Membangun Etika Berkomunikasi
Oleh : karno raditya
Secara Etimologis, etika berarti kebiasaan, yang berhubungan dengan moralitas. Dengan beretika diharapkan setiap individu dapat membedakan perilaku, mana yang baik dan mana yang tidak baik dalam kehidupan di masyarakat.
Kita semua tentu prihatin jika melihat adanya pelanggaran etika, yang sering kita lihat di kalangan pejabat atau publik figur. Kenapa ini sering terjadi? Mungkin karena kurangnya pedoman, rasa tidak puas, perilaku atau kebiasaan buruk, yang tidak terkoreksi dan bisa juga faktor lingkungan yang kurang etis.
Etika dapat kita lihat jika seseorang sedang berkomunikasi. Kita tentu lebih menghargai orang yang berbicara dengan sopan, ketimbang orang yang berbicara kasar atau tidak sopan.
Keprihatinan terhadap rendahnya etika berkomunikasi, tentu tak akan menyelesaikan persoalan. Karena itu, mari kita sadari bersama, betapa etika menjadi pilar moralitas, sehingga kita perlu membangun etika dalam berkomunikasi.
Ini penting supaya citra buruk tidak melekat pada diri kita, apalagi untuk seorang pejabat maupun publik figur.
Ingat ! Siapapun kita, yang bercita-cita menjadi pejabat, pemimpin atau publik figur, maka kita harus siap lahir bathin. Bukan saja siap secara intlektual, namun juga siap pula moralitasnya.
Sebab, pejabat maupun pemimpin adalah figur yang didambakan pengikutnya atau bawahannya. Karena itu, setiap langkah dan perilaku haruslah menjadi teladan dan patut diteladani.
Lantas, apa pelajaran penting yang bisa dipetik dari kasus pernyataan pejabat atau publik figur? Tentu kehati-hatian dalam mengeluarkan pernyataan. Sebab pejabat atau publik figur, adalah orang yang paling disorot dan layak menjadi sasaran kritik.
Untuk itu, pejabat atau publik figur harus beretika dalam berkumunikasi. Sebab, jika kita memiliki etika, maka kita akan dinilai lebih bermoral.
Harus dicatat ! Meski seseorang memiliki sederet gelar kesarjanaan, namun gelar tak menjamin seseorang bermoral. Faktanya, tak jarang kita melihat oknum pejabat publik yang bergelar di bidang keilmuan, namun ada juga yang tak beretika dalam berkomunikasi. Semisal yang sering kita jumpai di ruang rapat DPR, atau acara diskusi di televisi dan lain-lainnya.
Meski menyandang gelar sarjana, namun kadang muncul juga perkataan yang bersifat mencela, menghina, bahkan menghujat dan tak jarang menghakimi. Fakta ini memperlihatkan betapa rendahnya etika dalam berkomunikasi.
Rendahnya etika dalam berkomunikasi kadang menimbulkan konflik, kebencian yang tak berkesudahan, dan tak jarang menimbulkan kegaduan di ruang publik.
Untuk itu mari kita bangun etika berkomunikasi, agar ke depan moralitas pejabat publik menjadi lebih baik.
Kita patut mengingatkan para oknum pejabat publik, yang mungkin lupa atau pura-pura lupa, atau juga tak mau tahu, bagaimana cara berkomunikasi yang baik. Ini penting supaya komunikasi yang buruk tidak terus terulang.
Berkomunikasi yang baik, adalah jika kita memperhatikan etika, semisal cara menatap lawan saat bicara, mendengar ucapan lawan saat bicara, memahami lawan bicara saat berbicara, menghindari menyela lawan bicara saat berbicara, harus mengingat hak lawan bicara, fokus pada masalah, bicara tanpa menghakimi lawan bicara.
Beretika dalam berkomunikasi, juga perlu memperhatikan tutur kata serta ekspresi wajah. Jika etika menjadi acuan dalam berkomunikasi, disitulah akan tampak moral kita baik atau buruk.
Para politisi, pengamat, pejabat maupun anggota DPR seyogianya bisa menjaga etika dalam berbicara maupun berperilaku. Apalagi bagi anggota DPR. Sebab, di ujung lidah anggota DPR ada martabat bangsa dan negara.
Mengapa etika menjadi penting dalam berkomunikasi ? Karena etika membantu kita untuk melakukan tindakan secara bebas, namun dapat dipertanggungjawabkan.
Etika, menjadi acuan bagi moral, yang menjadi prinsip utama moralitas. Tak terkecuali di gedung DPR pun terdapat nilai dan moral. Meski hal itu tak tertulis, tapi masyarakat dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Inilah pentingnya kita membangun etika dalam berkomunikasi, baik kepada siapun di sekitar kita.
Yang juga tak kalah penting adalah persoalan komunikasi di era digital. Jika ini tidak disikapi dengan hati-hati, bisa saja menjerumuskan kita menjadi yang derhumanisasi, sehingga manusia kehilangan rasa kemanusiaannya, menjadi egois dan yang paling bahaya, mengancurkan peradabaan.
Tantangan kita sekarang ini, adalah membangun komunikasi yang beretika juga humanis. Untuk itu harus diingatkan kepada kalangan ahli komunikasi dan tokoh publik, bagaimana bisa menyampaikan informasi yang sesuai dengan kondisi Indonesia yang beragam suku, agama dan kedaerahan.
Marilah kita bersama-sama membangun etika berkomunikasi yang humanis, sehingga tidak berujung pada kegaduhan yang tak berkesudahan. (****)