Prahara Partai Golkar (oleh:Karno raditya)

Prahara Partai Golkar (oleh:Karno raditya)

Prahara Partai Golkar (Oleh ; Karno Raditya)

Partai Golkar adalah saksi sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia menuju era demokrasi. Sepanjang perjalanannya Golkar merupakan satu-satunya Partai Politik yang memegang kekuasaan penuh dalam setiap kebijakan pemerintahan orde baru terutama periode pemilu awal tahun 1971 dan tahun 1977.

Campur tangan militer dan birokrasi inilah yang menjadikan Golkar dianggap sebagai parpol yang tidak mandiri dan berimplikasi pada nilai-nilai dalam Golkar yang lebih mencerminkan kepentingan rezim yang berkuasa.

Dalam perkembangannya, setelah pemilu kedua 1977 Golkar akhirnya tidak lagi mengandalkan cara-cara represif untuk mempertahankan keunggulannya.

Di tengah hingar bingar uforia kemenangan dan isu penerus Soeharto, perekonomian Indonesia akhirnya dihadapkan pada krisis moneter yang melanda beberapa negara Asia. Kurang dari 1 tahun setelah sebelumnya dipuji oleh lembaga-lembaga internasional seperti World Bank pada 1997 ekonomi Indonesia berubah menjadi bencana yang akhirnya memaksa pemerintah harus menggantungkan dirinya masuk dalam komunitas bantuan internasional.

Klimaksnya terjadi pada 15 Januari 1998 Presiden Soeharto & Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus menandatangani program bantuan keuangan yang menandakan bahwa posisi Indonesia berada pada masa krisis ekonomi. Hingga pada 21 Mei 1998 Soeharto pun tumbang setelah sebelumnya gelombang massa aksi menuntut adanya Reformasi berhasil menduduki gedung DPR-MPR.

Sebenarnya Partai politik memiliki arti yang sangat penting di era demokrasi. Aksioma pun berkembang tidak ada system politik yang berjalan tanpa Partai Politik kecuali system politik yang otoriter atau system kekuasaan tradisional. Pasca berhentinya Soeharto menjadikan Golkar organisasi politik terbesar pendukung rezim orde baru seakan kehilangan haluan politiknya, namun di luar dugaan kekuatan politik ini mampu survive ketika terjadi transisi menuju demokrasi yang sebelumnya menurut para pelaku-pelaku reformasi Golkar takkan bertahan lama di era reformsi.

Di tengah tekanan politik yang keras tersebut, Golkar dalam kondisi yang tidak menguntungkan tersebut meraih suara 23.741.749 dan memperoleh 120 kursi di DPR pada Pemilu 1999. Keberhasilan Partai Golkar yang cukup signifikan tersebut,justru menimbulkan resistensi berbagai masyarakat yang menghawatirkan kembalinya kekuasaan status quo. Sungguhpun pada pemilu kedua era reformasi 2004, Partai Golkar meraih dukungan suara terbesar dari para pemilih yaitu 24.461.104 atau 128 kursi. Partai Golkar pun satu-satunya Partai Politik yang mendapatkan tambahan suara terbesar yaitu 719.355 suara.

Mari kita tengok perjalanan Partai Golkar hingga masa redupnya:

PEMILU 1997
Pada pemilu tahun 1997, ketika Orde Baru sedang jaya-jayanya Golkar meraih 74,51% suara dengan meraih 325 kursi dari 425 yang ada.

PEMILU 1999
Inilah awal ujian sebenarnya dari Partai Golkar, era dimana proses reformasi menjadi tak terelakan dan Partai Golkar  harus beradu secara adil dengan Partai lain sembari mengalami cercaan dan tekanan dimana-mana karena dianggap sebagai simbol dari Orde Baru, Anti Demokrasi dan Simbol KKN, Suara Partai Golkar rontok total hingga 22,4%, turun hingga 50% lebih. Namun tetap Partai Golkar menjadi nomor dua dengan 120 kursi, tetap lebih banyak dibanding 45 partai-partai baru lainnya meski kalah jauh dibanding PDIP yang saat itu menjadi simbol perlawanan hingga mampu meraih 33,74% suara dengan 153 kursi.

PEMILU 2004
Ditengah-tengah hantaman besar yang melanda Partai Golkar, dari Ketua Umum Akbar Tanjung yang menjadi tersangka, gerakan demonstrasi “Aliansi Bubarkan Golkar” hingga dekrit presiden untuk membubarkan Partai Golkar mampu dilewati secara sempurna bahkan mampu meraih posisi nomor satu dengan meraih 21,58% suara untuk 128 kursi, beda tipis dengan PDIP yang turun menjadi nomor dua di 18,53% suara untuk 109 kursi.

Akbar Tanjung (tentu tidak sama dengan Setya Novanto, profile politiknya berbeda begitupula record perjalanan politik berbeda jauh). Kapital politik dirinya mampu tampil sebagai pemimpin melewati badai tersebut dengan melakukan konvensi calon presiden Partai Golkar.

Manuver ini mampu melambungkan rating posisi Partai Golkar  yang sebelumnya anjlok karena status tersangka kasus Bulog Gate yang melanda ketumnya. Konvensi itu adalah jawaban Golkar atas tuduhan Anti Demokrasi. Calon Presiden dikontestasikan adalah hal luar biasa saat itu ditengah bau otoritarianisme Golkar jaman Orba.

Kemenangan awal dari proses reformasi di internal Partai Golkar meraih kembali kepercayaan publik di era reformasi untuk berkomitmen mengawal proses reformasi dan menjadi garda terdepan melawan KKN. Masyarakat melihat Partai Golkar mampu membawa perbaikan demokrasi dalam partainya.

PEMILU 2009
Konvensi Capres sebagai simbol hawa segar demokrasi di Parta Golkar kembali suram ketika Jusuf Kalla mencalokan diri menjadi presiden Partai Golkar. Hasilnya bisa dilihat, publik kembali menghukum Partai Golkar dengan hanya meraih 14,45% suara untuk 107 kursi. Kekalahan yang ironis dimana ketua umum Partai Golkar saat itu merupakan seorang wakil presiden, pengusaha yang hebat dengan logistik yang kuat dan harus mengalami kekalahan beruntun, kalah di pileg dan di pilpres.

PEMILU 2014
Pemilu ini merupakan awal kepiluan dari Partai Golkar dalam era millenial. Dipimpin oleh ketua umum Aburizal Bakrie, Partai Golkar tetap tidak mampu membawa cvitra Golkar lebih baik.. Meskipun dalam persentase suara naik sedikit menjadi 14,75% suara namun dalam sisi perebutan kursi tambah anjlok menjadi 91 kursi.

Saat itu Partai Golkar dipimpin oleh sosok yang luar biasa kuat yaitu Aburizal Bakrie. Pengusaha besar,, kuat jaringan politik, kuat manuver dan bargain di mata rezim akan tetapi terbukti ternyata narasi kekuasaan dan kekuatan uang tidak mampu mengangkat apalagi me-‘rebound’ kejayaan Partai Golkar.

Seyogyanya,  perpecahan di tubuh partai Golkar telah sampai pada ancaman munculnya Golkar Perjuangan. Bibit perpecahan partai sudah ada sejak reformasi.  Prahara dalam rumah tangga Partai Golkar berpotensi mengikis dukungan suara untuk Joko Widodo kala berlaga dalam Pilpres 2019.

Menurut catatan penulis, Partai Golkar baru mulai goyah ketika lahir reformasi yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru Soeharto. Pasca reformasi lahir multi partai dan PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri mengimbangi kekuatan Golkar, menyusul Partai Amanat Nasional (PAN) yang dinakhodai Amien Rais, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dibidani Gus Dur serta partai- partai lain. Kekuatan Golkar pun menurun. Rakyat, terutama mahasiswa dan generasi muda, mulai meninggalkan Golkar.

Akar beringin yang kuat itu mulai rapuh saat Golkar dinakhodai Aburizal Bakrie yang memilih bergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP) dalam pilpres lalu. Pasca pilpres Golkar mulai retak. Keretakan lebih lebar pasca Munas Bali yang memilih kembali Aburizal Bakrie dan Munas Ancol yang memilih Agung Laksono.

Coba kita simak berdasarkan survei opini publik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), elektabilitas Partai Golkar sudah merosot dari 14,1% pada 2016 menjadi tinggal 10,9% tahun ini.

Penurunan itu berbanding terbalik dengan kenaikan elektabilitas enam partai pendukung pemerintah lainnya. Penulis mengamati, elektabilitas Golkar turun karena dinamika internal. Penurunan elektabilitas ini bisa menjadi persoalan menjelang Pilpres 2019. Sebagaimana diketahui, Golkar sudah memastikan kembali mengusung Jokowi dalam kontestasi 2 tahun mendatang.

CSIS mendapati Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki elektabilitas tertinggi saat ini yakni sebesar 35,1% atau naik dari 34,6% pada 2016. Setelah PDIP dan Golkar, tingkat keterpilihan partai koalisi pemerintah lainnya adalah Partai Kebangkitan Bangsa (4,6%), Partai Nasional Demokrat (3,8%), Partai Persatuan Pembangunan (2,3%), Partai Amanat Nasional (2,95), dan Partai Hati Nurani Rakyat (1,5%).

Sementara itu, Partai Gerakan Indonesia Raya meraup suara terbesar di kalangan partai nonpemerintah dengan elektabilitas 14,2% disusul Partai Demokrat (6,4%) dan Partai Keadilan Sejahtera (3,6%). Survei CSIS berlangsung pada periode 23-30 Agustus 2017 melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terstruktur dengan jumlah sampel 1.000 orang yang tersebar secara proporsional di 34 provinsi.

Pertanyaannya, siapa yang digugaskan untuk menyelamatkan Partai Golkar? Pasalnya, jika tidak segera diselamatkan, tidak mustahil Partai Golkar akan tenggelam.

Prahara di tubuh partai Golkar ini muncul pasca penetapan Ketua Umum Partai Golkar sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), partai berlambang pohon beringin itu terus mengalami tren penurunan.

Dapat dimaklumi, jika pasca penetapan Ketua Umum Partai Golkar sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagian kader partai meminta diadakanannya Munaslub.

Elektabilitas Partai Golkar berangsur menurun sejak akhir Desember 2015 dari 12,3 persen menjadi 11,4 persen pada September 2017.Penurunan elektabilitas partai berlambang pohon beringin tersebut memang paling besar dipengaruhi beberapa kader yang terlibat kasus dugaan korupsi. Salah satu yang paling pengaruh saat Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek KTP-elektronik.

Tak ada jalan lain untuk menyelamatkan badai di tubuh Partai Golkar, kecuali reformasi kepemimpinan. Perlu ada sebuah pembaruan kepemimpinan partai, sehingga Partai Golkar betul-betul memiliki wajah baru. Sebab waktunya sudah deket 2018, sudah penuh hingar bingar politik sementara 2019 tahun berikutnya, makanya diperlukan reformasi kepemimpinan, bukan hanya ketua umum tapi kepemimpinan semuanya.

Pergantian kepemimpinan tersebut bukan berarti hanya pada posisi ketua umum semata. Sebab, persoalan Partai Golkar tidak kemudian selesai dengan pergantian posisi ketua umum saja.
Perubahan itu bisa dilakukan jika didukung keinginan yang kuat oleh jajaran kader terutama didukung oleh DPD I Partai Golkar. Sebab  tak cukup hanya segelintir para elit di jajaran DPP Partai Golkar.

Lantas apa pendapat Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung? "Harus ada kesiapan semua pihak dan seluruh stake holder Partai Golkar untuk melakukan perbaikan dan perubahan dari berbagai aspek yang ada di dalam organisasi. Bahkan kalau memang itu yang kita anggap terbaik untuk Golkar, termasuk perubahan dalam kepemimpinan," kata Akbar.

Sebab, kata Akbar, pemimpin ini juga yang akan menentukan daripada keberhasilan Partai Golkar. Dan pemimpin itu pun juga akan bisa mempengaruhi bagaimana opini publik terhadap partai.

"Kalau pemimpinnya di mata publik katakanlah tidak akseptabel, bisa mengakibatkan tren publik juga memberikan penilaian terhadap Golkar juga mengalami penurunan," tegasnya.

Responden yang disurvei merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum atau berusia 17 tahun ke atas ketika survei dilakukan yang dipilih secara acak. Marjin kesalahan sebesar plus minus 3,1% pada tingkat kepercayaan 95%.

Kata Akbar mengatakan status tersangka yang disandang Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto bakal memperpuruk perolehan suara parta di Pemilu 2019.  

Akbar Tandjung mendesak agar Setya Novanto diganti dari posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar.  Akbar mengatakan pergantian ketua umum partai adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Partai Golkar. Menurut Akbar, posisi Setya Novanto di pucuk pimpinan partai bakal berdampak pada citra Partai Golkar di mata pemilih.

Akbar Tandjung mengungkapkan kecemasannya perolehan suara Partai Golkar tak bisa memenuhi  parliamentary threshold sebesar 4 persen suara. Itu artinya, Partai Golkar terancam tak bisa mengirim wakilnya duduk di DPR.         

Ia meminta kader dan pengurus berbenah untuk memperbaiki citra partai. Menurut dia, elektabilitas Golkar tengah menurun. Pergantian ketua umum dianggap tepat bila memang diperlukan.

Mantan Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla menilai Setya Novanto sepantasnya mundur dari posisi Ketua Umum Partai Golkar. Apalagi, rapat pleno Golkar telah merekomendasikan tersangka korupsi e-KTP tersebut untuk mundur dan menunjuk pelaksana tugas.

"Sepantasnya begitu (mundur)," kata Kalla di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa, 26 September 2017. Dia mengatakan menjadi pimpinan partai bukan semata soal legalitas, namun juga soal citra partai di masyarakat.

Menurut Kalla keberhasilan partai juga tergantung penilaian publik. Jika publik sudah menyatakan pimpinannya jelek, maka sulit untuk meraih dukungan suara pada Pemilu. "Jadi memang keputusan itu seharusnya demikian (mundur)," ujar Kalla.

Sejak beberapa hari lalu, Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar menggelar rapat pleno harian yang hasilnya meminta Novanto memundurkan diri. Desakan ini disampaikan melalui Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham dan Ketua Harian Nurdin Halid. Lantas siapa sosok kader partai  yang pantas tampil untuk menyelamatkan Partai Golkar. Kita tunggu saja !
 

Berita Lainnya

Index