Oleh : BAYU SUBRONTO, SH
( Ketua Umum Solidaritas Mahasiswa Hukum Indonesia Periode 2016-2018)
Antusiasme Pesta Demokrasi 2019 (Pilres dan Pileg) telah bergulir lebih cepat dan telah tiba dari jadwal kehadirannya, hal itu bisa kita lihat dari nuansa dinamika politik akhir-akhir ini yang tengah di pertontonkan oleh para elit-elit dari partai-partai politik dengan melakukan berbagai manuver terhadap publik diberbagai media. Nuansa Politik dengan Perang Tagar pun menjadi icon baru dalam panggung politik Indonesia hari ini.
Terkhusus melalui jejaring media social perang tagar dari berbagai kubu seperti #2019GantiPresiden Vs #2019TetapJokowi dan dengan tagar-tagar lainnya memberikan jawaban kepada kita bahwa masyarakat dari kubu-kubu tersebut memiliki optimisme serta pengharapan yang cukup besar terhadap adanya suatu perubahan yang berkemajuan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menelisik sejenak tentang kepada konsep Demokrasi yaitu bahwa panggung penyelenggaraan pemerintahan secara politik diselenggarakan atas dasar Dari, Oleh dan Untuk Rakyat, selain itu juga terdapat sebuah pemahaman bahwa konsep Demokrasi telah dituangkan didalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat 2 bahwa “Kedaulatan Berada Ditangan Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selanjutnya Hak Politik dipertegas didalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat 1 yang dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Serta terdapat juga pada Pasal 43 ayat 1 bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Selanjutnya yang mendapatkan hak untuk dipilih dalam kontestasi politik Pemilu Serentak 2019 di jabarkan melalui Undang-Undang No . 7 Tahun 2017 Pasal 1 angka 27 yaitu “Peserta pemilu adalah partai politik untuk pemilu anggota DPR,anggota DPRD Provinsi, Anggota DPRD Kabupaten/Kota,perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk pemilu presiden dan wakil presiden”. Maka yang memilih untuk menentukan siapa elit partai politik yang akan duduk dikursi tersebut secara otomasi adalah masyarakat secara umum yang akan memberikan kepercayan terhadap wakil-wakilnya di pemerintahan.
Mengacu kepada teori Roscoe Pound disebutkan bahwa fungsi hukum adalah “Law as a tool of social engineering” bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui, merubah atau merekayasa masyarakat atau dengan kata lain teori tersebut menegaskan bahwa hukum hanya sebagai alat politik yang digunakan para elit politik partai untuk menentukan bagaimana kondisi dan situasi diciptakan untuk masyarakat nantinya. Maka melihat hal tersebut, teori itu juga memiliki konotasi terhadap paradigma berfikir terkait defenisi politik yang artinya adalah kepentingan. Lalu Pertanyaannya, Kepentingan yang di maksud adalah untuk siapa …?? Apakah untuk kepentingan masyarakat secara umum atau hanya kepentingan para elit politik partai tertentu..??. Maka untuk menjawab dari teori tersebut harus melihat situasi dan kondisi yang tejadi secara nyata dan yang saat ini berhadapan di depan mata masyarakat.
Melihat nuansa politik akhir-akhir ini, dimana para elit dari partai politik mencoba membangunkan kembali kesadaran tentang Demokrasi, Hak dan Kewajiban dalam kontestasi Pemilu Serentak Tahun 2019. Dimana sebelumnya apatisme dan pesimisme masyarakat terhadap pejabat-pejabat partai politik telah menimbulkan ketidak percayaan di karenakan beberapa persoalan seperti kasus korupsi, konflik elit politik internal partai yang mempertontonkan ketidak harmonisan dalam menjalankan mandat sebagai jembatan rakyat, persoalan - persoalan kesejahteraan yang tidak kunjung dirasakan oleh masyarakat serta persoalan-persoalan lainnya.
Nuansa Politik yang terjadi saat ini memberikan Optimisme bagi masing-masing kubu sehingga membuat masyarakat hari ini masuk kedalam perangkap para elit-elit partai politik. bahwa akibat hadirnya nuansa konsep ber-adu tagar #2019GantiPresiden Vs 2019TetapJokowi memicu suatu dinamika yang berdampak pada terbentuknya suatu perpecahan dikalangan masyarakat. Bila kita melihat di media massa (cetak dan elektronik) maupun media social yang tengah menjadi viral, yang terjadi di beberapa wilayah mengakibatkan timbulnya pemicu konflik horizontal antar masyarakat itu sendiri. konflik tersebut bisa dikatakan lebih mengedapankan ego terhadap seorang sosok atau mengendepankan politik identitas dari masing-masing kubu.
Namun akibat adanya antuasisme masyarakat terhadap ber-adu tagar melalui media social dapatlah dikatakan bahwa Pesta Demokrasi 2019 sepertinya akan memberikan angin segar terhadap Komisi Pemilihan Umum Bahwa adanya suatu jaminan dalam peningkatan jumlah pastisipasi pemilih dalam mensukseskan Pemilu Serentak 2019. Namun disisi lain, Nuansa politik yang terjadi juga bisa menjadikan ancaman terhadap Komisi Pemilihan Umum yaitu munculnya persepsi masyarakat menjadi muak dan bosan dikarenakan nuansa politik yang disajikan saat ini sama sekali tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagi penyelenggaraan pemerintahan serta tidak adanya nuansa yang memunculkan suatu gagasan atau konsep bagaimana mereka (para elit politik partai) membangun Negara Indonesia ini secara bersama-sama dan saling bergotong-royong.
Artinya masyarakat yang mampu berfikir dan tersadarkan melihat kondisi tersebut akan menilai bahwa para elit politik partai hanya lebih mementingkan politik indentitas untuk merebut kekuasaan semata yang dimana setelah kekuasaan itu telah diraih para elit partai politik juga tetap tidak memberikan kontribusi yang positif bagi perubahan Bangsa Indonesia. Maka apatisme dan pesimisme secara otomatis kembali melekat pada masyarakat dan berdampak pada akhirnya tidak adanya keinginan masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam memilih di Pemilu Serentak 2019.
Hal itu terjadi dikarenakan nuansa atau antusiasme yang di berikan kepada masyarakat terhadap kesadaran berpolitik yang dibangunkan oleh para elit-elit akhir-akhir ini seolah-olah akan memberikan sebuah pengharapan dan kepastian untuk kemajuan Negara Indonesia secara menyeluruh yang sebenarnya tidak menunjukkan tujuan itu sama sekali. Berangkat dari hal tersebut, seharusnya para elit partai politik harus jeli melihat lebih dalam tentang bagaimana memberikan pendidikan politik yang baik dan terarah dalam suatu konsep pembangunan Bangsa Indonsia sebagaimana cita-cita itu termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai bukti dan menajdi Releksi sejenak di usia 20 Tahun Reformasi telah dilahirkan, dilahirkan melalui pertumpahan darah dan reformasi juga melahirkan Amandemen Undang-undang Dasar 1945 hingga 4 kali demi membentuk suatu pemerintahan yang demokratis. Namun reformasi yang melahirkan suatu alam Demokrasi yang baru bagi Negara Indonesia, ternyata hanya menjadikan alas kaki bagi para elit-elit politik partai untuk saling berebut singgahsana kekuasaan semata. Alhasil salah satu contoh yang krusial adalah bahwa apa yang di cita-citakan dalam reformasi yaitu persoalan pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme ternyata konsidinya hari ini semangkin kronis/bertambah parah. Para elit politik yang korup tidak memiliki rasa malu dalam mempertontonkan dirinya di media masa ketika di tangkap oleh penegak hukum. Dan perlu kita ketahui bersama bahwa para koruptor itu berasal dari partai-partai politik. Lebih lanjut cita-cita demokrasi juga melahirkan kebebasan terhadap pers. Namun peran media massa seperti televise justru menampilkan keberpihakkan terhadap partai politik tertentu, menampilkan politik adu domba terhadap masyarakat.
Sehingga hal tersebut memicu sikap pesimisme dan apatisme dari masyarakat. Hal ini yang bisa memicu bahwa partisipasi pemilih pada penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019 akan lebih menurun sebab masyarakat tidak mau lagi masuk kedalam perangkap sebagai ajang konsumsi sesaat bagi para elit politik partai. Persoalan ini harus di waspadai dan elit partai politik harus bisa lebih mampu mengedepankan sikap persatuan, gotong royong dalam membangun Negara kesatuan Republik Indonesia demi terciptanya Keadilan, Demokrasi,Kerakyatan.
Oleh karenanya para elit partai politik harus segera merubah paradigm baru dalam memberikan pendidikan politik persatuan dan kesatuan membangun bangsa indonesia bukan sebaliknya para elit partai politik hanya sibuk menampilkan situasi oposisi dan koalisi yang memicu konflik kepercayaan terhadap public. Lebih lanjut lagi peran serta Komisi Pemilihan Umum bukan hanya sekedar melakukan penyelengaraan pemilu dan bukan hanya sekedar persoalan peningkatan jumlah partisipasi pemilih dan Bawaslu Juga bukan sekedar melakukan pengawasan dalam proses penyelenggaran pemilu melainkan kedua lembaga tersebut harus membuka ruang baru terhadap masyarakat dengan lebih mengedepankan untuk memberikan edukasi pemahaman politik dan memberikan optimisme semangat baru kepada masyarakat, bahwa Politik adalah alat menentukan masa depan bangsa Indonesia yang dimana keterlibatan masyarakat sangat di butuhkan demi tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang di cita-citakan dalam Pembukaan Undang-undang dasar 1945 maupun di dalam cita-cita reformasi.