NATO Jadi Biang Kerok Perang Rusia - Ukraina

NATO Jadi Biang Kerok Perang Rusia - Ukraina

Jakarta, (Pab-Indonesia)

Perang Rusia-Ukraina masih terus berlangsung. Banyak pihak menuding NATO menjadi biang kerok peperangan tersebut. Ribuan prajurit di kedua negara menjadi korban dan tak ribuan peralatan perang kedua negara juga hancur. Perdana Menteri Hungaria, Victor Orban menyebutkan, Amerika Serikat (AS) telah menyeret Eropa ke dalam konflik kedua negara tersebut.

Seperti dikutip dari majalah Swiss Weltwoche, konflik antara Rusia dengan Ukraina, memaksa  Eropa harus membuat blok militernya sendiri , yang bebas dari pengaruh  AS.

"Solusinya adalah NATO Eropa," kata Orban, dengan alasan bahwa keinginan AS untuk memperluas pengaruhnya lebih lanjut adalah penyebab ketegangan saat ini antara Barat dan Rusia.

Menurut Orban, konflik itu terjadi karana Moskow khawatir dengan NATO yang memperluas lebih jauh ke timur ke Ukraina dan Georgia. Dia merujuk pada percakapannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin hanya beberapa minggu sebelum perang antara Moskow dan Kyiv meletus pada akhir Februari 2022.

"Putin memberi tahu saya bahwa masalahnya ada pada pangkalan rudal Amerika di Polandia dan Rumania dan kemungkinan ekspansi NATO di Ukraina dan Georgia," kata Orban.

Menurutnya, hal itu adalah salah satu alasan yang mendasari konflik di Ukraina. "Saya mengerti apa yang dikatakan Putin. Saya tidak menerima apa yang dia lakukan," jelas Orban.

Dia bersikeras bahwa Hungaria harus menghindari konflik, tetapi menambahkan bahwa Budapest menjadi sasaran "tekanan terus-menerus" karena negara-negara Barat lainnya "ingin menyeret kita ke dalam perang melalui segala cara yang memungkinkan."

Orban percaya bahwa ini dikarenakan Uni Eropa (UE) melayani kepentingan AS dengan mengorbankan kepentingannya sendiri. "Keputusan yang dibuat oleh Brussels lebih sering mencerminkan kepentingan Amerika daripada kepentingan Eropa," katanya.

Orban berargumen bahwa negara-negara Barat perlu menunjukkan "keinginan" dan "keinginan" yang sebenarnya untuk perdamaian di Ukraina, menambahkan "keinginan itulah yang kurang saat ini, setidaknya di Barat."

Presiden Rusia, Vladimir Putin, akhirnya mengungkapkan motif negaranya menginvasi Ukraina yang memicu peperangan kedua negara dengan melibatkan para negara sekutu masing-masing.

Motif Rusia memerangi Ukraina itu diungkapkan Vladimir Putin saat berpidato secara virtual melalui video pada pertemuan puncak para pemimpin negara-negara di KTT BRICS di Afrika Selatan, Rabu, pekan lalu.

Putin juga menyebut, konflik dan peperangan di Ukraina disebabkan oleh upaya Barat untuk mempertahankan hegemoni.  Dia menjelaskan, para anggota BRICS menolak gagasan eksepsionalisme,

Eksepsionalisme adalah pandangan bahwa sebuah negara (atau masyarakat, lembaga, gerakan, atau era) bersifat "eksepsional" dan tidak perlu mematuhi peraturan atau prinsip umum.

Ujaran Vladimir Putin ini merujuk pada aksi-aksi Amerika Serikat yang kerap memamerkan kebijakan 'seenaknya' yang tidak bisa dilakukan negara lain, termasuk menjadi 'polisi dunia'.

"Upaya Barat untuk mempertahankan hegemoninya adalah penyebab utama konflik di Ukraina," klaim Presiden Rusia Vladimir Putin.

“Kami menentang hegemoni apa pun, gagasan eksepsionalisme yang dipromosikan oleh beberapa negara, dan kebijakan neokolonialisme yang berasal dari klaim tersebut,” kata pemimpin Rusia tersebut pada hari Rabu

Pada bagian lain, anggota Parlemen Jerman, Alice Weidel, memberikan pandangannya terkait situasi perang Rusia-Ukraina. Ia menyebut NATO dan Barat menjadi biang kerok terhadap kondisi Ukraina saat ini.

Menurut Alice Weidel, Ukraina tidak bersikap netral karena terus mendorong batas-batas ekspansi NATO ke arah timur dekat perbatasan Rusia.

"Masalahnya adalah Ukraina, masalah kurangnya status netralitas, dan itu tidak ditanggapi," kata Weidel kepada parlemen Jerman, dikutip dari Sputnik News.

Dari Roman, Mantan Perdana Menteri (PM) Italia Giuseppe Conte mengatakan strategi NATO untuk mengalahkan Rusia dalam perang di Ukraina telah gagal total.

Menurutnya, yang terjadi justru Moskow terus bertahan di tengah lemahnya serangan balasan Kyiv dan sanksi Barat. Menulis di Facebook, Conte, yang memimpin partai Five Star Movement (Gerakan Bintang Lima), mencatat bahwa permusuhan antara Moskow dan Kyiv selama satu setengah tahun telah menunjukkan bahwa sudah waktunya untuk mengesampingkan penilaian optimistis yang dipicu oleh propaganda perang yang dangkal dan memekakkan telinga di Barat.

"Strategi blok militer pimpinan Amerika Serikat, yang sejauh ini bergantung pada bantuan militer besar-besaran ke Kyiv dan logika eskalasi, telah gagal menghasilkan kehancuran militer Rusia yang sangat diharapkan," kata Conte.

Dia ingat bahwa Ukraina tidak pernah berhasil memukul mundur pasukan Rusia dari Bakhmut, benteng utama Donbas yang direbut Rusia pada bulan Mei setelah pertempuran sengit selama berbulan-bulan.

“Tidak ada disintegrasi departemen militer dan paramiliter [Rusia], tidak ada kemunduran akibat serangan balasan Ukraina,” tegas mantan PM Italia tersebut, seraya menambahkan bahwa harapan Barat akan gejolak politik dalam negeri di Rusia juga gagal terwujud.

Sementara itu, sanksi keras yang dikenakan oleh negara-negara Barat terhadap Rusia belum membuat Rusia bangkrut atau melumpuhkan perekonomiannya. "Tujuan lama untuk mengisolasi Moskow sama sekali tidak tercapai," paparnya, seperti dikutip dari Russia Today, Senin (28/8/2023).

Untuk menggarisbawahi maksudnya, politisi tersebut menunjuk pada pertemuan puncak BRICS baru-baru ini—Rusia adalah salah satu anggotanya—yang berakhir dengan perluasan kelompok yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, Conte mengeklaim bahwa konflik di Ukraina telah mengungkap ketidakmampuan Uni Eropa untuk mengembangkan strategi bersama yang efektif dan untuk mengekspresikan kepemimpinan politik dan ekonomi yang otonom. Sebaliknya, hal ini malah menjadi indikator lain dari kepatuhan blok tersebut terhadap AS.

Komentar Conte muncul ketika serangan balasan Ukraina yang lambat meskipun telah diluncurkan selama lebih dari dua bulan. Menurut Moskow, Kyiv telah kehilangan lebih dari 43.000 anggota militer dan hampir 5.000 peralatan militer sejak dimulainya serangan tersebut.

Conte, yang menjabat PM Italia dari 2018 hingga 2021, di masa lalu telah berulang kali menyerukan perundingan damai antara pihak-pihak yang bertikai di Ukraina sambil menentang pengiriman senjata lebih lanjut ke Kyiv, dan memperingatkan potensi eskalasi.

Sanksi Barat ke Moskow Tumpul, Rusia Makin Kaya di Tengah Perang Ukraina

Di tempat terpisah, Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, menyebutkan kalau  sanksi ekonomi terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina dinilai tidak berhasil dan belum berjalan sesuai yang diinginkan.

Baerbock mengakui bahwa sanksi ekonomi terhadap Rusia belum mencapai dampak yang diinginkan. Seperti diketahui Eropa didukung oleh sekutunya telah menjatuhkan beragam sanksi terhadap Moskow sebagai respons atas perang Rusia Ukraina .

"Sanksi ekonomi harus memiliki dampak ekonomi. Tapi bukan itu masalahnya," kata Baerbock dalam sebuah wawancara untuk bukunya "Emergency: Governing in Times of War" yang dirilis kantor berita AFP.

"Kami telah belajar bahwa dengan keputusan rasional, langkah-langkah rasional, yang disepakati antara pemerintah beradab, tidak mungkin untuk mengakhiri perang ini," tambahnya.

Uni Eropa meluncurkan 11 putaran sanksi terhadap Rusia sejak Moskow menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, untuk menekan Kremlin agar mengakhiri perang. Ditambah Amerika Serikat atau AS juga telah memberlakukan sanksi besar-besaran terhadap Rusia.

Namun, ekonomi Rusia saat perang tampaknya sedang booming karena Kremlin telah meningkatkan produksi peralatan militer dan menaikkan pensiun, gaji, dan tunjangan lainnya bagi orang-orang yang tidak mampu, di antara kucuran subsidi lainnya. Berdasarkan laporan Kekayaan Global bank Swiss UBS 2023 juga menunjukkan Rusia menjadi lebih kaya tahun lalu.

Sementara AS dan Eropa kehilangan triliunan dolar terkait kekayaan pribadi. Ketahanan ekonomi Rusia membuat bingung para ekonom yang sebelumnya memperkirakan kejatuhan ekonomi Kremlin setelah gelombang sanksi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah. Meski begitu beberapa di antaranya memprediksi peningkatan pengeluaran negara bisa memicu bubble tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.

"Logika demokrasi tidak bekerja dalam otokrasi," kata Baerbock.

Sebab, tambahnya di tengah perang Ukraina, Rusia menjadi lebih kaya tahun lalu bahkan ketika perang di Ukraina berkecamuk, sementara AS dan Eropa kehilangan triliunan dolar, seperti dilaporkan UBS.

Dalam laporan kekayaan Global tahunan bank asal Swiss tersebut  merilis kekayaan Rusia bertambah USD600 miliar. Jumlah miliarder Rusia juga bertambah sekitar 56.000 menjadi 408.000 pada tahun 2022, sementara jumlah individu dengan kekayaan bersih sangat tinggi -orang yang bernilai lebih dari USD50 juta - melonjak hampir 4.500.

Tetapi AS kehilangan lebih banyak kekayaan daripada negara lain tahun lalu, dimana mencapai USD5,9 triliun. Selain itu UBS juga melaporkan, gabungan antara Amerika Utara dan Eropa menjadi lebih miskin sebesar USD10,9 triliun.

Ada juga jumlah miliarder Amerika menyusut pada akhir 2022, meskipun AS masih menyumbang lebih dari 50% dari individu dengan kekayaan bersih sangat tinggi di dunia, seperti disampaikan UBS. UBS mengakui bahwa "tren kekayaan di Rusia sulit ditentukan saat ini," tetapi mereka menyorotinya sebagai salah satu dari segelintir negara yang menjadi lebih kaya pada tahun 2022.

Kenaikan harga minyak menjadi salah satu faktor di balik peningkatan kekayaan, dengan ekspor komoditas tersebut menjadi mesin ekonomi utama bagi Rusia. Biaya satu barel patokan minyak mentah Ural melonjak sekitar USD7 pada tahun 2022, menurut data dari Refinitiv. Meksiko, India, dan Brasil juga memperlihatkan peningkatan kekayaan dalam jumlah yang signifikan pada tahun 2022, menurut laporan UBS. Sedangkan AS, Jepang, China, Kanada, dan Australia menjadi negara dengan kehilangan paling besar. (Radith)

 

 

 

Berita Lainnya

Index