China Pancing Perang Dunia Ketiga

China  Pancing Perang Dunia Ketiga

Jakarta, (Pab-Indonesia)

Konflik di Laut China Selatan sebenarnya diawali dari klaim sepihak China terhadap batas wilayah lautan mereka. Dengan menggunakan 9 garis putus-putus tradisional, yang sering digunakan untuk melaut para nelayannya, Tiongkok mengklaim hampir 90% dari wilayah Laut China Selatan menjadi wilayah mereka. Klaim ini kemudian membuat berbagai negara tetangga, termasuk Indonesia, tidak terima.

Indonesia tidak ingin berselisih paham dengan pihak mana pun, baik China maupun Amerika Serikat, di tengah perselisihan laut China Selatan. Sejauh ini, Presiden Joko Widodo berupaya melakukan pendekatan diplomatik yang sama luasnya dengan dua musuh bebuyutan itu, dan memposisikan diri berada di antara Washington dan Beijing, sesuai dengan letak geografisnya.

Walau ada ketidaksetujuan dengan klaim China atas Laut China Selatan serta intimidasinya, Indonesia tidak berusaha memperlihatkannya di hadapan dunia internasional. Namun begitu, Indonesia memiliki cara sendiri dalam menghadapi intimidasi Beijing. Saat ini, Indonesia bahkan mulai mengambil ancang-ancang perlawanan.

Jika mengikuti klaim Cina, beberapa negara harus kehilangan wilayah laut. Misalnya, Brunei harus rela kehilangan hampir keseluruhan laut karena diklaim China. Belum lagi Filipina yang sangat berdekatan dengan China, harus rela kehilangan wilayah tangkapan ikan jika mengikuti klaim tersebut.

Indonesia juga mulai “terseret” dalam sengketa Laut China Selatan sejak 2010, setelah China mengklaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di wilayah utara Kepulauan Natuna. Klaim sepihak Tiongkok terus berlanjut dan memuncak pada 2016 ketika kapal penangkap ikan asal China melakukan aktivitas penangkapan ikan ilegal di perairan Natuna.

Tindakan asertif China tersebut bersinggungan dengan kepentingan nasional Indonesia, sehingga pemerintah Indonesia berupaya untuk mengamankan kepentingan nasionalnya di Natuna meskipun Indonesia bukan merupakan negara yang bersengketa.

Padahal, jika dilihat dari hasil Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) PBB 1982, batas-batas wilayah di Laut China Selatan sudah jelas dan disepakati secara bersama-sama. Bahkan, jika aturan ini digunakan, dipastikan tidak ada tumpang-tindih batas wilayah lautan pada setiap negara.  

Karena adilnya aturan ini, banyak negara ASEAN berupaya mempertahankan wilayah lautnya berdasarkan hukum yang telah disepakati bersama ini. Enggan mengakui hasil kesepakatan tersebut, China sering kali melakukan konfrontasi kepada negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut China Selatan.

Bahkan, tidak segan China berupaya mengusir nelayan-nelayan yang sebenarnya masih berlayar dalam kedaulatan laut negara mereka. Gesekan inilah yang kemudian membuat beberapa negara mulai geram dan berupaya melemahkan pengaruh Tiongkok di Laut China Selatan.

Klaim China atas Laut Cina Selatan tersebut, memancing munculnya perang dunia ketiga. Sebab Amerika Serikat (AS) yang tengah perang dingin dengan China tak akan tinggal diam.  Apalagi, ‘Negara Paman Sam’ itu juga mempunyai kepentingan sendiri untuk mempertahankan Taiwan yang merupakan partner strategis dalam pembuatan chipset.  

Selain itu, AS juga telah lama perang dingin dengan China, baik dari segi ekonomi maupun memperebutkan pengaruh di luar negeri. Perebutan perbatasan di Laut China Selatan seperti menjadi peluang bagi AS untuk turut terlibat.

Menjaga keamanan dan perdamaian regional menjadi alasan kuat yang diberikan AS dalam memperkuat kehadiran di Laut China Selatan.  Apalagi, bagi negara-negara yang berbatasan langsung dengan China, tetapi tidak mempunyai militer yang kuat, bekerja sama dengan AS menjadi pilihan paling rasional untuk mempertahankan wilayahnya.

Hal ini yang terjadi pada Filipina, yang kemudian mengizinkan AS untuk membuka pangkalan militer di wilayah mereka. Kerja sama pertahanan ini diambil Filipina karena sudah merasa kesal dengan keinginan Tiongkok untuk mengambil wilayah lautnya.  Selain itu, lemahnya armada pertahanan Filipina juga menjadi alasan lainnya untuk membuka jalan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat.

Prakteknya, memang AS tidak datang secara tiba-tiba di Laut China Selatan atau wilayah Indo-Pasifik. Selama ini, sebenarnya AS telah memiliki beberapa markas militer di negara-negara sekutunya. Markas militer AS di Indo-Pasifik sebelumnya tersebar di Jepang, Korea Selatan, Singapura, Pulau Mariana Utara, Guam, Kepulauan Marshall, dan Australia.

Penambahan markas militer di Filipina seperti memperkuat simpul pertahanan AS yang mengepung China . Seditaknya sudah 1.100 pesawat tempur yang diterjunkan untuk memperkuat pengaruh Amerika Serikat di Indo-Pasifik.  

Kehadiran militer AS, pada akhirnya, membuat China geram dan melakukan kritik keras. Bahkan, China mengatakan kehadiran AS justru memperkeruh situasi perdamaian di Laut China Selatan. China  juga mengancam bahwa kehadiran militer AS dapat meningkatkan eskalasi konflik di Laut China Selatan.

Perhatian khusus bagi ASEAN Semakin tingginya eskalasi konflik yang terjadi di Laut China Selatan membuat ASEAN tidak tinggal diam. Apalagi, banyak negara ASEAN memiliki kepentingan untuk menjaga wilayah masing-masing di kawasan tersebut. Topik inilah yang kemudian diangkat pada pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-56, di Jakarta.  

Dari hasil pertemuan tersebut, ASEAN menolak keras terjadinya perang proxy di Laut China Selatan. ASEAN juga tetap ingin mempertahankan wilayahnya dengan menolak klaim sepihak Tiongkok yang menggunakan 9 garis putus-putus sebagai acuan batas wilayah.  

Menurut ASEAN, batas wilayah yang sah dan harus digunakan ialah hasil Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) PBB 1982. ASEAN juga menghadirkan solusi dengan menggunakan Code of Conduct (COC) yang akan mengatur perselisihan di Laut China Selatan dengan China. Solusi inilah yang kemudian terus didorong ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan di Laut China Selatan.  Sambil menunggu kesepakatan dalam COC ini, ASEAN memastikan akan terus bersifat netral dan mempromosikan perdamaian di kawasan Laut China Selatan. (raditya)
 

Berita Lainnya

Index