Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang Finalisasi

Poin-poin Perdebatan Revisi UU Terorisme Jelang Finalisasi

JAKARTA,(PAB)----

Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi'i kembali menegaskan pengesahan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentnag Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tertunda karena masih belum ada kesepakatan tentang definisi dari terorisme itu sendiri.


Syafi'i menyatakan parlemen saat ini masih menunggu pemerintah memberikan definisi teroris, sekaligus menyertakan penjelasan soal motif dan tujuan politik yang melatarinya.

"Kami ingin itu dimasukkan. Kita harus berkaca di dunia tak ada yang tanpa motif dan tujuan politik. Itulah yang seharusnya bisa paripurna sebelum reses kemarin, pembahasannya jadi dilanjutkan lagi setelah reses," ujar Syafi'i saat berkunjung ke redaksi CNN Indonesia TV, Jakarta, Kamis (17/5).
 

Definisi yang disepakati itu nantinya diharapkan bisa membedakan tindakan terorisme dengan kriminal biasa. Hal itu diperlukan agar tak ada penetapan sewenang-wenang oleh aparat terhadap orang atau kelompok yang mereka curigai sebagai teroris.

"Kita bisa membaca di seluruh dunia tindakan teror itu tidak ada yang tidak punya motif dan tujuan poltik, bahkan itu yang membedakan terorisme dengan tindak kriminal bias. Akhirnya pemerintah menunda lagi," tutur Syafi'i.

Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi'i (CNN Indonesia/Dika Dania Kardi)


Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto berharap pemerintah dan DPR segera mengesahkan revisi UU Terorisme. Dia berdalih aturan yang ada saat ini menyulitkan aparat mencegah aksi pelaku teror. 

Dia menyinggung rentetan teror bom yang melanda Surabaya dan Sidoarjo, serta penyerangan kelompok teror di Mapolda Riau.

"Ini semua kelemahan undang-undang kita, di mana kita harus ada bukti permulaan yang cukup. Dan mereka hanya diawasi karena kurang bukti," kata Wawan di tempat yang sama secara terpisah.

"Semua target-target hanya dicatat dan disampaikan kepada aparat keamanan yang lain di dalam komite intelijen pusat. Namun, hanya karena bukti tidak mencukupi, maka mereka hanya diawasi," kata Wawan.

Wawan menganggap undang-undang perlu direvisi agar aparat bisa mengamankan terduga teroris dengan berangkat dari indikasi, tanpa perlu menunggu bukti permulaan seperti yang selama ini terjadi.

Wawan mencontohkan, BIN belakangan sudah mengawasi Dita Opriapto, pelaku bom gereja Surabaya yang turut serta mengajak anak dan istrinya beraksi. Dita sebelum kejadian tak bisa ditindak karena aparat tak punya dasar bukti yang kuat.

"Sampai akhirnya kita mengalihkan kepada yang lain, dialihkan karena sasaran kan tidak hanya satu, tetapi begitu banyak. Nah, inilah yang masalah. Kalau undang-undang yang baru nanti revisinya diperkuat insyaallah akan jadi lebih baik," ujar Wawan.

Dia membantah segala kritik yang menyebutkan teror-teror dalam waktu berdempetan itu terjadi akibat intelijen kecolongan, dan ada egosektoral antarinstitusi.

"Sebetulnya, semua terkoordinasi di Kominpus, Komite Intelijen Pusat. Selalu bekerja sama. Kalaupun ada kekuarangan selalu saling melengkapi," tutur Wawan.(cnn)

Berita Lainnya

Index