Politik Adu Domba, Fakta atau Mitos ?

Politik Adu Domba, Fakta atau Mitos ?

Ada pertanyaan di kalangan kaum melenial yang masih "gamang" sekarang ini. Pertanyaan itu adalah, apakah di era modern seperti sekarang ini, munculnya politik adu domba, yang di masa menjajahan Belanda dulu dikenal dengan nama "Politik devide et impera" fakta atau mitos?

Untuk menjawabnya, sebaiknya kita jangan melupakan sejarah. Sebab, faktanya politik adu domba masih digunakan olehkelompok tertentu. 

Kembali ke sejarah, jauh sebelum Indonesia merdeka. Negara Indonesia adalah negera heterogen dengan bermacam adat budaya, agama, suku dan ras. Inilah yang memudahkan Belanda melakukan politik adu domba atau devide et impera.

Dalam memecah belah, Belanda menggunakan aksi isu atau provokasi, propaganda, desas-desus, bahkan fitnah untuk menggoyangkan suatu negara agar bisa menguasainya. Sekarang ini, ancaman itu kembali terjadi. 

Pihak luar memanfaatkan situasi yang berkembang di Indonesia dengan menyebar isu bohong melalui media sosial.

Karenanya, penulis mengajak semua elemen bangsa untuk selalu waspada. Mari kita tingkatkan persatuan, tak perlu ada perpecahan.

Saat ini ada berbagai kekuatan mulai ekonomi, politik, geopolitik dan segala macam ingin memecah Indonesia. Kekuatan tersebut, tak ingin melihat Indonesia yang damai. Sebab, kedamaian akan menjadikan Indonesia makmur.

Coba kita simak, utamanya para warganet (netizen) yang sampai detik ini masih terpolarisasi ke dalam dua kelompok
dan selalu saja melakukan perdebatan atas isu-isu SARA, mereka sangat kontraproduktif dengan narasi besar bangsa ini untuk merawat kebhinnekaan. 

Sangat menyedihkan ! Publik sepertinya sudah terjebak dalam politik adu domba yang dilakukan oleh oknum tertentu.

Ingatlah, sepanjang sejarah berdirinya negara ini, banyak konflik dan kejadian yang sudah diatur oleh tangan- tangan tak terlihat dari luar – sebutan untuk negara-negara yang diduga terlibat dalam berbagai kejadian yang terjadi di Indonesia.

Tampaknya, intervensi-intervensi asing ini juga masih terjadi hingga saat ini. Ada ancaman terhadap bangsa Indonesia yang datang dari luar yang ingin memanfaatkan momen-momen demonstrasi semacam itu untuk menggoyahkan situasi politik negara ini.

Kenapa Indonesia yang dipilih? Sebab Indonesia adalah negara dengan angka optimisme publik nomor 2 di dunia setelah Tiongkok. 

Dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik serta pemerataan kesejahteraan yang terus digalakkan, maka Indonesia akan melangkah menjadi negara maju. Ternyata hal ini tidak diinginkan oleh banyak negara.

Boleh jadi pihak asing beranggapan, jika Indonesia menjadi negara yang semakin maju, hal tersebut dianggap sebagai ancaman bagi negara-negara lain, khusunya negara-negara di sekitar. 

Perubahan konstelasi politik global mau tidak mau mempengaruhi Indonesia. Namun demikian, jangan sampai hal
tersebut memecah belah negara ini. 

Ketahuilah, kalau saja  negara ini terpecah belah dan masyarakatnya berjuang sendiri-sendiri, maka nasib kita akan seperti pada jaman perang-perang kedaerahan yang terjadi selama kurang lebih 300 tahun, namun tidak mampu mengusir penjajah dari negara ini.

Mari kita mengingat sejenak,  betapa saat bangsa ini disatukan oleh Sumpah Pemuda, Indonesia kemudian bisa mengusir penjajah. 

Jangan lengah, saat ini negara kita juga sedang menghadapi ancaman yang sama. Ada pihak-pihak asing yang ingin memecah belah negara dengan memanfaatkan momen-momen demonstrasi dan kerusuhan.

Kita harusnya belajar dari sejarah saat konflik terjadi di negara ini sebagai akibat intervensi pihak-pihak asing. Oleh karena itu, intervensi asing harus ditanggapi dengan lebih serius. 

Perubahan konstelasi politik global harus dimaknai secara bijak. Jangan sampai kita mudah dipecah belah oleh bangsa lain.

Terkait tentang ancaman pihak luar, mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga pernah mengingatkan kita semua, saatnya seluruh masyarakat Indonesia agar waspada terhadap perang proxy (proxy war). Perang ini, merupakan adu kekuatan di antara dua pihak yang bermusuhan, dengan menggunakan pihak ketiga.

Pihak ketiga itu, sering disebut boneka. Pihak ketiga tidak dikenal oleh siapapun, kecuali pihak yang mengendalikannya dari jarak tertentu. Pihak-pihak itu bisa tampil seperti mahasiswa, ormas, lembaga masyarakat, dan perorangan.

Untuk keluar dari peperangan ini dan menjelma menjadi bangsa pemenang, modal dasarnya jadikan Indonesia sesuai
jati dirinya. Kita harus kembali wujudkan sebagai negara agraris dan maritim, menjunjung tinggi kearifan lokal serta melakukan revolusi mental dengan mengamalkan Pancasila pada praktek kehidupan sehari-hari.

Meminjam istilah Jenderal Gatot Nurmantyo  tentang "proxy war", latar belakangnya tak lain adalah soal energi. Proxy war di Indonesia semakin nyata dengan adanya pergeseran konflik dunia. 

Saat ini, sisa cadangan energi dunia sisa 45 tahun dan itu akan habis jika kita semua tak berusaha menemukan penggantinya, karena konsumsi energi 2025 meningkat 45 persen.

Perang itu sudah dimulai dan sudah berada di Indonesia saat ini. Bahkan sudah masuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta masuk ke kehidupan keluarga. 

Misalnya penyalahgunaan narkoba, tawuran mahasiswa, demo buruh dengan intimidasi, adu domba TNI-Polri, pecah belah partai politik dan rekayasa sosial melalui media.

Penulis pun melihat, banyak pihak asing yang tidak menginginkan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berlangsung harmonis. Sehingga perselisihan atau konflik di Tanah Air masih tetap ada. Ini bukan mitos, tapi fakta ada upaya untuk terus membenturkan SARA.

Tak bisa terbantahkan, kalau benturan atau pun konflik yang terjadi tersebut tidak lepas dari campur tangan asing yang bermain dalam rangka mengganggu kerukunan hidup beragama di Indonesia. 

Fakta atau Mitos ? Fakta ! Mereka bermain justru dengan menggunakan rakyat sendiri melalui politik devide at impera. Penulis mengajak seluruh anak bangsa untuk menyadari bahwa mereka telah dipermainkan dan dihasut pihak asing. 

Kadang tanpa disadari, masalah kecil yang seharusnya bisa diatasi justru dibesar-besarkan menjadi konflik yang lebih luas. 

Karena itu seluruh rakyat Indonesia harus mewaspadai setiap gerakan-gerakan yang membenturkan masalah agama. Kita jangan mudah tersulut dan terprovokasi.

Ketahuilah, untuk memecah belah atau membuat NKRI bubar, tidak perlu buru-buru menggunakan kekuatan bersenjata karena sama saja dengan bunuh diri. 

Mereka justru cenderung memperbanyak aktivitas, yang akan menyulut konflik di masyarakat. Misalnya, penyebaran
hoax atau berita bohong terkait SARA khususnya agama. 

Kemudian memperbanyak informasi yang mengadu domba antara masyarakat yang memiliki perbedaan. Khususnya terkait paham dan keyakinan beragama, hingga menghasut agar kelompok-kelompok yang ada di masyarakat saling membenci satu sama lainnya.

Untuk menangkis semua itu, yang kita perlukan sekarang ini adalah meningkatkan kecintaan kita terhadap NKRI. Caranya ? Antara lain berusaha menebarkan informasi yang positif dan mengajak untuk saling bertoleransi dan berkasih sayang walaupun saling berbeda satu sama lainnya.

Kemudian membantu mengkounter dan mengklarifikasi berita-berita bohong, adu domba dan penyebaran kebencian. Lalu berusaha menjelaskan duduk persoalan sebenarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman, yang berlarut dan berakibat buruk pada masyarakat. (karno raditya)

Berita Lainnya

Index