Jakarta, (PAB-Indonesia)---
Dalam menjalankan kehidupan berpolitik diperlukan etika politik agar keadilan dapat ditegakkan. Etika politik ini perlu terus ditekankan setiap waktu sebagai pengingat bagi setiap orang yang terlibat dalam politik.
Tanpa etika politik, kehidupan bernegara akan menjadi kacau. Misalnya banyak pejabat secara sewenang-wenang menggunakan kekuatan politiknya untuk kepentingan pribadi, hingga akhir.
Pesan ini disampaikan Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto. Dia mengingatkan bahwa politik bukan hanya persoalan bagaimana para pelakunya meraih kekuasaan, yang digunakan untuk menyejahterakan rakyat.
Dikatakannya, ketidakpedulian generasi muda terhadap dunia politik, karena melihat prilaku elite politik yang dipertontokan di media massa dan media sosial.
“Mereka menganggap politik itu jahat. Padahal secara filosofis politik berasal dari kata zon politicon, bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri,” ujarnya.
Politik menurut KH Chriswanto membawa tugas luhur, yakni upaya agar manusia dengan berbagai jalan hidup dapat dipersatukan kepentingannya dalam sebuah negara.
“Inilah politik dari konsep zon politicon, maka elite politik harus mampu menyatukan perbedaan untuk meraih cita-cita bersama,” tegas KH Chriswanto. Sebaliknya, politik bakal terlihat tidak elok bila para pelakunya korup, mementingkan diri mereka sendiri, saling serang di muka umum, saling telikung, ataupun membuat citra kelompok lain buruk.
“Hari-hari ini, tahun politik menjadi ujian bagi elite politik untuk memberikan literasi kepada masyarakat bagaimana berdemokrasi,” tabahnya.
Dijelaskannya, bila elite parpol terus-menerus menunjukkan etika, moralitas dan adab yang rendah, mereka akan dikenang dalam kesadaran rakyat dan sejarah sebagai pemimpin yang buruk. Tidak bisa dijadikan contoh generasi mendatang.
“Hal seperti ini ini merugikan kaderisasi kepemimpinan nasional dalam bidang politik,” terangnya.
Menurut dia, agar generasi muda melihat politik sebagai jalan untuk menyejahterakan rakyat, para politisi harus memaparkan program kerjanya. Kampanye yang seharusnya menjadi sosialisasi program kerja, berpotensi memunculkan kampanye hitam.
“Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan kampanye diperbolehkan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan, artinya potensi kampanye hitam yang memecah belah bangsa kian besar,” jelas KH Chriswanto.
Ia berpendapat, solusi dengan kontrol dan pengawasan pada materi kampanye, bila dilaksanakan di tempat ibadah, kampus, maupun fasilitas pemerintah. KH Chriswanto juga menjabarkan, roh awal dari aturan pelarangan berkampanye di rumah ibadah dan lingkungan pendidikan yang dibuat para pendahulu, adalah agar kedua tempat itu bebas dari perpecahan akibat berbeda pandangan politik. Meskipun ia tak menampik, tempat ibadah dan kampus kerap dijadikan lokasi berkampanye secara tersirat, pemerintah tetap harus mengontrol materi kampanye.
“Ini bukan pembatasan kebebasan berbicara, tetapi mengatur materi agar benar-benar tetap pemaparan program kerja agar masyarakat tidak terpecah belah,” tuturnya.
Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak memiliki keberpihakan dalam pengawasan kampanye tersebut. “Jangan tebang pilih, menegakkan aturan hanya kepada parpol gurem atau oposisi, tetapi menutup mata saat parpol besar melakukan kampanye hitam,” tegas KH Chriswanto.
Menurutnya, Pemilu adalah pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin bangsa, menurutnya pesta tersebut jangan sampai justru merusak persatuan dan kebhinnekaan bangsa.
“Sebagai kompetisi, para politisi harus menyikapinya dengan menarik perhatian rakyat. Jadikan parpol Anda bagian dari rakyat, memahami masalah rakyat dan mencari solusi,” urainya.
KH Chriswanto menambahkan, LDII secara institusi netral aktif, tetapi mempersilakan warganya untuk aktif di dalam partai politik dengan koridor adab dan moralitas, serta selalu menjaga etika dalam berpolitik.(Ria Astari)