Ekonomi Dunia Terguncang Bagaimana Indonesia ?

Ekonomi Dunia Terguncang Bagaimana Indonesia ?

Siapapun pasti tak akan pernah memungkiri bahwa China menjadi pemasok barang-barang manufaktur terbesar di dunia. Sebut saja diantaranya adalah, produk tekstil, mesin dan peralatan listrik, hingga komponen dan produk elektronik, di antaranya ponsel, baterai, layar, pengeras suara, sampai pemasok utama Apple dan perakit iPhone.

Kita harus akui, kalau China ‘pemegang rekor dunia,’ yakni sebagai produsen dan eksportir manufaktur terbesar, pasar terbesar untuk barang konsumsi dan barang mewah, dan pengimpor minyak mentah terbesar.

Lantas apa dampaknya dengan kasus Corona yang kini menggerekan dunia, dan bagaimana dengan perekonomian Indonesia ? Menurut catatan penulis, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) China sebesar USD 13,6 triliun. Nilai ini bembuktikan betapa China menjadi negara dengan perekonomian raksasa kedua setelah Amerika Serikat (AS).

Tapi akibat virus corona, faktanya banyak perusahaan dan pabrik di negeri tirai bambu itu terpaksa tutup. Aktivitas ekspor dan impor dari dan ke China mulai terseok. Dampaknya, sebagian  produksi jadi terhenti. Imbasnya, rantai pasokan ke berbagai negara pun ikut macet. Kondisi tersebut membuat usaha sepi. Jadi tak disangkal bahwa ekonomi China mulai terguncang, kondisi ini pada akhirnya  merusak pertumbuhan ekonomi dunia.

Lantas bagaimana dengan Indonesia, yang selama ini juga tergantung pada produk-produk China? Jelas tak bisa dipungkiri, perekonomian Indonesia juga menjadi lesu. Coba kita lihat  data neraca perdagangan Indonesia ke China per Januari 2020, meski tidak siginifikan tapi ekspor merosot 12,07% menjadi USD 2,24 miliar. Penurunan tajam terjadi pada ekspor minyak dan gas (migas) dan non-migas.

Impor turun sebesar 2,71% menjadi USD 4 miliar. Penurunan paling besar pada komoditas buah-buahan, seperti apel dan anggur. Wajar saja kelau kemudian harga apel dan anggur di pasaran melonjak tinggi.

Menurut pengetahuan penulis, China merupakan pengimpor minyak mentah terbesar, salah satunya dari Indonesia. Maka jika impor migas China ke Indonesia melorot, tentu saja berdampak negatif terhadap penerimaan negara. Belum lagi harga minyak mentah merosot dalam. Hal ini akan menekan transaksi perdagangan luar negeri dan akun lancar (current account) Indonesia.

Di sektor lain, maka pariwisata yang paling resah dengan adanya virus corona. Sebagian besar negara di belahan dunia, sudah melarang warganya berpergian ke luar negaranya, demikian halnya Indonesia yang juga menyetop penerbangan ke dan dari luar negeri yang negaranya terbanyak terinfeksi virus corona.

Data yang penulis ketahui,  kunjungan turis China ke Indonesia merupakan yang terbanyak ketiga setelah wisman asal Malaysia dan Singapura. Jumlahnya mencapai 154,2 juta kunjungan di bulan Desember 2019.

Bahkan data di World Tourism Organization (UNWTO) menyebutkan, warga China membelanjakan tak kurang dari USD 277 miliar dari 150 juta perjalanan ke luar negeri. Itu artinya, terbesar di dunia.

Sejak merebaknya viris corona, turis China yang datang ke Indonesia, termasuk ke Bali dan Manado berkurang drastis dan kini tinggal kurang dari 500 orang. Menyimkan kondisi yang terjadi di lapangan, maka jika industri pariwisata sepi, sedikit turis yang datang, pasti pendapatan negara maupun cadangan devisa dari sektor pariwisata dapat berkurang.

Padahal, kita tahu bahwa cadangan devisa sangat penting, salah satunya alat stabilisasi mata uang suatu negara. Misalnya jika kurs rupiah sedang terpuruk, maka Bank Indonesia (BI) akan melakukan intervensi dengan cadev untuk menstabilkan nilai tukar mata uang Garuda. 

Sejak merebaknya virus corona. Penulis kok pesimistis jika pemerintah mampu memenuhi target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3% yang ditetapkan tahun ini. Bisa tumbuh 5% saja seperti di 2019 sudah bagus.

Tapi itulah Indonesia. Kata-kata "Untung" masih saja berlaku. Meski Indonesia mengalami tekanan ekonomi, tapi untungnya tidaklah separah Thailand, Malaysia, Vietnam dan Singapura.

Tapi setiap ada minus pasti ada plusnya. Iitulah nilai baik yang selalu ditanamkan kepada rakyat Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah dan cobaan. misalnya,
bagaimana wabah virus corona memberi dampak positif bagi ekonomi Indoonesia. Salah satunya adalah terbukanya peluang pasar ekspor baru selain China.

Rakyat Indonesia selalu diajarkan mencari jalan keleuar terbaik dalam menghadapi segala bentuk tatantangan. Kalau boleh meminjam mottonya Pegadaian, "Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah" maka hal positif lain yang juga bisa dipetik dari fenomena corona tersebut adalah peluang memperkuat ekonomi dalam negeri. 

Di saat-saat seperti ini, pemerintah dipaksa memprioritaskan untuk senantiasa fokus memperkuat daya beli di dalam negeri ketimbang menarik keuntungan dari luar negeri. Momentum ini juga bisa dimanfaatkan sebagai koreksi agar ke depan investasi bisa stabil meski perekonomian global tengah terguncang . Salah satunya lewat reformasi struktural yang kini tengah digodok pemerintah lewat Omnibus Law.

Penyebaran wabah ini, juga bisa kita jadikan peluang  untuk memperkuat sektor manufaktur. Dengan demikian memaksa kita memperkuat manufaktur. Ini tentu jadi tatangan dan memaksa kita berinovasi serta mencari peluang-peluang di tempat lain. Cara ini akan membuat kita survive. (karno raditya)

Berita Lainnya

Index