluruh jajarannya mulai di tingkat paling rendah sampai menteri, supaya memperhatikan tentang kebijakan industri pangan dan ketersediaan pangan, dengan melibatkan petani, para akademisi, para pengusaha utamanya sektor perbankan. Tapi yang terjadi di lapangan, ibarat pepatah “jauh api dari panggang”.
Tampaknya pemerintahan Jokowi masih perlu bekerja lebih keras lagi, untuk mewujudkan revitalisasi bidang pertanian dengan memperkuat insfrastruktur pertanian, permberdayaan petani, serta perbaikan sistem produksi.
Penciptaan teknologi pertanian, haruslah menjadi perhatian yang serius juga. Sebab, rendahnya angka tenaga kerja di industri pertanian, tidaklah terlepas dari cara bercocok tanam yang masih sangat tradisional. Fakta inilah yang membuat generasi melenial engan berkecimpung di sektor pertanian.
Dengan masuknya inovasi teknologi pertanian, kita harapkan anak muda mau kembali bertani. Seperti halnya yang terjadi di Amerika, Cina, Jepang dan Korea Selatan. Generasi muda mereka mau bekerja di sektor pertanian, karena negara tersebut berhasil merevitalisasi bidang pertanian menjadi lebih moderan.
Pemerintah juga perlu memberi ruang fiskal yang lebih besar pada sektor pertanian, yakni dengan meningkatkan anggaran pada sektor pertanian, sehingga bisa optimal dalam menggerakkan lapangan ekonomi dan tenaga kerja.
Tak berlebihan pula jika kita berharap, agar pemerintah bisa menjadikan pertanian sebagai lokomoitif pertumbuhan ekonomi nasional.
Kita pun berharap, pemerintah membuka lebih banyak investasi pada sektor pertanian, serta fokus pada pengembangan kapasitas petani, mekanisasi, penggunaan bibit unggul, dan perbaikan infrastruktur.
Bukankah peluang investasi di sektor pertanian masih sangat terbuka lebar. Sebab investasi asing di sektor ini baru 7 persen saja dari total Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia.
Kebijakan revitalisasi pertanian terasa penting dalam konteks sosial-ekonomi-budaya masyarakat Indonesia. Sebab, pertanian sebagai salah satu sektor utama dalam struktur ekonomi kita.
Setting sosial kita masih diwarnai oleh masyarakat agraris, yang menetap di wilayah perdesaan. Sebagian besar penduduk di wilayah perdesaan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, tak soal apakah mereka menjadi pemilik lahan, buruh tani, maupun dunia usaha yang terkait dengan pertanian.
Dengan konteks wilayah yang masih menyimpan sejuta potensi, sektor pertanian membawa sejuta harapan bagi masa depan ekonomi Indonesia.
Strategi revitalisasi pertanian harus dilakukan dengan kebijakan tentang pengamanan ketahanan pangan, kebijakan dalam peningkatan produktifitas, produksi, daya saing, dan nilai tambah produk pertanian serta kebijakan dalam pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan.
Dari kebijakan dasar ini, sejumlah program pembangunan sektoral dikemas guna mewujudkan revitalisasi pertanian, seperti program peningkatan ketahanan pangan, program pengembangan agribisnis, program peningkatan kesejahteraan petani, program pengembangaan sumberdaya perikanan, dan program pemantapan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan.
Komitmen yang tinggi dari sisi kebijakan dan program ini ditunjukkan pula dari kenaikan anggaran disektor pertanian dalam arti luas. Tidak hanya anggaran Kementerian Pertanian, namun porsi anggaran untuk pembangunan perdesaan serta pelbagai infrastruktur wilayah yang mendukung revitalisasi pertanian.
Hal yang yang tak kalah penting adalah kerjasama perdagangaan internasional dan kebijakan ekspor-impor, serta kebijakan industri hulu-hilir yang terkait dengan sektor pertanian.
Selain itu, kebijakan pembiayaan merupakan aspek penting lain yang mendukung pengembangan pertanian adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), penguatan sumber daya manusia di sektor pertanian, serta kemampuan inovasi dan teknologi guna meningkatkan produksi, nilai tambah, dan antisipasi anomali iklim. (***)