Tiongkok dan AS Bersitegang di Laut China Selatan

Tiongkok dan AS Bersitegang di Laut China Selatan

Jakarta,(PAB)

Laut China Selatan merupakan salah satu perairan yang mencakup banyak negara di Asia Tenggara. Dengan kekayaan yang terkandung di sekitar dan juga jauh di dalam kawasan tersebut menjadikan Laut China Selatan sebagai primadona tersendiri bagi negara-negara di sekitarnya.

LCS memang digadang-gadangkan menyimpan potensi perikanan hingga cadangan minyak dan gas yang diperkirakan oleh pejabat AS setidaknya setara dengan cadangan minyak di Meksiko, dan mungkin merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi. 

Maka tak salah jika Laut ini merupakan salah satu Laut yang paling penting secara strategis dan paling diperebutkan di abad ke-21, dan menjadi sumber konflik pada saat ini oleh beberapa negara di sekitarnya.

Mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Moeldoko membeberkan langkah Indonesia terkait sengketa di Laut China Selatan.

Menurut Moeldoko, Indonesia lebih memilih upaya diplomasi sesuai dengan doktrin politik luar negeri bebas aktif.

"Sesuai doktrin politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia akan melakukan pendekatan diplomasi untuk kelangsungan perdamaian di kawasan itu,” kata Moeldoko pada acara PYC 4th Anniversary Webinar Series dengan topik Geopolitik Energi di Laut Cina Selatan: Kekuatan Diplomasi, di Jakarta, Sabtu (20/6).

Hingga saat ini wilayah Laut China Selatan menjadi rebutan beberapa negara, khususnya Tiongkok dan sejumlah negara Asia Tenggara.
Namun, di kawasan tersebut juga terjadi ketegangan militer antara Tiongkok dengan Amerika Serikat.

Secara geopolitik, Indonesia berada pada posisi strategis dalam persoalan Laut China Selatan.

Namun, Moeldoko menegaskan jika konflik pecah di Laut China Selatan, Indonesia akan mengambil posisi netral. Artinya, Indonesia tidak memilih keberpihakan pada salah satu negara.

Pada kesempatan itu pendiri PYC dan pionir Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) Purnomo Yusgiantoro menjelaskan, saat ini ada sembilan titik yang diklaim menjadi wilayah teritorial Tiongkok di kawasan tersebut.
Mantan menteri pertahanan tu menjelaskan, Tiongkok dan AS juga memperebutkan sumber daya energi di Lait China Selatan.

“Kita tak terlibat namun ada lapangan gas terbesar di wilayah tersebut yang menjadi perhatian kita. Perlu ada prinsip diplomasi dalam menghadapi isu geopolitik di kawasan Laut China Selatan,” ujar Purnomo.

Menurut Purnomo, kekuatan diplomasi Indonesia mengenai wilayah Natuna sempat terhenti karena pandemi COVID-19. Pembicaraan yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun tidak bisa dilanjutkan, meski dilakukan secara virtual.

“Pembicaraan diplomasi ini lebih diinginkan secara tatap muka, kita berharap dapat ditindaklanjuti," ujar mantan menteri ESDM itu.

Sementara mantan Menteri Perdagangan dan Duta Besar Indonesia untuk Jepang dan Federasi Micronesia Muhammad Lutfi mengatakan, pertumbuhan ekonomi dunia akan sangat pesat terjadi di negara berkembang.

Terkait hal tersebut, menurut Lutfi, penguasaan sumber daya alam akan menjadi pertarungan. Penguasaan teknologi yang saat ini sedang ditingkatkan China akan memperkuat

Menurut dia, AS memantau negara-negara yang menerapkan demokrasi, menjunjung hukum dan kebebasan untuk berpendapat, salah satunya Indonesia.

“Kita menjadi calon sahabat sejati di masa depan. Kenapa? Karena kriteria itu ada di Indonesia. Ada kepentingan AS, Indonesia punya situasi yang unik di Laut China Selatan," ujar Lutfi.

Pada kesempatan sama penasihat senior Kantor Staf Presiden Andi Widjajanto menjelaskan, Tiongkok berhasil melakukan diplomasi energi untuk mengamankan sumber daya alam demi memuluskan keinginannya menjadi pemain utama di dunia.

Tiongkok membangun militer dan menggelar kekuatannya demi mendapat keamanan dan investasi bidang energi energi ke hampir seluruh dunia. (ant/PAB)

Berita Lainnya

Index