NasDem Gundah:

KPK Bakal Telusuri Dugaan Korupsi di Kemnaker

KPK Bakal Telusuri Dugaan Korupsi di Kemnaker
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri

Jakarta, (PAB-Indonesia)

Niat Komisi Pemberantasan Kurupsi (KPK) menelusuri dugaan korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnaker), membuat kubu NasDem gundah. KPK sendiri telah menyebutkan, pengusutan perkara dugaan korupsi tersebut di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah berjalan lama.

KPK membantah penyidikan dugaan korupsi sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) bermuatan politis.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, menegaskan bahwa penyidikan kasus tersebut sudah berlangsung sebelum deklarasi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai Bakal Calon Wakil Presiden 2024.

"Perlu dipahami jauh, sebelum itu kami sudah lakukan proses penanganan perkara tersebut. Jauh sebelum hiruk pikuk persoalan tersebut. Kami pun sudah lakukan kegiatan penggeledahan beberapa waktu lalu sebagai bagian proses penegakan hukumnya," kata  Ali Fikri , Minggu (3/9/2023).

Dugaan korupsi di Kemnaker terkait sistem proteksi TKI terjadi pada tahun 2012. Saat itu Muhaimin Iskandar atau Cak Imin masih menjabat sebagai Menaker RI.

Kegundahan Nasdem tersebu,t membuat Ketua DPP Partai NasDem, Effendy Choirie atau Gus Choi, mempertanyakan posisi KPK dalam mengusut dugaan korupsi sistem proteksi TKI. Gus Choi menilai kasus itu sengaja dibuka kembali saat Cak Imin akan melakukan deklarasi sebagai calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan.

Ali mengatakan pengusutan kasus di Kemnaker dilakukan secara profesional. Dia menyebut, pihaknya juga memiliki tanggung jawab dalam menyampaikan informasi kepada publik sebagai bentuk transparansi kerja KPK.

"Kami berharap para pihak tersebut tidak buat narasi yang tidak utuh. Kami tegaskan semua kegiatan KPK kami lakukan publikasikan sebagai bagian transparansi kerja KPK," jelas Ali.

"Silakan simak dan ikuti sejak kapan proses penanganan perkara tersebut. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan proses politik yang sedang berlangsung tersebut," tegasnya.

Lebih lanjut Ali memastikan kerja pemberantasan korupsi di KPK tidak akan terpengaruh dengan dinamika politik saat ini. Kerja KPK, selalu mengacu pada kelengkapan alat bukti.

"Kami tegaskan persoalan politik bukan wilayah kerja KPK. Kami penegak hukum dan di bidang penindakan, kacamata kami hanya murni persoalan penegakan hukum tindak pidana korupsi," katanya.

Partai NasDem mengatakan KPK mengada-ada karena mengusut kembali dugaan korupsi pengadaan software untuk mengawasi kondisi TKI di luar negeri. NasDem mempertanyakan posisi KPK.

Kasus dugaan korupsi terkait pengadaan sistem proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI), yang tengah didalami Komisi Pemberantasan (KPK) terjadi pada 2012, saat Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat menteri tenaga kerja.

Ali menjelaskan bahwa melalui gelar perkara, lembaga antirasuah sepakat menaikkan perkara tersebut ke tahap penyidikan bahkan sebelum Muhaimin diisukan menjadi Bakal Cawapres. Alat bukti yang cukup telah didapatkan sejak Juli 2023, dan surat perintah penyidikan terbit sejak Agustus 2023 lalu.

Ali menjelaskan bahwa melalui gelar perkara, lembaga antirasuah sepakat menaikkan perkara tersebut ke tahap penyidikan bahkan sebelum Muhaimin diisukan menjadi Bakal Cawapres. Alat bukti yang cukup telah didapatkan sejak Juli 2023, dan surat perintah penyidikan terbit sejak Agustus 2023 lalu.

Oleh karena itu, Ali menilai bahwa penanganan perkara dugaan korupsi di lingkungan Kemnaker itu membutuhkan waktu panjang bahkan lebih dari dua bulan sebelum naik ke penyidikan.  

"Tentu sudah pasti sebelum ramai urusan hiruk pikuk politik pencapresan tersebut," lanjut Juru Bicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK itu.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sebelumnya, juga menyebut dugaan korupsi yang terjadi di lingkungan Kemnaker itu terkait dengan pengadaan perangkat lunak atau software proteksi TKI di luar negeri.  

 Pimpinan KPK itu menduga software tersebut dibeli dengan uang negara, namun tidak berfungsi. Nilai kontrak pengadaannya disebut mencapai Rp20 miliar, sehingga terdapat dugaan kerugian keuangan negara.

"Dari audit BPK, sistem itu nggak berjalan," terang Alex saat ditemui wartawan di Gedung KPK Merah Putih kemarin.

"Jadi pengadaan software, pengadaan komputer. Jadi yang bisa dipake cuma komputernya aja itu buat ngetik dan lain sebagainya, tetapi sistemnya sendiri tidak berjalan," ucapnya.

Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK , Asep Guntur, menambahkan  bahwa laporan mengenai kasus korupsi tersebut ditelusuri secara periode ke periode hingga ditemukannya pada 2012.

Sebagaimana diketahui dalam periode tersebut, Cak Imin tengah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI 2009-2014 di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Ya di-searching. Di 2012, jadi kita tentu melakukan pemeriksaan sesuai dengan waktu kejadiannya kapan. Kalau kejadiannya tahun itu ya siapa yang menjabat di tahun itu," ujarnya.

Dia juga menyampaikan peluang untuk melakukan pemeriksaan terhadap Cak Imin. Semua pejabat dalam periode tersebut bakal dimungkinkan untuk dimintai keterangan.

"Semua pejabat di tempus 2012,  itu dimungkinkan kami minta keterangan. Kenapa? Karena kita harus mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya jangan sampai ada secara pihak si A menuduh si B, si C menuduh si B lalu si B tidak kita mintai keterangan kan itu janggal. Jadi semua yang terlibat yang disebutkan oleh para saksi dan ditemukan di bukti-bukti kita akan minta keterangan," tutur Asep.

Diberitakan sebelumnya, lembaga antirasuah ini telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sistem proteksi TKI di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Namun, ketiga orang tersangka ini belum diungkap identitasnya.

Pengadaan software yang dimaksud itu, merupakan obyek penyidikan dugaan korupsi yang kini tengah ditangani oleh KPK. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan negara telah menggelontorkan anggaran guna kontrak pengadaan software tersebut, namun tidak berfungsi.  

Adapun, KPK menjerat ketiga orang ini dengan Pasal 2 atau 3 terkait kerugian negara dan masih menghitung kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus ini melalui lembaga auditor negara seperti BPK maupun BPKP, atau dari internal KPK sendiri. (Mia)

Berita Lainnya

Index