China Perlu Buktikan Sejarah Sebagai Negara Maritim

China Perlu Buktikan Sejarah Sebagai Negara Maritim

Jakarta, (Pab-Indonesia)

Tak pelak lagi China merupakan bangsa yang memiliki kesadaran tinggi dalam memaknai dan karena itu pandai memanfaatkan sejarah untuk kepentingan nasionalnya. Klaim  atas perairan Kepulauan Natuna sebagai tempat penangkapan ikan tradisional sejak berabad lampau jelas menjadikan sejarah sebagai modal bagi tindakan di masa kini.

China menggunakan klaim sejarah untuk memasuki perairan ZEE Indonesia. Sebetulnya Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah mulai menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya sejarah ketika keduanya menyatakan visi-misi pemerintah yang dibentuk pada 2014.

Dengan visi-misi  Indonesia sebagai negara poros maritim dunia dan mengembalikan bangsa jaya di laut, bukankah sejarah hendak dimaknai dan dimanfaatkan sebagai modal membangun dan memajukan bangsa.

Mencermati pernyataan “mengembalikan bangsa jaya di laut”, itu artinya merujuk pada kegemilangan bangsa di masa lampau, yang   ingin diulang kembali. Pertanyaan yang muncul mana buktinya? Jawaban itu harus dicari dari lembar-lembar sejarah ketika bangsa bahari ini berjaya mengarungi dan mengendalikan jaringan maritim dunia.

Ingatan kolektif bangsa Indonesia akan dengan mudah menunjuk pada Sriwijaya dan Majapahit, namun tulisan ini berfokus pada Sriwijaya.

Dalam karya O.W. Wolters (1970), pada 1918, suatu kemajuan telah dicapai khususnya  dalam studi sejarah maritim Asia Tenggara ketika George Coedes, berhasil mengidentifikasi kerajaan maritim Melayu bernama Sriwijaya, berpusat di bagian selatan Sumatera. Salah satu raja Sriwijaya pernah menulis surat kepada Kaisar Sung pada 1071 dengan bangga menyebut dirinya sebagai ‘raja daerah-daerah lautan’.

Sriwijaya  dari abad ke-7 hingga ke-14, merentang sejarah perdagangan maritim Asia yang dalam berekspansi didukung  kelengkapan fasilitas pelabuhan yang efisien bagi pedagang untuk melakukan perjalanan panjang antara Timur Tengah dengan China.  Melalui sejumlah pelabuhan di Indonesia hasil bumi disalurkan ke pasar Asia dan Eropa.

Meskipun sumber dari dalam dan luar mengenai kerajaan ini masih jarang dan terpencar, tetapi dari asal usul abad ke-7  rangkaian perkembangan sejak paling akhir abad ke-4, menjamin suatu peran pelayaran penting orang Melayu dalam perdagangan maritim lintas Asia.

Di antara yang mencolok dari faktor penyumbang tidak langsung pada peran ini adalah dalam membuka akses yang merintangi Dinasti Selatan China (420—589) untuk memperoleh hasil berharga dari bagian barat Asia, yang secara tradisional dibawa ke China oleh pedagang asing sepanjang rute tengah Asia.

Dalam jaringan itu, orang Melayu bekerjasama dengan pelaut Indonesia lainnya yang memiliki ketrampilan navigasi tinggi sehingga mampu mendukung orang China untuk membuat rute perdagangan alternatif menuju China. Mereka memindahkan komoditas aromatik sebagai perdagangan paling awal Indonesia ke  China, dan membuka sistem komunikasi perniagaan melintasi Laut China Selatan yang selalu ramai.

Kemasyhuran Sriwijaya juga dicatat sumber Arab dalam abad ke-9 dan ke-10. Maharaja Zabag, penamaan orang Arab-Parsi untuk Sriwjaya, memiliki wewenang untuk menguasai selat-selat dan memerintah sampai Kala, suatu tempat di Semenanjung Malaya di utara Tanah Genting Kra.

Menggambarkan kedekatan hubungan, sumber Arab menyebut letak Kota  Zabag berhadapan dengan negeri China. Dan hanya dalam satu bulan pelayaran, bahkan kurang jika angin membantu, jarak antara keduanya dapat ditempuh.

Dalam catatan orang China, Shih-li-fo-shih kemudian menjadi San-fo-ch’i, suatu perkembangan penyebutan untuk Sriwijaya, pada 904/905 M mengirim banyak utusan ke China. Dalam konteks ini, kebesaran China tidak lalu berarti mengecilkan sama sekali peran Sriwijaya pada masa kejayaannya.

Suatu penafsiran yang agaknya dapat diterima justru terjadi interaksi atau hubungan yang saling mengisi antara dinasti China dengan kerajaan Sriwijaya dalam ruang pengaruh di perairan Laut China Selatan.

Kini terbuka peluang  luas bagi bangsa yang masih menyisakan ingatan kolektif akan Sriwijaya, untuk menggali beragam sumber sebagai bahan untuk merekonsruksi sejarahnya. Jika bangsa ini bertekad untuk “kembali jaya di laut”, maka tidak usah merasa malu untuk meniru China dalam memaknai dan memanfaatkan sejarah.

Ketika dulu Nabi Muhammad bersabda kejarlah ilmu walau ke negeri China, maka kini bahan kajian itu sudah berada di depan kita, di Perairan Natuna. Dan hanya bangsa yang pandai memetik pelajaran dari masa lampau, maka patutlah menjadi bangsa yang besar, seperti dulu pernah dikatakan Presiden Sukarno. (raditya)

Berita Lainnya

Index