Jakarta, PAB---
Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah mempertanyakan, banyaknya bangunan yang diduga liar dikawasan Pelabuhan Perikanan Kaliadem, Jakarta Utara. Bukan hanya membuat kawasan itu terlihat kumuh, akan tetapi pelabuhan pendaratan ikan baru tersebut sepertinya tak bisa dimaksimalkan lantaran tertutup bangunan-bangunan semipermanen dan tidak adanya Fasus dan Fasum.
Akibat banyaknya bangunan liar, jalan menuju kawasan itu semakin sempit dan sulit untuk diakses. Agar kondisinya tak semakin parah maka instansi terkait kata Amir Hamzah perlu segera bertindak dan mengembalikan kawasan tersebut sebagaimana mestinya. Hal ini penting sebagai antisipasi agar pelabuhan pendaratan ikan Kaliadem bisa dipungsikan secara maksimal untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan dikemudian hari, seperti harus ada pembongkaran dan persoalan sosial lainnya.
Perlu diketahui, pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan Kaliadem, sebagai antisipasi padatnya pelabuhan Pendaratan Ikan di Muara Angke yang sekarang sudah over kapasitas. Namun karena akses jalan belum dibangun secara maksimal dan banyaknya bangunan semi permanen hingga sekarang boleh dibilang belum maksimal.
Menurut Amir Hamzah kawasan Kaliadem khususnya tempat pendaratan ikan menjadi tanggungjawab UP3 Muara Angke, sementara untuk pelabuhan menjadi tanggungjawab Dinas Perhubungan dan alur Kaliadem menjadi tanggungjawab Dinas Tata Air. “Semua instansi terkait harusnya secara bersama- sama melakukan tindakan pengawasan agar kawasan tersebut tertata rapi dan segera bisa difungsikan.
Kejahatan Lingkungan
Sementara Pakar Hukum, Dr. Anwar Husin, S.H,M.M, ketika diwawancarai Rabu pagi (24/10/2024) mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan membangun rumah atau tempat usaha di pinggir laut. Membangun atau menimbun laut tanpa melalui Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) bisa merusak lingkungan.
Kegiatan reklamasi yang tidak sesuai aturan dapat merusak lingkungan, seperti ekosistem mangrove dan terumbu karang. Oleh karena itu, sanksi bagi orang yang menimbun laut tanpa izin adalah pidana penjara dan denda:
Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun. Sementara katanya denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar. Lebih lanjut kata Anwar, menimbun laut tanpa izin termasuk pelanggaran kejahatan lingkungan yang diatur dalam UU No.31/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 27/2007 tentang Pengelolan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil.
Sedangkan bagi sanksi bagi orang yang menempati tanah pemerintah tanpa izin adalah; melanggar Pasal 167 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara 8 bulan. Pasal 389 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, Pasal 551 KUHP diancam dengan pidana denda. Selain itu, menempati tanah orang lain tanpa izin juga bisa dianggap sebagai tindak pidana pencurian atau perampasan tanah. (zul)