7 Fakta "Si Macan Asia", Rumah Hampir Roboh hingga Tak Punya BPJS

7 Fakta
JAKARTA,(PAB)----
 
Di tengah hingar-bingar kegembiraan para atlet Indonesia yang mendapat bonus usai berlaga di Asian Games 2018, terselip cerita para mantan atlet yang hidup merana.

Salah satu kisah yang terungkap di Kompas.com adalah "si Macan Asia" dari Sukabumi, Hendrik Brock (77).

Ya, pria keturunan Jawa-Jerman itu adalah pemegang tiga medali emas dari nomor tim trail 100 km individu open race 190 km, dan tim open race 190 km di ajang Asian Games 1962 di Jakarta.

Itu adalah segelintir prestasi Hendrik yang juga mengharumkan nama Indonesia. Namun, bagaimana nasibnya saat ini?

Berikut fakta-fakta kehidupan si Macan Asia di penghujung pesta Asian Games 2018.

1. "Si Macan Asia" yang disegani dunia

Hendrik Brock alias Pak Eki, adalah pria keturunan Jawa-Jerman. Lahir di Sukabumi, 27 Maret 1941, Hendrik menjadi atlet Indonesia yang paling banyak meraih medali emas pada Asian Games 1962 di Jakarta.

Tiga medali emas dari nomor team time trail 100 km, individu open road race 190 km, dan team open road race 190 km. Tak hanya di ajang Asian Games, hendrik juga berprestasi di ajang Ganefo, Olimpiade di era 1960 hingga 1980-an.

Setelah itu, Hendrik juga sempat menjadi pelatih bagi para pebalap sepeda nasional Indonesia.

Bukti prestasi yang telah diraihnya dalam balap sepeda jalanan, baik tingkat nasional, Asia, hingga dunia terpampang di ruang tamu rumahnya yang sederhana di Jalan Bhayangkara, Gang Rawasalak, Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Gunungpuyuh, Kota Sukabumi.

2. Derita glukoma dan tak punya BPJS

Hendrik Brock tinggal bersama istrinya, Yati Suryati (67), di sebuah rumah sederhana peninggalan keluarganya.

Kehidupannya sehari-hari jauh dari kata mewah. Kesehatannya pun tak sebugar dulu. Dokter telah memvonisnya mengidap glukoma dan si Macan Asia harus menggunakan tongkat untuk berjalan.

"Kalau kesehatan alhamdulillah. Hanya saja penglihatan yang terganggu karena glaukoma, dan sudah dua kali menjalani operasi," ungkap Hendrik kepada Kompas.com saat ditemui di rumahnya, Rabu (29/8/2018).

"Nggak pegang kartu (BPJS), justru gak masuk. Kalau biaya operasi saat itu sih biayanya masih ada dari Pemkab Sukabumi. Karena saat itu melatih tim sepeda balap Kabupaten Sukabumi," tambahnya.

3. Janji dana pensiun dari pemerintah tak ditepati

Segudang prestasi milik Hendrik saat itu memang membuat pemerintah pusat menjanjikan dana pensiun. Menurutnya, saat itu Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Periode 2004-2009, Adhyaksa Dault yang menyampaikan terkait dana pensiun itu.

"Pak Adhyaksa waktu beliau menjadi Menpora menjanjikan mengusahakan pemerintah akan memberikan pensiun bagi peraih medali emas olimpiade dan Asian Games. Namun sampai sekarang nggak ada realisasinya," tutur Hendrik.

"Padahal kalau melihat jumlah atlet yang mendapat medali emas dari Olimpiade dan Asian Games tidak banyak," sambungnya.

Namun, meskipun kondisi hidupnya penuh kesulitan, Hendrik mengakui bahagia dalam menjalani kehidupan sederhana.

"Saya gak tahu, tapi sehari-hari saya masih bisa makan," kata Hendrik dengan nada penuh semangat.

4. Jual rumah hadiah pemerintah

Tahun 2007, Menpora Adhyaksa Dault akhinrye menyumbangkan sebuah rumah untuk Hendrik.

Namun sayangnya, rumah hadiah tersebut terpaksa dijual untuk memperbaiki rumah warisan keluarganya yang dia tempati hingga sekarang. Rumah warisan keluarganya tersebut sudah rapuh da nyaris ambruk.

"Ini rumahnya sebenarnya sudah roboh dan baru direhab. Alhamdulillah tahun 2007 Pak Adhyaksa Dault memberikan sebuah rumah di perumahan. Namun selama 10 tahun tidak boleh dijual, akhirnya belum lama ini dijual dan uangnya dipakai untuk rehab rumah ini," katanya dia.

5. Berjuang dengan hati seorang bapak

Roda kehidupan Hendrik tersebut berjalan. Hendrik pun juga memberikan dukungannya bagi kontingen Indonesia, khususnya tim balap sepeda yang berlaga di Asian Games 2018.

Dia pun berbagi cerita kerja keras para atlet era 1960-1980-an.

"Menjadi pebalap sepeda itu tidak bisa instan, perlu percaya diri, memotivasi diri sendiri, termasuk harus ada target. Dan tentunya berlatih lebih keras lagi dan tidak cengeng," kata Hendrik.

"Kalau latihannya hanya mengayuh sepeda saja, tidak jelas. Makanya harus ada target, latihan bisa sampai tenaga terakhir berarti ada kemajuannya. Ini yang dilakukan oleh bapak, juga saat bapak melatih anak-anak juga begitu," katanya.

6. Peran keluarga besar topang hidup sehari-hari

Salah satu penopang hidup sehari-hari Hendrik adalah bantuan keluarga besarnya. Dikdik Firmansyah, salah satu keponakan Hendrik, mengatakan, selama ini keluarga besar turut membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari Hendrik.

"Kalau untuk makan sehari-hari ada dari keluarga besar,"kata Dikdik.

Menurut dia, sang paman sebenarnya tak ingin merepotkan keluarga besar. Bahkan Hendrik rela menjual rumahnya menjadi tiga bagian, salah satu bagian dijual kepada keluarga namun dibayar secara mencicil.

"Berikutnya satu bagian rumahnya kembali dilepas atau dijual ke keluarga saya, namun pembayarannya dicicil. Maksudnya dicicil, pembayarannya itu sesuai kebutuhan Uwa (paman)," kata Dikdik.

Kini, Hendrik tinggal di bagian rumahnya yang tersisa di Jalan Bhayangkara, Gang Rawasalak, Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Gunungpuyuh, Kota Sukabumi, Jawa Barat.

7. Pesan Hendrik untuk para atlet muda

Perhatian pemerintah kepada para atlet muda yang berlaga di Asian Games 2018 membuat Hendrik bahagia. Nasib atlet di masanya tidaklah seberuntung atlet zaman now.

Hendrik pun turut bahagia dan berharap perhatian pemerintah itu akan melecut prestasi para atlet Indonesia setinggi mungkin.

"Bonus besar dari pemerintah itu harusnya menjadi motivasi yang tinggi untuk seorang atlet yang benar-benar ingin menjadi juara," pesannya.

"Dulu itu gak ada bonus. Maaf, uang saku saja saya meminta kepada orangtua. Motivasinya itu muncul dari dalam hati, saya ingin menjadi juara," kata Hendrik sambil telunjukknya menunjuk pada dadanya dengan nada penuh semangat.

Sumber (KOMPAS.com: Budiyanto)

 

Berita Lainnya

Index