Indonesia Harus Tanggap Terhadap Konflik LCS

Indonesia Harus Tanggap Terhadap Konflik LCS

Jakarta, (Pab-Indonesia)---

Laporan bahwa China pernah meminta Indonesia menghentikan eksplorasi pengeboran minyak dan gas di Natuna, kawasan yang diklaim Beijing merupakan teritorinya di Laut China Selatan, perlu ditanggapi dengan serius.

Menanggapi laporan itu, anggota Komisi 1 DPR dari Partai Nasdem, Muhammad Farhan, sempat  mengatakan Indonesia tak akan menghentikan pengeboran dan menyarankan agar Indonesia memperbanyak eksplorasi pengeboran maupun perikanan di Natuna.

Farhan juga mengatakan pihaknya mengetahui adanya nota diplomatik dari China ketika ada laporan dari Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengenai "rasa terancamnya" para kru di lokasi pengeboran minyak dan gas di lepas pantai Natuna.

Pasalnya sejumlah kapal keamanan China termasuk kapal survei yang melakukan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia "sudah menyentuh landas kontingen Indonesia", menurut Farhan.

Dalam pendalaman itu terungkaplah China pernah mengirim surat protes. Ada dua surat protes diplomatik yaitu latihan bersama Garuda Shield dan protes keberadaan drilling (pengeboran) itu. Farhan mengaku tidak mengetahui persis tanggal dua surat itu dikirim karena nota diplomatik hanya boleh dibuka dan dilihat oleh pihak yang memiliki kewenangan diplomatik.

Indonesia juga perlu bersiap, namun tak perlu takut menghadapi manuver pertama China ini karena aktivitas yang dilakukan di wilayah lepas pantai di Natuna utara berada dalam wilayah hak berdaulat berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB. Artinya, Indonesia memiliki kewenangan penuh untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.

Farhan menilai surat protes itu sangat serius dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab untuk pertama kalinya, pemerintah China mempersoalkan klaim teritorial nine-dash line-nya kepada Indonesia. Langkah itu, menurut Farhan, karena China "sedang berusaha menaikkan masalah sengketa Laut China Selatan menjadi isu diplomasi dua negara."

"Jadi bisa kita lihat bahwa nota diplomatik itu sebagai sebuah ancaman bahwa China ingin meningkatkan isu ini menjadi sebuah isu yang serius," katanya.

Sengketa Laut China Selatan telah terjadi sejak tahun 1947. Dasar yang digunakan China untuk mengeklaim seluruh Kawasan Laut China Selatan adalah sembilan garis putus-putus yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan Brunei Darussalam.

Dalam sengketa Laut China Selatan, Indonesia dianggap menjadi penengah dan tidak pernah mengeklaim wilayah itu.

Di beberapa kali kesempatan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta setiap negara menghargai hukum internasional yang tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Sikap asertif China tersebut juga mendapat perhatian pakar hukum laut internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah. Ia  menilai nota diplomatik itu kian menunjukkan sikap asertif China atas klaim teritorial Laut China Selatan di Natuna.

Kendati demikian pemerintah Indonesia, katanya, tidak perlu bersiap reaktif apalagi bernegosiasi atau mengajukan persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional. Langkah reaktif, kata Arie, akan dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim China.

"Indonesia tidak perlu takut, karena Indonesia sudah berpegang pada koridor hukum internasional yang diakui banyak negara. Jadi Indonesia sudah berada dalam jalur yang betul berdasarkan UNLCOS," jelas Arie.

Suara senada juga diutarakan pengamat hubungan internasional, Aisha Kusumasomantri. Baginya jika pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan China justru hanya akan menaikkan eskalasi konflik.  Meskipun China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi, tapi menurut Aisha hal itu tidak akan membuat posisi Indonesia timpang.

Ia menilai secara diplomatik Indonesia dan China memiliki kemitraan strategis. "Dalam perdagangan, China bisa saja mengekspor bauksit dari Afrika, tapi selama ini China pilih Indonesia karena pertimbangan Indonesia memiliki kekuatan di ASEAN. Makanya China berusaha tetap mempertahankan hubungan ekonominya," katanya.

"Indonesia pun sadar mengakui China merupakan great power yang sedang raising dan Indonesia bisa mendapat keuntungan ekonomi di bidang perdagangan."

Namun ancaman serius di Laut Natuna Utara tak bisa diabaikan begiru saja. Menurut analisi Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Indonesia menghadapi dua persoalan. Pertama adalah kehadiran kapal penangkap iklan ilegal dan juga adanya kapal survei milik China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

IOJI mengungkapkan, kapal survei milik China di Laut Natuna Utara terdeteksi pada Agustus lalu. Kapal bernama Hai Yang Di Zhi Shi Hao tersebut diduga kuat melakukan aktivitas penelitian ilmiah di wilayah ZEE dengan dikawal kapal coast guard. Kapal itu beraktivitas  2021 lalu.

Berdasarkan lintasan kapal survei itu, kapal membentuk pola lintasan cetakan sawah dengan rapi di Laut Natuna Utara. Padahal aktivitas penelitian ilmiah di ZEE Indonesia hanya boleh dilakukan atas persetujuan pemerintah. Kara Itu mengapa kata Arie dan Aisha, mengatakan pemerintah Indonesia harus bersiap dengan kondisi tak terduga di Laut Natuna dengan mengerahkan kekuatan keamanan laut.

"Kita harus menjaga kepentingan di lapangan saat pengeboran. Menjaga kru kita di sana. Bahwa kapal patroli China dipersenjatai dan nelayannya juga, ini harus dilihat adanya upaya tertentu dari pemerintah Indonesia untuk bisa menghalau patroli laut China di lepas pantai. Perlu ada penegakan hukum yang kuat," katanya. (Raditya)
 

Berita Lainnya

Index