Industri Tekstil Babak Belur :

RUU Sandang Jangan Hanya Sekadar Jadi Wacana

RUU Sandang Jangan Hanya Sekadar  Jadi Wacana

Bandung, (Pab-Indonesia)

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai industri tekstil nasional babak belur karena banyaknya regulasi. Menurut dia, industri tekstil di dalam negeri berhadapan dengan sedikitnya 70 regulasi, kebanyakan terkait lingkungan.

Dibandingkan negara-negara lain, sambung Faisal, regulasi di industri tekstil nasional bahkan termasuk yang terbanyak dan paling ketat. Terkait ambang batas kadar limbah, misalnya, yang diterapkan di Indonesia lebih tinggi ketimbang negara lain.

"Salah satu kendala besar adalah banyak sekali regulasi, mulai dari yang kecil-kecil hingga yang besar. Ada 70 regulasi di industri tekstil. Wajar, mereka (pelaku industri) ngos-ngosan," terang dia.

Belum lagi, aturan pemerintah terkait penerapan Pajak Penghasilan (PPh). Pajak tersebut dibayar di muka, yang dua kali lebih tinggi. "Ini kan membebani, jadi masalah cashflow (arus kas) sendiri," imbuhnya.

Ditambah lagi, kehadiran Pusat Logistik Berikat (PLB) yang didorong pemerintah disinyalir menjadi sarang masuknya produk tekstil impor.

Ironisnya lagi, PLB bahkan ikut menjual barang secara eceran. "Coba cek ke Bandung (PLB) itu di sana beli sapu tangan dua biji saja bisa," tandasnya.

Sementara Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Muhammad Farhan menilai bahwa Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia masih menjadi salah satu sektor pemasukan besar untuk negara.

Namun, menurut Farhan, nilai pendapatan domestik bruto (PDB) industri ini pun mulai menurun. Pada triwulanI 2023, laju pertumbuhan PDB industri TPT sebesar 0,07 persen melambat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 3,61 persen (YoY).

Kontribusi PDB industri TPT terhadap PDB nasional pada triwulan I 2023 juga mengalami penurunan menjadi 1,01 persen, jika dibandingkan dengan triwulan 1 2022 sebesar 1,10 persen. Terpengaruhnya kinerja industri TPT juga menyebabkan pengurangan tenaga kerja yang cukup signifikan. Hingga saat ini, telah terjadi pengurangan tenaga kerja berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor industri TPT, hingga mencapai 70 ribu orang.

Dikatakannya, saat ini Baleg tengah membahas mengenai rancangan undang-undang (RUU) sandang demi keberlangsungan industri TPT Indonesia ke depannya. Dari berbagai kunjungan dan diskusi yang dilakukannya, Farhan mendapat banyak masukan mengenai persoalan penurunan pertumbuhan industri TPT.

"RUU ini sedang dibahas karena merupakan usulan dari pemerintah khususnya Kemenperin. Kita memang menginginkan ketahanan sandang yang baik di Indonesia," kata Farhan dalam Textile Discussion Club (TDC) di Kampus Politeknik STTT Bandung.

Menurutnya, RUU seperti pisau bermata dua. Pertama, RUU tersebut harus bisa memastikan sandang untuk masyarakat tersedia dengan baik. Di sisi lain, ketersediaan itu wajib berdampak baik pada industri pertekstilan.

Pembuatan RUU Sandang sangat besar tantangannya karena selama ini Indonesia sangat terbuka dengan impor produk tekstil maupun bahan baku. Maka aturan tersebut nantinya haruslah memberikan stimuluasi yang positif pada industri tekstil. Farhan menuturkan, saat ini pembahasan RUU sandang sudah masuk dalam pembentukan panitia kerja (panja) yang melibatkan pemerintah dan DPR RI.

Sejumlah data sudah mulai dikumpulkan dari para pelaku industri TPT. Masukan dari asosiasi, pelaku usaha, hingga pihak-pihak yang terkait pun mulai dihimpun. Dari data yang masuk, salah satu persoalan industri TPT adalah sulitnya mendapatkan permodalan dari perbankan. Hal itu terjadi karena bank menilai industri tersebut masuk kategori rentan dengan perubahan kebijakan. Kemudian banjir impor barang untuk produk tekstil dan turunannya membuat pasar Indonesia dibanjiri bukan hanya oleh industri dalam negeri, melainkan juga industri luar negeri.

"Nah sekarang yang jadi pertanyaan adalah aturan ini apakah akan lebih cenderung menstimulasi penguatan industri atau proyeksi industri, itu yang belum bisa dijawab," jelasnya.

Sementara itu, Ketua IKATSI (Insan Kalangan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia) Shobirin F Hamid menuturkan, undang-undang yang mengatur mengenai sandang ini sangat perlu karena produk tersebut menjadi kebutuhan utama bagi masyasrakat. Sama seperti kebutuhan pangan dan papan, sandang pun harus punya regulasi sehingga kebutuhan dan industri yang memproduksinya bisa tetap kuat.

"Regulasi terkait sandang selama ini, masih berupa regulasi tercecer pada beberapa aturan perundangan-undangan, sehingga masih belum terkonsolidasi optimal secara spesifik dalam bentuk UU Sandang," ucap Shobirin.

"Padahal, sambungnya, "undang-undang terkait pangan dan papan sudah ada, tapi terkait sandang masih belum ada secara spesifik. Padahal ketiga hal tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.".

Dia menyebutkan, salah satu contoh kasus dengan tidak adanya aturan mendasar dalam bentuk undang-undang adalah serbuan impor baik legal maupun illegal telah memukul industri pertekstilan Indonesia. Ketika itu dibiarkan, maka industri tekstil yang merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa hancur. Dengan demikian adanya RUU Sandang sudah merupakan suatu keharusan agar dapat melanjutkan dan meningkatkan pembangunan khususnya dibidang sandang.

Sementara itu, perwakilan IKATSI lainnya, Ryan Hasan Kurniawan berharap diskusi TDC bisa menjadi program yang terus berlanjut demi kepentingan industri TPT dalam negeri. IKATSI berupaya agar para pelaku tekstil nasional dapat saling memberikan gagasan, pendapat dan juga saling memberikan pandangan mengenai kondisi tekstil nasional ataupun hal lain yang menyangkut tentang perkembangan sektor TPT. (Rita Alwi)

Berita Lainnya

Index