Soal Kekuatan Alutsista: Membeli atau Membuat?

Soal Kekuatan Alutsista: Membeli atau Membuat?

Memiliki pertahanan yang tangguh adalah sebuah kebutuhan mendasar bagi setiap bangsa. Kemampuan pertahanan tidak saja penting dalam menjaga keselamatan bangsa, tetapi juga simbol kekuatan serta sarana untuk menggapai cita-cita, tujuan, ataupun kepentingan nasional.

Lantas untuk menggapai cita-cita tersebut, muncul pertanyaan, kita membeli atau membuat? Jujur saja, sepengetahuan penulis, industri pertahanan dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia kalah jauh dibanding negara lain.

Banyak pihak yang juga mengakui hal itu, sehingga penulis dan mungkin pembaca yang mencintai negeri ini sepakat agar industri pertahanan perlu dikembangkan sebagai daya tangkal terhadap ancaman keamanan dan kedaulatan negara.

Sebab, bukankah selain sebagai deterrence atau daya tangkal, pengembangan industri pertahanan juga menaikkan nilai tawar negara.

Daya tangkal yang penulis maksudkan adalah, daya tangkal yang bisa dirasakan musuh kita dalam konteks militer. Untuk weujudkan itu, tentu akan bisa dicapai jika kita memiliki militer yang kuat berdasarkan profesionalisme prajurit, alutsista yang dimiliki serta taktik dan strategi yang digunakan.

Jika ditanya membeli atau membuat, untuk mewujudkan militer yang kuat, jawabnya tentu membeli paling mudah sekaligus jalan pintas untuk mendapat alutsista yang mutahir.

Hanya saja, kelemahannya bisa kena embargo dan senjata yang dibeli sudah tertinggal secara teknologi. Apalagi kalau kita lihat, negara produsen senjata yang tergabung dalam NATO hanya akan menjual senjata yang berusia lebih dari 10 tahun pada negara non-NATO.

Artinya, jika pengadaannya butuh waktu lima tahun, maka alutsista yang kita dapatkan secara teknologi sudah tertinggal 15 tahun.

Lalu bagaimana kalau membuat sendiri ? Rasanya pilihan inilah yang sudah seharusnya dilakukan oleh Indonesia agar punya nilai tawar di mata negara lain.

Ingat ! Daya tangkal sesungguhnya bukan dilihat dari seberapa banyak kita membeli, tapi lebih diukur dari seberapa hebat kita memiliki kemampuan mengembangkan alutsista.

Coba kita lihat lima negara produsen senjata terbesar di dunia yakni Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Prancis dan Jerman, bukankah mereka kini memiliki posisi tawar tertinggi dalam politik global.

Selain kelima negara itu, ada beberapa negara lain yang mulai mengembangkan industri pertahanannya, termasuk India, yang kini memproduksi sendiri kapal induknya.

Korea Utara juga sempat membuat gerah, karena sudah membuat hulu ledak nuklir dan rudal balistik. Australia pun kini memiliki kapal induk untuk helikopter berkemampuan amphibi, perusak antiudara dengan teknologi setara milik Amerika Serikat.

Tetangga sebelah kita seperti Singapura, juga berhasil membuat kendaraan angkut infanteri Bronco dan dikirim ke Inggris dan Thailand. Negeri singa itu juga menjual kapal angkut darat ke Thailand hingga helikopter ringan ke Afrika.

Harus kita bakui bahwa negara-negara itu memiliki industri pertahanan yang mumpuni, menjadikan mereka disegani. Kemampuan membangun peralatan militer secara mandiri akan meningkatkan nilai tawar negara.

Sebagai negara besar, Indonesia tentu tak boleh kalah dengan mereka. Kita harus paham bahwa, efektivitas pertahanan negara turut ditentukan juga oleh kemampuan industri pertahanan dalam memenuhi kebutuhan pengadaan dan pemeliharaan alat utama sistem senjata (alutsista) secara mandiri.

Oleh sebab itu, industri pertahanan perlu dibangun melalui revitalisasi industri pertahanan. Semoga ini mendapat dukungan seluruh rakyat Indonesia.

Seingat penulis, waktu mantan Presiden SBY memberikan arahan revitalisasi industri pertahanan di Kementerian Pertahanan tahun 2004, sejak saat itu pula mesin dari semua pemangku kepentingan segera bekerja. Semangat ini harusnya terus digelorakan, supaya kita bisa mandiri.

Kementerian Pertahanan sebagai pembuat regulasi dan kebijaksanaan pembinaan industri pertahanan, TNI sebagai pengguna, dan industri pertahanan sebagai produsen dalam negeri seyogyanya sudah menyatu dalam target merevitalisasi industri pertahanan untuk membangkitkan kekuatan industri pertahanan dalam negeri.

Rasanya, beberapa waktu lalu, berbagai langkah, strategi, dan regulasi segera diambil. Pemerintah yang diperankan oleh Bappenas, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pertahanan bersama TNI dan Polri serta instansi pemerintah lain sebagai pengguna, akan menjadi indah jika segera menerjemahkannya.

Jika peperintah sudah membentuk suatu badan kebijakan nasional industri pertahanan yang disebut Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) beberapa waktu lalu, maka tugas yang diemban oleh KKIP adalah mengembangkan kemampuan industri pertahanan dalam negeri, baik alutsista maupun non-alutsista.

Apalagi pemerintah dan DPR pada 2012 menetapkan Undang-Undang Nomor 16 tentang Industri Pertahanan Negara sebagai legalisasi dan legitimasi menghidupkan dan mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Jadi cukup beralasan jika kita sebaiknya membuat ketimbang membeli terkait dengan kekuatan alutsista.

Kita semua harus sadar, betapa industri pertahanan Suatu negara yang kuat, akan sangat dipengaruhi oleh kekuatan industri teknologi pertahanan yang mandiri. Filosofi ini penting untuk mendukung misi negara menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah.

Kalaulah kita terpaksa harus membeli alutsista dari luar, tentu harus ada persyaratan transfer teknologi dan ofset dari negara pemasok kepada industri pertahanan dalam negeri.

Pihak penjual pun tidak boleh mendikte secara politik terhadap negara dalam membeli peralatan militer. Sebagai pembina industri pertahanan, Kemhan berkepentingan memberikan peluang kepada industri pertahanan dalam negeri untuk memasok kebutuhan.

Sejujurnya, kemampuan industri dalam negeri kita sekarang ini sudah pada tingkat teknologi menengah. Artinya, industri pertahanan kita sudah dapat membuat dan sudah digunakan oleh TNI. Sebagai contoh, alutsista darat buatan PT Pindad mulai dari pistol dan senjata serbu sampai mortir serta kendaraan tempur roda ban (panser Anoa) sudah mendukung kebutuhan TNI AD.

Bahkan, produk PT Pindad itu sekarang sudah berstandardisasi PBB, demikian juga kendaraan taktis pengintainya. Saat ini sedang berlangsung pembaruan kendaraan tempur roda rantai (tank AMX-13) yang merupakan awal membangun tank ringan.

Semoga saja, kita bisa membuat sendiri tank ringan sampai berat. Saat membeli tank berat (MBT Leopard) dari Jerman, dalam paket kontrak ada klausul transfer teknologi. Pihak Jerman menyetujui dalam pemeliharaan pascajual, artinya kita akan mendapat kesempatan melakukan didampingi pihak produsen.

Untuk alutsista udara, PT Dirgantara Indonesia kini sedang mengembangkan kerja sama produksi dengan Airbus Military untuk membangun pesawat angkut sedang CN 295.

Kita sangat berkepentingan untuk meningkatkan kemampuan memproduksi pesawat angkut ringan, seperti C-212, CN 235, dan CN 295, yang bermuatan 50 penerjun. Hal yang sama kita lakukan dalam pembuatan helikopter serbu Bell-412 dan heli Cougar 725.

PT Dirgantara Indonesia diharapkan bisa memenuhi sebagian kebutuhan dari TNI dan cocok untuk operasi kemanusiaan. Di sisi alutsista laut, kita bahkan memiliki beberapa industri pertahanan dalam negeri yang bisa diandalkan. PT PAL diandalkan untuk pembuatan kapal perang skala besar, seperti class korvet dan kapal selam. PT PAL juga didorong untuk membuat kapal perang untuk tanker.

Kita juga memiliki badan usaha milik negara yang lain, yaitu PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari. BUMN ini kita beri porsi untuk membangun Landing Ship Tank atau kapal pengangkut tank ringan dan sedang. Industri pertahanan swasta juga sudah memberikan kontribusi besar untuk kapal patroli cepat ukuran 60 meter ke bawah, seperti Palindo, Lundin dan Anugrah.

Jika didukung dengan kemampuan alutsista dengan teknologi canggih yang dibuat di Indonesia, tentu rating kekuatan militer Indonesia bakal meningkat dibanding kondisi sekarang ini.

Menurut catatan penulis, hingga 2019 ini militer Indonesia hanya menempati urutan ke-16 dari 137 negara di dunia. Jumlah anggota militer kita  sebesar 800 ribu orang yang terdiri dari 400 ribu personel aktif dan 400 ribu personel cadangan terdiri dari Angkatan Darat, Laut dan Udara.

Jika dirinci secara keseluruhan, lebih kurang Angkatan Darat kita punya 315 tangker perang dan kendaraan berawak 1,3 ribu, artileri otomatis 141 dan 356 artileri manual, serta 36 proyektor misil. Angkatan udara Indonesia memiliki 62 transportasi udara dengan 104 personel pelatihan, dan memiliki 192 helikopter, 8 diantaranya helikopter perang. Angkatan laut kita memiliki 8 frigate, 24 corvet, 5 kapal selam, 139 kapal patroli, dan 11 pangkalan perang.

Untuk altsista di TNI-AL, meski industri lokal kita telah mampu memproduksi kapal cepat rudal, kapal patroli lepas pantai, fregat ringan, dan kapal amfibi landing platform dock, kita masih perlu mengimpor fregat, korvet, dan kapal selam dari Belanda, Inggris, dan Jerman.

Demikian halnya di TNI-AU, kita masih mengimpor semua pesawat tempurnya, termasuk jet tempur F-16 dan F-5 dari Amerika Serikat dan Sukhoi dari Rusia. Pesawat patroli maritim dan transportasi Indonesia masih berasal dari AS dan Spanyol. Indonesia juga masih mengimpor pesawat latih dari Inggris, Italia, dan Korea Selatan.

Harapan kita untuk memproduksi alutsista sendiri, harus disemangati dengan dukungan semua pihak. Tidak saja doa dan teknologi tapi juga soal anggaran. Tanpa anggaran, semua itu hanya akan jadi omong kosong.

Syukulah Presiden Jokowi, juga punya cita-cita yang sama untuk membangun kekuatan militer kita dengan meni ngkatkan anggaran belanja menjadi Rp. 131 triliun pada tahun 2020, sebelumnya hanya 121 triliun di tahun 2019.

Semoga saja, pada tahun  2029, Indonesia bisa memproduksi peralatan militernya sendiri dan tidak bergantung pada negara lain.***(karno Raditya)

Berita Lainnya

Index