Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pertanian Meranti Rawan Korupsi

Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pertanian Meranti Rawan Korupsi

Jakarta,(PAB)>>>>

Pengadaan barang dan jasa di Dinas Pertanian Pemkab Meranti dinilai rawan korupsi. Untuk itu Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) perlu melakukan pengawasan lebih ketat.

Pada dasarnya tujuan pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah untuk mencapai efisiensi. Ternyata kondisi ini di lapangan tidak berjalan mulus ini disebabkan adanya pasal-pasal teknis yang seringkali secara akal-akalan.

Pasal ini ditafsirkan secara salah untuk diambil keuntungannya secara tidak adil oleh pihak-pihak terkait dalam pengadaan barang/jasa.

Salah satu pasal tersebut adalah Pasal 83 Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (catatan: Perpres ini telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Perpres No. 4 Tahun 2015.

Terkait dengan Perpres No 4 tahun 2015,  yang penjelasannya tertuang di dalam pasal 17 ayat (2) huruf h menambahkan tugas Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan Penunjukan Langsung, seringkali disalahgunakan oleh pejabat berwenang.

Pada pasal 17 ayat (2) huruf h menyebutkan, khusus Pejabat Pengadaan: 1) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk: a) Pengadaan  Langsung  atau  Penunjukan Langsung buntuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); dan/atau b)  Pengadaan  Langsung  atau  Penunjukan Langsung untuk  paket  Pengadaan  Jasa Konsultansi  yang  bernilai  paling  tinggi Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

Namun dalam hal pengadaan pupuk di Dinas Pertanian Pemkab Meranti yang berlangsung bulan lalu, pengadaan langsung, atau penunjukkan langsung bentuk paket pengadaan pupuk NPK bernilai Rp.500.000.000. Artinya, angka ini lebih tinggi dari bunyi pasal 17 huruf h.

Jika menyimak pasal 83 No. 54 Tahun 2010, juga mengisyaratkan Unit Layanan Pengadaan untuk menyatakan pelelangan sah apabila: (1) jumlah peserta yang lulus kualifikasi tidak kurang dari tiga peserta; dan (2) jumlah peserta yang memasukkan dokumen penawaran barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya tidak kurang dari tiga peserta; dan harga penawaran terendah terkoreksi tidak lebih tinggi dari harga perkiraan sendiri (HPS).

Untuk seleksi konsultan dinyatakan sah apabila: (1) peserta yang lulus kualifikasi tidak kurang dari lima (untuk seleksi umum) atau tidak kurang dari tiga untuk seleksi sederhana; dan (2) penawaran biaya terendah terkoreksi tidak lebih tinggi dari pagu anggaran; dan seluruh penawaran biaya yang masuk untuk kontrak lump sum tidak di atas pagu anggaran.

Namun, modus penyalahgunaannya terjadi, dengan cara Pasal 83 disalahtafsirkan oleh para pihak yang terkait dalam pengadaan barang/jasa, baik oleh kalangan calon penyedia barang/jasa, pejabat pembuat komitmen, dan oleh ULP. Penyalahtafsiran dapat dilakukan secara individual dan atau secara bersama-sama.

Dengan penafsiran yang salah tersebut, mereka mengabaikan ketentuan lain yang mengarah pada diperolehnya harga yang efisien. Untuk itu mereka melakukan “pengaturan” sedemikian rupa sehingga secara formal pelelangan/seleksi seolah-olah sesuai dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010, namun secara substantif harga barang/jasa yang dibeli mahal, tidak efisien. Pengaturan tersebut dapat dilakukan dengan:

Pertama, harga pada HPS ditinggikan. Praktik penggelembungan harga ini diawali dari penentuan HPS yang terlalu tinggi karena penawaran harga peserta lelang/seleksi tidak boleh melebihi HPS sebagaimana diatur pada Pasal 66 Perpres 54 tahun 2010 mengingat HPS adalah dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan pengadaan jasa konsultansi yang menggunakan metode pagu anggaran.

Kedua, pinjam nama perusahaan. Untuk memenuhi ketentuan minimal jumlah peserta lelang/seleksi, seluruh peserta lelang berada dalam satu komando. Hal ini bisa terjadi karena perusahaan-perusahaan yang kalah atau menang dalam pelelangan bisa dikondisikan sebagai perusahaan “boneka” karena perusahaan tersebut hanya dipinjam namanya.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo sudah meminta Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) untuk meningkatkan pengawasan terhadap beberapa hal bagi penyelenggaraan pemerintah daerah (Pemda).

Pertama, guna meningkatkan pemberdayaan daerah serta meningkatkan pelayanan publik, Tjahjo meminta APIP harus mampu memaknai dan mendekatkan pengawasan terhadap 5 area rawan korupsi.

Lima area rawan korupsi menurut Tjahjo yaitu perencanaan dan penanggaran daerah, pendapatan daerah, Belanja hibah dan bansos, belanja perjalanan dinas, serta pengadaan barang dan jasa. sebagai langkah tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang pemerintaha daerah, Tjahjo mengatakan APIP harus melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian. Menurut dia, kerja sama ini harus dilakukan dengan lebih operasional.

Disamping itu, Tjahjo meminta APIP untuk melakukan pengecekan ulang (review) dokumen perencanaan dan penganggaran daerah tahunan dengan baik. Hal ini guna menghindari adanya inkonsistensi dokumen perencanaan dan penanggaran.

Sementara data dari KPK menyebutkan, korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi salah satu permasalahan yang paling sering dilaporkan ke KPK. Hingga 2015, KPK telah menerima sebanyak 12.693 pengaduan terkait pengadaan barang dan jasa. Dari 500 kasus yang ditangani KPK sejak 2004 sampai April 2016, 148 adalah kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.
 
Untuk itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Cahya Hardianto Harefa mengatakan, KPK melakukan kajian mengenai penyebab dan menyusun rekomendasi untuk menutup titik-titik rawan korupsi pada pengadaan barang dan jasa. “Ada beberapa penyebab, diantaranya dugaan persekongkolan,” katanya.
 
Berdasarkan hasil kajian KPK, terdapat empat titik celah korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa, yaitu dari aspek regulasi, perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Dari aspek regulasi, persoalan disebabkan oleh sistem perundangan yang berbenturan, multitafsir, tumpang tindih, tidak kuat, dan tidak aplikatif.
 
Dalam aspek perencanaan dan penganggaran, KPK menemukan sejumlah permasalahan yang diakibatkan oleh tidak berintegritasnya pemangku kepentingan dan proses perencanaan yang tidak transparan. Dari aspek pengawasan pun belum dinilai optimal karena kerap bersifat reaktif dan tidak proaktif.
 
Sementara, dari aspek pelaksanaan, menurut Cahya, paling banyak ditemukan permasalahan, seperti organisasi pengadaan barang dan jasa yang tidak berintegritas, intervensi eksternal, kolusi, kelemahan sistem sumber daya manusia (SDM), individu yang koruptif dan tidak independen, serta intervensi pada proses pemilihan penyedia barang dan jasa.
 
Dari sejumlah kasus korupsi yang ditangani KPK, terungkap berbagai modus korupsi yang dilakukan dalam semua tahapan pengadaan barang dan jasa. Ada perbedaan modus yang dilakukan sebelum dan sesudah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
 
Cahya menjelaskan, sebelum Perpres terbit, modus korupsi terjadi pada tahapan proses perencanaan anggaran dan perencanaan persiapan pengadaan barang. Antara lain, proyek sudah di-ijon atau dijual terlebih dahulu sebelum anggaran disetujui atau disahkan dan persekongkolan antara DPR, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan vendor.
 
Modus lainnya, sambung Cahya, penggelembungan harga, suap kepada pihak terkait, serta manipulasi dokumen dan pemenang pengadaan. Ia mencontohkan, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) tidak dibuat oleh panitia pengadaan. “(Melainkan) Dibuat oleh pihak vendor yang akan ditunjuk sebagai pemenang,” ujarnya.
 
Setelah Perpres terbit, modus korupsi pun bergeser pada tahapan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, proses serah terima dan pembayaran, serta proses pengawasan dan pertanggungjawaban. Modus yang terjadi pada proses pelaksanaan, serah-terima, dan pembayaran, antara lain pengumuman terbatas.
 
Selain itu, modus memanipulasi pemilihan pemenang, dokumen lelang, dokumen serah-terima, penggelembungan harga, serta suap kepada pihak terkait. Pada bagian ini juga terjadi persekongkolan antara KPA, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), kelompok kerja unit layanan pengadaan, pejabat penerima hasil pekerjaan, dan bendahara.
 
Adapun modus korupsi pada tahap pengawasan dan pertanggungjawaban, yakni adanya suap kepada auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghilangkan temuan, serta suap kepada penegak hukum untuk meringankan hukuman. Dalam hal ini, KPK telah menangani 3 perkara dengan 8 terpidana.
 
Terkait kasus korupsi pengadaan barang dan jasa sebelum Perpres No.54 Tahun 2010, KPK telah menangani 30 perkara dengan 66 terpidana, dimana jumlah kerugian negara mencapai Rp1,15 triliun dan uang pengganti lebih dari Rp332,4 miliar. Sedangkan, setelah Perpres, KPK telah menangani 12 perkara dengan 33 terpidana, dimana jumlah kerugian negara mencapai Rp166 miliar dan uang pengganti lebih dari Rp75 miliar.
 
Sebenarnya, setelah Perpres No.54 Tahun 2010 telah ada empat kali perubahan. Perubahan pertama, Perpres No.35 Tahun 2011, kedua Perpres No.70 Tahun 2012, ketiga Perpres No.172 tahun 2014, dan keempat Perpres No.4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 16 Januari 2015.
 
Perbedaan paling mencolok antara Perpres No.172 tahun 2014 dan Perpres No.4 Tahun 2015 dengan Perpres-Perpres sebelumnya adalah kewajiban pengadaan barang dan jasa secara elektronik. Bahkan, diatur pula pelaksanaan tender secara e-tendering dan pembelian secara e-purchasing. (rdt)
 
 

Berita Lainnya

Index