MEDAN,(PAB)----
Aktivis dan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Fredi Marbun menyoroti "fenomena" yang dianggap ironis di tubuh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Sumatera Utara, terkait seruan penutupan ijin PT. Toba Pulp Lestari (TPL), Sabtu (11/10/2025).
Dalam hal ini ia menyampaikan, masih banyak jemaat HKBP di berbagai daerah masih berjuang agar bisa beribadah dengan damai dan mendirikan rumah ibadah secara resmi, justru disayangkan jajaran pertinggi HKBP, yakni Ephorus, tampak lebih fokus mengurus persoalan duniawi seperti permasalahan PT. TPL.
“Ini sangat memprihatinkan jemaat HKBP sedang menghadapi tantangan berat untuk memperoleh izin mendirikan gereja, tapi para pemimpinnya justru sibuk berbicara tentang PT TPL,” tegas Fredi dalam pernyataan secara esklusif.
Menurutnya tugas utama pemimpin rohani adalah memperjuangkan hak-hak umatnya untuk beribadah dan melayani Tuhan tanpa hambatan — bukan mencampuri urusan korporasi yang penuh dengan kepentingan ekonomi dan politik.
“Ephorus HKBP seharusnya menjadi suara kenabian bagi jemaatnya bukan menjadi bagian dari permainan bisnis atau politik. Umat saat ini sedang menunggu kepemimpinan yang berpihak pada penderitaan jemaat, bukan kepentingan duniawi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Fredi menyampaikan bahwa sudah saatnya para pimpinan HKBP, baik Ephorus maupun para pendeta, kembali fokus pada tanggung jawab gerejawi yang sesungguhnya — yakni melayani dan memperjuangkan kesejahteraan rohani dan sosial jemaat, bukan sibuk mengurus isu-isu eksternal yang tidak langsung berhubungan dengan pelayanan umat.
Terangnya, Fredi juga menyoroti sejumlah persoalan internal di tubuh HKBP yang dinilainya perlu segera dibenahi dengan kejujuran, transparansi dan integritas. Transparansi aset HKBP meminta Ephorus dan para pimpinan HKBP untuk bersikap terbuka soal aset-aset gereja yang hingga kini sulit diakses informasinya oleh jemaat.
“Banyak aset HKBP yang tidak diketahui secara pasti oleh jemaat dan beberapa nilai dan pendapatan dari aset-aset itu serta kemana peruntukannya karena jemaat berhak tahu karena mereka adalah bagian dari tubuh gereja itu sendiri,” ujarnya.
Bahkan katanya, setoran sentralisasi dan Pengelolaan dana gereja menjadi pertanyaan serius.
“Berapa jumlah hasil setoran sentralisasi HKBP setiap tahunnya dan digunakan kemana, Hal ini perlu dijelaskan secara terbuka kepada jemaat sebagai bentuk tanggung jawab moral dan organisasi." Kata Fredi.
Kondisi gereja khususnya di daerah masih banyak yang berdiri dengan kondisi tidak layak, bahkan masih berupa gubuk.
“Alih-alih sibuk tampil di forum politik dan ekonomi, seharusnya Ephorus dan pimpinan pusat fokus memperhatikan gereja-gereja yang tertinggal dan jemaat yang berjuang dengan keterbatasan harusnya menjadi perhatian serius" imbuhnya.
Hal ini bertentangan dalam perjuangan Hak Asasi jemaat HKBP yang lantang berbicara tentang HAM dalam konteks PT TPL, tetapi cenderung diam terhadap kasus-kasus pelanggaran kebebasan beribadah yang dialami oleh jemaat HKBP sendiri.
“Kalau benar memperjuangkan hak asasi manusia di tengah masyarakat Batak, mengapa tidak memperjuangkan HAM jemaat HKBP yang menjadi korban intoleransi dan radikalisme di berbagai daerah?” ujarnya dengan nada kritis.
Aktifis penggiat Toleransi Fredi Marbun ini berharap agar HKBP kembali pada roh pelayanan sejati, sebagaimana panggilan gereja untuk melayani, bukan dilayani.
“Kita berharap Ephorus HKBP dan seluruh pimpinan pusat meneladani Kristus dalam kesederhanaan, keberanian, dan kejujuran — bukan terseret pada urusan bisnis, kepentingan politik, atau relasi kuasa yang justru menjauhkan gereja dari misinya yang kudus,” pungkasnya.
(Red/Tim).