DPR Dituntut Segera Bahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

DPR Dituntut Segera Bahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Ilustrasi aksi tuntutan pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual. (CNN Indonesia/Safir Makki)

JAKARTA,(PAB)----

Sejumlah organisasi perempuanmendesak parlemen dan pemerintah segera membahas Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Desakan itu diserukan menyusul banyak kasus kekerasan seksual yang belum ditangani secara substansial.


Organisasi perempuan yang mendesak kasus ini terdiri dari Indonesian Feminist Lawyer CLubs (IFLC), Jaringan Pekerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

"Agar DPR RI Khususnya Panja Komisi 8 memberi perhatian maksimal terhadap RUU PKS dan dapat segera menuntaskan pembahasan RUU bersama pemerintah," kata perwakilan dari JKP3, Ratna Batara di Jakarta, MInggu (18/11).

Ratna beserta organisasi perempuan lainnya meminta agar pembahasan RUU PKS ini tidak mengurangi substansi penting dalam RUU tentang penghapusan kekerasan sosial. Mengingat tahun 2019 merupakan tahun terakhir anggota legislatif membahas RUU yang masuk Prolegnas 2014-2019.


"April 2019 sudah pemilu, artinya bila RUU PKS tidak juga dibahas tahun ini, maka harus diperjuangkan lagi ke prolegnas tahun depan," kata dia.

"Artinya upaya yang dilakukan selama ini sejak 2015 diuslkan oleh masyarakat dan berhasil masuk prolegnas menjadi sia-sia," lanjut dia.

Desakan pembahasan RUU PKS kembali digaungkan oleh sejumlah organisasi perempuan menyusul dua kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang baru-baru ini terjadi. Pertama adalah kasus mantan guru honorer BN di Mataram yang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.

Sayangnya, Ratna bilang, BN tersandung kasus Undang Undang ITE, dan bukan soal pelecehan seksual di mana BN menjadi korban. Selanjutnya kasus mahasiswa UGM yang diduga terkena pelecahan seksual oleh rekan kuliahnya.

"Jadi Indonesia jelas butuh regulasi khusus untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Peraturan perundangan kita mmasih lemah dan tidak substansial," jelas dia.

Menurut data yang ia dapatkan dari KOMNAS Perempuan, sejak tahun 2014 Indonesia sudah dinyatakan darurat kekerasan seksual. Tercatat 4.475 kasus kekerasan seksual menimpa anak perempuan dan perempuan.

Tahun 2015 angka ini meningkat menjadi 6.499 kasus dan pada 2016 menjadi 5.785 kasus pelecehan seksual. Angka ini menunjukkan masih minimnya perhatian pemerintah terhadap upaya penghapusan kekerasan seksual yang sangat dibutuhkan oleh para penyintas.

"Karena itu kami meminta agar organisasi dan kelompok masyarakat mendukung dan mendorong disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual yang memuat pengatuuran komprehensif tentang perlindungan perempuan," tutup dia.(cnn)

Berita Lainnya

Index