Medan,(PAB)----
Pengadaan suku cadang di PT Indonesia Asahan Aluminium (PT Inalum) disinyalir terindikasi korupsi. Dugaan tersebut mencuat setelah vendor resmi perusahaan plat merah tersebut, yakni PT SSE, menyampaikan keluhan atas penolakan sejumlah barang yang mereka suplai.
Pengadaan suku cadang tersebut kini menuai pertanyaan dan menjadi sorotan sejumlah pihak, salah satunya pengurus Lembaga Republik Corruption Watch Sumatera Utara (RCW Sumut).
Ketua Bidang Analisa Data dan Pelaporan RCW Sumut, Sunaryo menyebut, ada indikasi penyalahgunaan kewenangan dalam proses pengadaan suku cadang tersebut.
“Fakta bahwa barang OEM resmi dari Kito dan Satuma ditolak, sementara PT Inalum justru menerima barang bermerek Meidensha yang secara resmi sudah tidak diproduksi sejak 2010, merupakan kejanggalan serius. Ini bisa masuk kategori pengadaan tidak sah dan berpotensi korupsi,” tegas Sunaryo kepada wartawan di Medan, Kamis (18/9/2025).
Menurutnya, penolakan terhadap barang Original Equipment Manufacturer (OEM) yang sah, sementara menerima merek yang sudah lama berhenti produksi, memperkuat dugaan pengadaan tidak sesuai aturan.
“Hal ini sejalan dengan keluhan PT SSE, yang menyebut barang mereka sah secara kontrak dan keasliannya, tetapi ditolak tanpa dasar kuat. Seharusnya PT Inalum menelusuri kebenaran antara Meidensha dengan Kito,” ujarnya.
Sunaryo menegaskan, dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus ini bisa dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 UU Tipikor tentang Penyalahgunaan Wewenang, serta Pasal 12 huruf i UU Tipikor, jika terbukti ada intervensi dalam pengadaan barang dan jasa.
“Apalagi barang yang sudah disuplai masih tersimpan di gudang PT Inalum. Artinya, ada potensi kerugian negara akibat pembayaran yang tidak jelas dan barang yang tidak dipakai. Kami mendorong aparat penegak hukum Kejaksaan untuk segera mengusut kasus ini,” tegasnya.
Pria yang getol menyoroti kasus-kasus korupsi serta vokal dalam berbahasa itu juga menyebut, pola penolakan barang sah dan penerimaan barang dari merek yang tidak lagi berproduksi mengindikasikan adanya intervensi.
“Kalau dilihat dari polanya, ada tanda-tanda intervensi dalam pengadaan. Dugaan ini bisa mengarah pada perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor,” ujar pria yang cukup dikenal dikalangan jurnalis dan LSM se-Sumut itu.
Dikatakannya, meski kontrak payung dengan PT Inalum sudah ditandatangani, realisasi klausul kontrak dinilai tidak berjalan sesuai kesepakatan. Surat resmi PT SSE kepada komisaris, direksi, dan manajemen PT Inalum selama dua tahun terakhir disebut tidak mendapat tanggapan memadai.
“Sejak 15 Februari 2024 PT SSE sudah memohon penyelesaian status barang yang disuplai. Namun hingga satu setengah tahun ini belum ada kejelasan,” ungkap Sunaryo.
Kontrak itu mencakup pengadaan suku cadang seperti Moving Core, Helical Spring, Solid Wheel, dan Brake Shoe. PT SSE memastikan keaslian dengan membeli langsung dari Kito Corporation dan Satuma selaku OEM.
Penolakan PT Inalum dengan alasan masa kontrak berakhir disebut tidak tepat. Sunaryo menyebut, Pasal 8.5 kontrak menegaskan kewajiban para pihak tetap berlaku hingga pelaksanaan selesai. Sementara Pasal 11.1 dan 11.2 membuka ruang addendum bila disepakati bersama.
“Bahkan, rapat koordinasi dengan Departemen Logistik PT Inalum pada Februari dan Maret 2024 telah memutuskan jadwal pengiriman baru. Artinya, ada perpanjangan waktu secara implisit. Maka pembatalan sepihak tidak tepat secara hukum,” jelasnya.
Pihak PT SSE juga menuding adanya oknum pejabat di internal PT Inalum yang sengaja menghambat proses addendum. Menurut mereka, kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian negara berupa pemborosan anggaran hingga keterlambatan produksi.
Dalam surat resminya, PT SSE mengingatkan manajemen PT Inalum agar tetap berpegang pada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menekankan tanggungjawab direksi dan larangan penyalahgunaan wewenang.
Pihak PT SSE juga mempertanyakan legalitas penggunaan merek Meidensha dalam kontrak terbaru PT Inalum. Pasalnya, divisi hoist Meidensha di Jepang sudah berhenti produksi sejak tahun 2010 silam dan beralih usaha menjadi konsultan elektrik.
“Meski sudah kami sampaikan, PT Inalum tetap menerima brake shoe bermerek Meidensha dari vendor lain pada Desember 2024 dan Januari 2025. Kami berharap, PT Inalum mengambil kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan negara dan mendukung kelancaran program pemerintah,” tulis PT SSE dalam pernyataannya.
Hingga berita ini ditayangkan ke publik, pihak PT Inalum belum terkonfirmasi untuk dimintai tanggapannya terkait hal tersebut. *