Soal Rencana Impor Beras: RI Bak Ayam Mati di Lumbung Padi

Soal Rencana Impor Beras: RI Bak  Ayam Mati di Lumbung Padi

Bak ayam mati di lumbung padi, itulah derita rakyat Indonesia. Berpuluh-puluh tahun Indonesia sangat kaya akan beras, tapi begitu panen tiba, petani susah karena harga ditekan, rakyat susah karena harga dikatrol. Siapa pelakunya?

Menurut catatan penulis,  luas tanam padi selama 2017 sebesar 16,4 juta hektare. Sementara, produksi padi pada Januari 2018, diprediksi mencapai 4,5 juta ton gabah kering giling (GKG). Sedangkan, ketersediaan beras mencapai 2,8 juta ton dengan konsumsi beras 2,5 ton, sehingga ketersediaan beras surplus sebesar 329, 3 ribu ton.

Harga beras medium pada Juli 2017 berada di level Rp 10.574 per kilogram dan meningkat menjadi Rp 10.794 per kilogram pada November di tahun yang sama. Pada Januari 2018, angka ini merangkak naik menjadi Rp 11.041 per kilogram.

Melihat kondisi di lapangan, memang rada aneh, disatu sisi digembor-gemborkan Indonesia surplus beras, di lain sisi harus mengimpor beras. Sulit bagi penulis maupun rakyat untuk memahaminya. Sebab selalu saja ada yang salah.

Data produksi dan konsumsi beras selalu saja berbeda antara yang disajikan sejumlah lembaga/kementerian. Data dari Kementan menunjukan tingkat konsumsi mencapai 124 kilogram per kapita per tahun, sementara data BPS adalah 139 kilogram per kapita per tahun, dan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 87,63 kilogram per kapita per tahun.

Kalau kita cermati, pasokan beras nasional terlihat hanya pas-pasan dan tidak merata. Boleh jadi hal ini yang agaknya memicu kenaikan harga beras, terutama jenis medium.

Kementerian Pertanian selalu menyatakan bahwa produksi beras surplus dan stok cukup, hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.

Pada kenyataannya, harga beras mengalami kenaikan sejak Desember 2017 lalu. Kementerian Perdagangan pun sudah memutuskan akan melakukan impor beras sebanyak 500.000 ton dari Thailand dan Vietnam untuk mengatasi kenaikan harga dan menghindari kelangkaan beras.

Akibat pernyataan surplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat,  bisa menjadi distrust di kemudian hari. Bayangkan masa harga naik, tapi pemerintah bilang surplus.

Sesungguhnya, stok beras di negeri ini memang pas-pasan dan tidak merata. Faktanya, ada 6 provinsi yang pasokan berasnya menurun dan mengalami kenaikan harga diatas harga eceran tetap (HET), yakni Sumatera Selatan, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Papua.

Lalu, ada tujuh provinsi yang pasokan berasnya menurun, namun kenaikan harga masih dibawah HET. Ketujuh provinsi ini yakni Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Provinsi Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur.

Di 9 Provinsi lainnya, pasokan beras lancar namun harga sudah merangkak naik, yakni Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Sementara di 8 provinsi, pasokan beras lancar dan harganya juga relatif stabil, yakni Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara dan Papua Barat.

Jika kita runut dalam dua dekade lalu, Indonesia pernah merasakan nikmatnya swasembada beras, namun masa-masa keemasan itu perlahan pudar. Dan kini tidak jarang, Indonesia sebagai negara agraris, harus mengimpor bahan pangan dari negara-negara lain.

Sejarah mencatat Indonesia pernah mengalami masa swasembada pangan, khususnya beras, pada dekade 1980-an. Bahkan saat itu, Organisasi Pangan Dunia, FAO memberikan penghargaan istimewa kepada pemerintah atas prestasi luar biasa ini.

Namun, bertahun-tahun sesudah itu prestasi swasembada beras nampaknya sulit terulang bahkan tidak jarang Indonesia harus mengimpor beras dari negara tetangga, misalnya Thailand dan Vietnam.

Selama beberapa tahun terakhir, masalah ketahanan pangan menjadi masalah penting di Indonesia. Sejumlah pengamat mengatakan akibat persediaan yang terbatas, harga berbagai komoditas pangan, diperkirakan akan menembus tingkat yang sangat mengkhawatirkan.

Keprihatinan terkait soal pangan ini, juga menjadi perhatian  Ketua MPR Zulkifli Hasan. Bakna tentang rencana pemerintah mengimpor beras, mendapat penolakan dengan alasan yang memang masuk akal. Kabarnya, Ketua MPR pun sudah bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan menyampaikan pesan agar pemerintah tidak mengimpor beras.

Apa sih sebenarnya yang membuat Indonesia tak lagi mampu berswasembada beras? Boleh adi karena terkait alih fungsi lahan.

Alih fungsi lahan pertanian sangat mempengaruhi produktivitas hasil pertanian. Pasalnya, luas lahan pertanian saat ini hanya sekitar 8,1 juta hektare. Dan penundaan alih fungsi lahan hanya dapat didorong melalui peraturan pemerintah.

Itu pun sudah dibantu dengan munculnya Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Ini sudah dibikin tapi belum juga dilaksanakan karena berkaitan dengan Pemda harus membuat tata ruang, jadi mana untuk industri, pertanian itu harus ada tata ruang sehingga belum bisa berjalan."

Menurut catatan penulis, setiap tahun, ada perpindahan fungsi lahan pertanian seluas sedikitnya 100.000 hektare. Walaupun Pemerintah telah menargetkan pencetakan sawah baru, namun hal itu tak bisa imbang dengan lahan yang telah mengalami alih fungsi.

Selain alih fungsi lahan, kendala kedua untuk dapat mencapai swasembada pangan yakni jumlah profesi petani yang semakin berkurang. Dalam rentang 2003 hingga 2013, Sebanyak lima juta petani nasional meninggalkan profesinya.

Dari jumlah petani nasional yang mencapai 18 juta orang, sebanyak 62% berusia di atas 64 tahun, 28% berusia di rentang 35-65 tahun, dan sisanya petani yang berusia muda. Jika tidak ada regenerasi, 12 tahun lagi kita kehilangan 14 juta petani. Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, maka berkurangnya jumlah petani ini menghambat swasembada pangan.

Maka tak ada pilihan lain. Untuk dapat mencapai ketahanan pangan harus dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas lahan. Lahan sawah yang berada dekat bendungan yang selama ini hanya dipergunakan untuk dua kali tanam bisa ditingkatkan menjadi menjadi tiga kali periode penanaman. Untuk lahan tadah hujan yang biasanya hanya digunakan satu kali menanam ditingkatkan menjadi dua kali masa tanam.

Dengan luas lahan yang hanya  8,1 juta hektare saat ini, maka Indonesia hanya bisa menghasilkan 16 juta hektar hasil panen per kapita dan bila dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 255 juta orang, maka tak mencukupi.

Kondisi inilah  yang memhuat  Indonesia masih perlu melakukan impor bahan pangan sebagai stok nasional. Semestinya impor dilakukan ketika ada bencana saja. Selain itu, dengan bantuan menghadirkan alat-alat mulai dari mesin pembajak, mesin tanam, hingga mesin panen dapat membantu para petani yang kekurangan tenaga kerja.

Kita berharap, pemerintah maupun pihak yang terkait dengan masalah itu bisa lebih peka dan dapat mencarikan solusinya, agar Indonesia tak mati di lumbung padi, sehingga obsesi pemerintahan Jokowi tentang swasembada pangan tak sekedar jadi wacana. (karno raditya)

 

Berita Lainnya

Index