Plus Minus Calon Independen : Oleh. Karno Raditya

Plus Minus Calon Independen : Oleh. Karno Raditya

Diperbolehkannya calon perseorangan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah di sejumlah wilayah merupakan momentum yang baik untuk meningkatkan demokrasi pemerintahan di daerah.

Keikutsertaan mereka diharapkan memangkas skeptisme masyarakat terhadap sosok calon pemimpin, dan mampu mengurangi tingginya angka golput yang menjadi kecenderungan pada berbagai kompetisi politik lokal.

Sebenarnya, calon perseorangan sudah muncul di ranah politik sejak tahun 2007, yang didahului pembahasan regulasi pilkada oleh para anggota DPR. Artinya, calon perseorangan diizinkan berdasar pada amanat Undang Undang (UU).

Pada prinsipnya pemerintah tidak ingin mempersulit persyaratan calon independen maju dalam kontestasi Pilkada sehingga ambang batas pencalonan yang diusulkan dalam revisi UU nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada tidak berubah.

Hana saja, sistemnya saja mungkin yang harus dibuat lebih bagus dan tepat sasaran. Penulis pun sependapat dengan cara Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang mengusulkan agar dukungan bagi calon perseorangan harus dibubuhi meterai secara kolektif.

Dukungan bagi calon perseorangan, memang perlu diberi meterai guna mempertanggungjawabkan dukungan dari masyarakat terhadap calon kepala daerah tersebut.

Dukungan itu bisa disatukan per kelurahan atau per desa atau per kecamatan, sehingga dapat dipertanggungjawabkan dukungannya.

Dengan pemberlakuan dukungan bermeterai secara kolektif, maka biaya yang dikeluarkan oleh calon independen tidak terbebani oleh biaya pembelian meterai untuk setiap dukungan.

Lantas kenapa usulan tersebut harus mendapat kritik dari sejumlah pihak mengingat hal itu dinilai memperberat syarat bagi calon independen ?

Kritikan ini kemudian membuat KPU pun membatalkan usulan tersebut dan tetap memberlakukan lampiran dukungan bermeterai secara kolektif, seperti yang diberlakukan pada pilkada sebelumnya.

Jika kita menyimak soal calon independen, cara seperti ini memang dipastikan mengurangi minat kelompok elite pemburu kekuasaan di daerah untuk merapat dan memosisikan partai politik sebagai institusi, yang memiliki otoritas tinggi dalam menentukan kandidat kepala daerah.

Terbuka banyak jalan untuk membangun kredibilitas individual melalui aneka kegiatan yang benar-benar membumi dan bermanfaat bagi rakyat sebagai basis konstituen yang harus menjadi perhatian utama.

Dengan demikian, bukan hanya janji kosong yang dikemas oleh agen-agen partai politik dalam kampanye singkat, yang berujung pada pengingkaran terang-terangan kepada pemilihnya.

Dalam konteks kalkulasi pembiayaan, calon independen juga tidak akan segan mengeluarkan dana kepada rakyat sebanyak mungkin, tanpa kecurigaan dikorup para makelar politik yang ada di lingkaran parpol gurem sampai yang menguasai kursi di DPRD.

Dengan dana yang memadai, para pemburu kekuasaan dengan basis rakyat tanpa partai bisa saja membentuk kelompok terorganisasi, dalam wujud lembaga swadaya masyarakat, pusat riset, atau jaringan institusional lainnya yang hakikatnya sebagai sarana untuk memopulerkan ketokohannya.

Pola semacam ini lebih efektif dan bisa menjadi ukuran popularitas yang sesungguhnya dari calon perseorangan jika dibandingkan dengan model pencalonan melalui partai politik, yang birokratis, tidak efisien, dan tidak memberikan kepastian dukungan yang memadai.

Belum lagi jika struktur kekuasaan dalam parpol itu terpecah dalam banyak faksi, yang satu sama lain memiliki orientasi pencalonan kepala daerah yang berbeda, tentu saja termasuk masalah yang menyangkut dukungan “dana” ke partai politik.

Meski berpotensi untuk mengurangi peran partai politik dalam menentukan kepemimpinan di daerah, tetapi keberadaan calon perseorangan dalam pilkada, sesungguhnya berdampak positif bagi pengkaderan politik yang profesional.

Sebab, konflik di dalam parpol yang dipicu oleh persaingan antara aktivis yang sudah sepantasnya diajukan sebagai kandidat gubernur, bupati, wali kota termasuk wakilnya, dan para “kader karbitan penyandang dana” bisa diminimalisasi.

Dengan kata lain, terbuka peluang yang lebih besar bagi kader partai politik untuk menjadi kepala ataupun wakil kepala daerah.

Jika pola ini berjalan dengan konstan, maka konflik internal partai yang sering kali mengakibatkan konstituen terpecah, bagaimana dalam berbagai pilkada di Tanah Air, di mana kader partai yang populer dan didukung oleh massa partai justru tidak diusung oleh partainya akan semakin berkurang.

Sesungguhnya, mencalonkan tokoh di luar partai tidak salah. Pasalnya, kelompok influential atau orang-orang yang berpengaruh merupakan pesaing potensial dari para aktivis dalam struktur partai.

Orang dalam kelopok ini, umumnya memiliki kans yang lebih besar dalam merebut simpati para petinggi partai, untuk mendukung upaya mencari kekuasaan.

Namun yang juga harus diingat bahwa bukan berarti keterlibatannya secara instan dalam berpolitik untuk mengejar kekuasaan dapat dibenarkan, sebab ada mekanisme organisasi yang harus diikuti oleh siapa pun yang akan aktif dalam organisasi politik.

Seperti yang juga dituliskan oleh Eko Harry Susanto,dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara, seyogyanya tanpa mengabaikan berbagai nilai positif, yang terkait dengan calon perseorangan, munculnya kekhawatiran terhadap pengingkaran semangat independen kepala daerah adalah hal yang wajar.

Sebab, jika mereka terpilih sebagai kepala daerah, tidak bisa konsisten untuk tampil sebagai “pemimpin independen”. Sebab, kepala daerah calon perseorangan yang berada dalam lingkaran kekuasaan tidak bisa lepas dari pengaruh anggota legislatif di wilayahnya.

Eko Harry Susanto juga berpendapat, model relasi politik dalam kekuasaan paternalistik yang memosisikan kekuatan dominan adalah rujukan dalam menjalankan pemerintahan mengakibatkan kepala daerah independen tidak berkutik untuk melawan dominasi mayoritas di legislatif.

Akibatnya, masyarakat yang merindukan seorang gubernur, bupati atau wali kota yang memiliki pendirian kuat dan bebas dari pengaruh partai politik tidak akan terwujud.

Demokratisasi yang peduli terhadap pemerintahan dari dan untuk rakyat pun hanya menjadi angan-angan belaka. Sebab, dinamika kekuasaan pemerintahan lokal, tetap saja didominasi oleh para politisi yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat pada umumnya.

Dengan demikian, sekedar mengingatkan janganlah terburu nafsu menilai bahwa calon independen lebih memiliki kredibilitas dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Sebab berpijak pada kalkulasi politik praktis, tidak ada perbedaan signifikan antara terpilihnya kepala daerah yang berasal dari calon perseorangan dan yang diusung partai politik.

Berita Lainnya

Index